Seri Diskusi Girang "Menakar Pemertahanan Bahasa Jawa Banten"

MENAKAR PEMERTAHANAN
BAHASA JAWA BANTEN
Serang - 31 Agustus 2020. Banten adalah
daerah kosmopolit dimana berbagai kebudayaan bertemu. Hal ini dimukinkan karena
Banten (Kesultanan) adalah salah satu pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para
pedagang dengan latar belakang budaya masing-masing. Maka Banten hari ini merupakan sebuah wilayah yang
terbentuk dari berbagai kebudayaan yang saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya. Salah satu contoh peling nyata adalah penggunaan Bahasa Jawa Banten
yang digunakan sebagain besar masyarakat yang berada di Serang, Cilegon dan
sebagian Tangerang.
Seiring waktu, ekesistensi Bahasa
Jawa Banten telah mengalami pergeseran, disamping karena desakan urbanisasi,
perkembangan teknologi informasi yang hampir mengaburkan batas admintratif juga
memungkinkan pengaruh-pengaruh baru masuk ke wilayah Banten. Hal ini seperti
terungkap dalam Seri Diskusi Girang yang merupakan kerja sama antara Dinas
Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten, Laboratorium Banten Girang, Ikatan
Pustakawan Indonesia dan Biem.co kembali digelar. Diskusi virtual seri Diskusi
Girang yang ke-12 menghadirkan narasumber Siti Suharsih (Dosen FKIP Unirta
Serang) yang membahas pemertahanan bahasa Jawa Banten dan dipandu oleh Yulia
Rehan Faradisa (Mantan Dewan Perpustakaan Provinsi Banten).
Menurut Siti Suharsih, pilar
utama pemertahanan bahasa adalah keluarganya. “Kalau orang tuanya tidak
mengajarkan bahasa daerahnya pada anak-anaknya, ini membuka jalan untuk
pergeseran bahasa, juga pengurangan vitalitas bahasa daerah,” jelasnya di awal
diskusi.
Vitalitas atau daya hidup suatu
sebuah bahasa merupakan konsep untuk menakar keberlangsungan sebuah bahasa.
Menurut UNESCO, terdapat enam tingkatan vitalitas bahasa, mulai dari safe
(stabil), unsafe (cukup rentan), definitively endangered
(rentan), severely endangered (sangat rentan), critically endangered
(kritis), dan extinct (punah). Menakar vitalitas bahasa bertujuan untuk
bisa menentukan kebijakan yang tepat untuk pemertahanan bahasa yang
bersangkutan.
Dari sistem kemasyarakatannya,
kondisi kebahasaan di Provinsi Banten tergolong diglostik (multilingual)
karena banyak ragam bahasa yang dituturkan masyarakatnya. Menurut identifikasi
bahasa dari Kantor Bahasa Banten, terdapat komunitas tutur bahasa Jawa Banten,
Sunda Banten, Lampung Cikoneng, Melayu Benteng, dan Betawi yang ada di Provinsi
Banten.
Menurut Suharsih, keragaman
bahasa daerah di Banten bisa memperkaya kosakata penuturnya. Namun, negatifnya,
pencampuran kosakata ini bisa menjadi indikator penurunan penggunaan bahasa,
pergeseran, hingga bisa memungkinkan adanya kepunahan bahasa. “Awalnya mungkin
hanya campur kode, mulai dari pencampuran kosakata lalu alih kode. Namun, yang
sudah berbahaya adalah jika penutur jatinya kehilangan sikap positif terhadap
bahasa tersebut,” ujar Suharsih.
“Sak ayu-ayune wedok, nek ngomong
Jaseng ki ayune ilang,” (secantik-cantiknya perempuan kalau ngomong bahasa
serang nanti cantiknya hilang) Suharsih mencontohkan ungkapan yang ia temui
saat meneliti Jawa Banten dan menurutnya, itu amat merendahkan bahasa Jawa
Banten. Ungkapan itu umum di masyarakat tutur Jawa Banten, yang kerap
menghubung-hubungkan bahasa dengan kecantikan, bahkan status sosial.
Sikap positif terhadap suatu
bahasa amat menentukan bagaimana sebuah bahasa bisa bertahan. Penelitian
Suharsih menunjukkan bagaimana bahasa Jawa Banten bisa bertahan di lingkungan
keluarga karena 86,15% dari total 340 respondennya masih menggunakan bahasa
Jawa Banten saat berkomunikasi dengan anggota keluarga.
Namun, di akhir diskusi, Suharsih
menunjukkan pewarisan bahasa Jawa Banten kepada anaknya tergolong kecil, yaitu
69,84%. Hal ini juga dipengaruhi oleh pandangan bahwa bahasa Jawa Banten tidak
memiliki posisi strategis dalam kaitannya dengan bertahan hidup, seperti
melamar kerja. Terutama di wilayah pemerintahan, industri dan pariwisata, masyarakat
tutur bahasa Jawa Banten lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia atau
memperkuat keterampilan berbahasa asing.
Hal lain, menurut koordinator
seri diskusi girang jafra, harus ada upaya untuk mendorong kebanggaan
masyarakat terhadap bahasa daerah "jika kita masyarakat sudah menganggap
bahasa daerah sebagai bagian identitas dirinya dan bangga dengan identitas
tersebut, maka dengan sendirinya ia akan menggunakan bahasa lokal dalam
komunikasi sehari-hari" tuturnya. Diskusi rutin ini diikuti oleh peserta
dari berbagai kalangan dan berlangsung selama kurang lebih dua jam. (Nanda
Ghaida dan Tim DPK).