Membaca Budaya, Membudayakan Baca

Membaca Budaya,
Membudayakan Baca
Oleh Muhamad Zulfikar
Alfaraby*
“Maka sebelum sebuah bangsa memiliki aturan main,
mekanisme hidup bersama, sistem politik, ekonomi, bahkan sebelum ia menjadi
Negara, lebih dulu ia menjadi sebuah entitas budaya”
Ditengah semangat menyebarkan budaya
minat baca di Indonesia yang dilakukan pemerintah dan beberapa pegiat literasi.
Ada hal menarik tentang konsep “budaya” dan pemaknaannya yang seringkali belum
dipahami secara utuh dan koheren terhadap konteks perkembangan literasi saat
ini. Maka menurut hemat penulis, sebelum kita lebih jauh dalam urusan
glorifikasi penyebaran literasi kepada masyarakat. Hal yang seyogyanya
dilakukan terlebih dahulu dan menjadi landasan adalah memahami bagaimana budaya
dan kebudayaan bekerja ditengah masyarakat. Agar praktik kita dalam melakukan
berbagai macam kegiatan penyebaran literasi dapat diterima baik dan mempunyai
implikasi positif.
Budaya,
Kebudayaan
Pengertian budaya berasal dari bahasa
sansakerta yaitu “buddhayah”, yang merupakan bentuk
jamak dari kata budi atau akal. Budaya erat kaitannya dengan akal dan budi
manusia. Manusia dengan budaya tidak dapat dipisahkan, karena secara bersamaan
membentuk kehidupan. Manusia menghimpun diri menjadi sistem sosial-budaya
berupa “masyarakat”. Kemudian dalam proses kehidupannya masyarakat akan secara
alamiah melahirkan produk kebudayaannya didalam tatanan sosial.
Lebih dari sekedar aturan, ketentuan,
dan segala macam produk yang mengisi kehidupan manusia sejak 7.000 tahun yang
lalu hingga sekarang, kebudayaan ada dan terbentuk, tidak lain merupakan
ejawantah dari upaya manusia mempertahankan diri. Mempertahankan keberadaan
spesiesnya di tengah persaingan dan pergulatan keras lingkungan hidup yang
melingkupinya. Di titik ini, pengertian kebudayaan awal mengisyaratkan
bagaimana manusia menjelaskan dirinya, menyatakan keberadaannya yang “berbeda”
di antara entitas alam semesta lainnya, memperlihatkan jati diri dan
eksistensinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemudian kenyataan sebuah kelompok,
juga sebuah bangsa ditentukan oleh kekuatan kebudayaannya.
Tidak mengherankan jika kemudian banyak
kalangan, tidak hanya pekerja budayanya, menganggap kebudayaan dengan segala
definisi atau pemahaman sektoralnya adalah landasan, platform, yang semestinya digunakan oleh semua cara kerja manusia
dalam mengembangkan, membangun, atau menempatkan dirinya dalam pergaulan
antarbangsa. Kebudayaan bekerja pada tingkat ide, yang simbolis, dan abstrak.
Penulis akan meminjam pegertian budaya menurut Profesor Universitas Columbia,
Ralph Linton yang mengatakan :
“A
culture is the configuration of learned behavior and results of behavior whose
component elements are shared and transmitted by the members of a particular
society” (Linton, 1945). “Kebudayaan adalah konfigurasi dari perilaku yang
dipelajari dan hasil dari perilaku yang elemen atau unsurnya ditularkan dan
digunakan oleh anggota masyarakat tertentu ”(Linton, 1945).
Kebudayaan bisa saja dianggap sebagai suatu strategi, yaitu dengan memperlakukan (kata/istilah) kebudayaan
bukan sebagai “kata benda” melainkan “kata kerja.” Kebudayaan bukan lagi
semata-mata koleksi karya seni, buku-buku, alat-alat, atau museum, gedung,
ruang, kantor, dan benda-benda lainnya. Kebudayaan terutama dihubungkan dengan
kegiatan manusia yang bekerja, yang merasakan, memikirkan, memprakarsai dan
menciptakan. Dalam pengertian demikian, kebudayaan dapat dipahami sebagai
“hasil dari proses-proses rasa, karsa dan cipta manusia.” Dengan begitu,
“(manusia) berbudaya adalah (manusia yang) bekerja demi meningkatnya harkat dan
martabat manusia lainnya. Strategi kebudayaan yang menyederhanakan praktek
operasional kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari dan kebijakan sosial
dilakukan dengan menyusun secara konseptual unsur-unsur yang sekaligus
merupakan isi kebudayaan.
Budaya
Membaca
Lalu bagaimana kemudian kaitan antara
budaya dengan minat baca atau literasi? Dalam memahami konsep budaya membaca di
Indonesia kita harus melihat secara historis bagaimana periodesasi perkembangan
budaya baca di Indonesia. sejak zaman pra kemerdekaan sampai pada masa orde
lama Indonesia masih dilanda persoalan buta huruf yang menyelimuti sebagian
besar penduduk, kemudian Presiden Soekarno meluncurkan kebijakan atau program
Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Program tersebut dilakukan pada 18.663 tempat
dan melibatkan 18.337 guru baik yang digelar secara independen maupun di
lingkungan pendidikan. Glorifikasi pemberantasan buta huruf tersebut melibatkan
organisasi-organisasi kemasyarakatan dan berbagai pihak, hasilnya pada tanggal
31 Desember 1964 semua penduduk Indonesia yang berusia 13-45 tahun (kecuali
yang berada di Irian Barat)
dinyatakan bebas dari persoalan buta huruf (Ali, 2007).
Pasang surut persoalan literasi dan buta
huruf terus dialami Indonesia, semangat untuk membudayakan baca pada zaman orde
lama mengalami reduksi di zaman orde baru. Meskipun pemerintahan orde baru
mempunyai program literasi seperti paket ABC, namun program tersebut hanya
bersifat prosedural dan birokratis. Ditambah dengan beberapa kebijakan
pelarangan terhadap buku-buku yang diangap berbahaya oleh pemerintahan pada
saaat itu, hal ini juga menambah persoalan dalam perkembangan budaya baca di
Indonesia. para penulis, penerbit bahkan pembaca menjadi berhati-hati dalam
memproduksi dan mengkonsumsi bahan bacaan. Implikasi negatifnya adalah adanya
penurunan dalam semangat membudayakan literasi di Indonesia pada saat itu
karena tidak adanya akses sumber bacaan yang diperoleh public secara terbuka
dan mudah.
Berlanjut pada masa reformasi hingga
sekarang, belum adanya peningkatan yang berarti terhadap
budaya baca di Indonesia. meskipun memasuki era demokrasi dengan segala
kemudahan dan kecepatan mengakses segala informasi yang diperlukan. Namun
sepertinya warisan budaya dari zaman orde baru masih melekat, karena membaca
bukanlah budaya yang diinginkan pada saat itu. Efek tersebut kentra sekali di
masa sekarang, karena minat membaca masih menjadi hal yang tabu oleh masyarakat
Indonesia.
Solusi
Jika
melihat bahwa membaca bukan merupakan salah satu budaya yang ada di Indonesia,
maka membudayakan baca adalah langkah tegas yang harus diambil untuk memulai
itu semua. Setelah memahami secara luas arti dari kebudayaan yang merupakan
sebuah ide, gagasan bahkan strategi didalam masyarakat. Penulis melihat beberapa
cara yang bisa dilakukan dalam rangka
membudayakan baca oleh beberapa stakeholder.
1.Pemerintah. Pemerintah
mempunyai peranan sentral dalam rangka membudayakan baca di Indonesia. karena
memiliki sistem yang memungkinkan untuk mendukung penyebaran budaya baca.
langkah yang diambil adalah memperbaiki suprastruktur
dan infrasrtuktur literasi yang tersedia saat ini. Pemberian asupan informasi
dan pengetahuan kepada publik secara meluas dan merata dengan bahan bacaan yang
sesuai dengan kebutuhan. Kemudian juga menghentikan
segala pelarangan dan razia buku di era domokrasi yang dilakukan oleh aparat
karena hal tersebut mempunyai dampak buruk terhadap perkembangan budaya baca.
Kita juga bisa belajar pada pemerintahan masa orde lama dengan semangat
Pemberantasan Buta Huruf nya, mobilisasi dengan melibatkan berbagai pihak
secara massif untuk membudayakan baca pun perlu dilakukan agar memudahkan pemerintah
dalam internalisasi program baca nya.
Kemudian yang terakhir pada tataran
teknis, yaitu dengan memperbanyak sarana dan fasilitas yang mudah diakses oleh
semua elemen masyarakat untuk memperoleh sumber bacaan dan pengetahuannya,
seperti perpustakaan di taman atau ditengah-tengah kota berbasis teknologi
maupun buku secara fisik. Tidak cukup hanya dengan penyediaan perpustakaan
konvensional yang ada di sekolah-sekolah atau beberapa lembaga terkait,
penyebaran media membaca harus mudah dijangkau oleh publik atau bisa disebut
strategi jemput bola.
2.Organisasi/komunitas/civil society. Di alam demokrasi pada saat ini, keterlibatan
masyarakat mempunyai peranan yang setara dengan pemerintah dalam rangka
memperbaiki kualitas hidupnya. Karena budaya merupakan konfigurasi dan hasil
dari perilaku masyarakat, maka kemudian harus adanya kesadaran lebih dari
masyarakat untuk mengembangkan budaya baca. Pembentukan wadah-wadah atau
komunitas yang mempunyai konsen terhadap baca sangat diperlukan sebagai
pemantik kesadaran baca masyarakat.
Karena dengan menjamurnya wadah-wadah
baca untuk dinikmati oleh masyarakat, nantinya akan menjadi hal yang terbiasa
dan terinternalisasi secara alamiah bahwa membaca sebagai kebutuhan bagi
masyarakat. Kampanye dan ide terhadap pentingnya membaca perlu dibarengi pada
tataran praksis. Kemunculan Taman Baca Masyarakat selalu mempunyai dampak
positif terhadap taraf pengetahuan dan informasi pada masyarakat sekitar.
Karena mindset dan paradigma masyarakat kita masih mengganggap buku adalah
barang yang mahal dan tidak menjadi kebutuhan dalam aktifitas sehari-hari. Maka
tugas kita adalah menyediakan serta memfasilitasi akses literasi yang dapat
dijangkau oleh semua lapisan masyarakat untuk mengkonsumsinya secara mudah.
Yang terakhir adalah pandangan masyarakat bahwa membaca buku dan segala
aktifitas literasi hanya dilakukan oleh orang-orang terpelajar, maka yang harus
dilakukan oleh orang-orang terpelajar adalah membuat masyarakat kita menjadi
terpelajar dengan mempelopori budaya baca.
“Mengajak orang lain untuk membaca buku adalah hal
baik, tapi mengajak orang lain yang sudah membaca untuk menyebarkan budaya baca
adalah hal mulia”
*Mahasiswa FISIP Untirta Angkatan 2016