RELASI HISTORIS BANTEN-LAMPUNG

RELASI HISTORIS
BANTEN-LAMPUNG
Serang, 12 Oktober 2020. Secara geografis Banten dan Lampung hanya
dipisahkan oleh Selat Sunda. Kedekatan secara geografis tersebut kemudian
kemudian berimbas pada hubungan yang cukup dekat baik secara politik dan
budaya. Salah satu bukti adanya kedekatan budaya tersebut misalnya terdapat
satu perkampungan Lampung di Anyer (Banten) yang masih mempertahankan budaya
dan Bahasa Lampung yang beradaptasi dengan bahasa-bahasa daerah di Banten.
Dalam peta Bahasa yang sedang dikaji oleh Kantor Bahasa Banten, Bahasa Lampung
Cikoneng sudah diidentidikasikan sebagai salah satu bahasa daerah di Banten.
Hubungan Banten dan Lampung bisa ditelusuri melalui beberapa
cara. Arman AZ, pemerhati sejarah Lampung hadir sebagai narasumber untuk
menggali hubungan yang telah terjalin sejak zaman Kesultanan Banten dalam Seri
Diskusi Girang ke-18 pada Senin, 12 Oktober 2020. Diskusi virtual merupakan
diskusi daring yang dilaksanakan Dinas perpustakaan dan Kearsipan Provinsi
Banten yang bekerjasama dengan Laboratorium Banten Girang, Pengurus Daerah
Ikatan Pustakawan Indonesia Provinsi Banten, dan Biem.co.
“Salah satu informasi yang berkaitan dengan hubungan
Banten-Lampung bisa didapat dari karya sastra berlatar Lampung yang muncul pada
tahun 1778, Hikayat Nahkoda Muda karangan Lauddin yang ditulis dalam aksara jawi”
ujar Arman AZ. Karya sastra lama tersebut menceritakan ketegangan
banten-lampung pada masa kekuasaan Inggris. Ketegangan yang juga terjadi antara
Inggris dan Belanda memperebutkan Lampung. Banten kemudian bekerja sama dengan
belanda untuk mengusir kekuasaan Inggris terhadap monopoli perdagangan
lada di Lampung.
“Persentuhan Lampung dan Banten dipicu oleh penguasaan
perdagangan rempah (lada) di Nusantara pada masa itu,” lebih lanjut di
sampaikan oleh Arman AZ, Lampung sebagai daerah penghasil lada, mempunyai
posisi strategis dalam menyokong ekonomi Nusantara kala itu. Sementara Banten
yang tumbuh sebagai kota perdagangan mengalami kemajuan pesat pasca jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis, mempunyai kepentingan besar terhadap lada sebagai
salah satu komoditas ekonomi berharga pada masa itu, bahkan lada disebut
sebagai emas hitam dalam catatan Belanda.
Apabila ditelusuri lebih jauh kebelakang, Sunan Gunung Jati juga
mempunyai andil dalam menyebarkan Islam di Lampung secara langsung. Sunan
Gunung Jati dengan ditemani satu tokoh yang yang bernama Kyai Amar menyebarkan
Islam di Pesisir Lampung Selatan. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh
anak-anaknya yang berkuasa di Banten. Banyak warga Lampung yang menemui Sultan
banten, baik itu untuk mempelajari Islam maupun berkaitan dengan politik dan
banyak warga lampung yang mendapat gelar bangsawan dari Banten.
Bukti-bukti lainnya tentang hubungan Banten dan Lampung juga
dapat dilihat dari perjanjian Dalung Kuripan. “Salah satu isi dari
perjanjian tersebut menyatakan bahwa jika Banten diserang musuh, Lampung akan
ada di belakang Banten untuk membantu melawan. Sebaliknya, jika Lampung
diserang musuh, maka Banten yang aka nada di belakang Lampung untuk membantu,”
jelas Arman AZ. Dalam penelusurannya di Leiden, Belanda, Arman AZ juga banyak
menemukan Piagam dari Sultan Banten untuk punggawa Lampung.
Hubungan Lampung dan Banten yang paling terlihat selain dari
segi politis yang dibuktikan dengan adanya perjanjian, piagam, dan prasasti,
dapat dilihat juga dari segi ekonomi, dengan perdagangan lada sebagai
pengikatnya. Pada masa Kesultanan Banten, hampir seluruh komoditas lada yang
berasal dari Lampung dikumpulkan untuk dijual di Banten. Namun, sama seperti di
Banten, di masa sekarang, jejak-jejak pamor lada mulai sulit ditelusuri karena
tergantikan oleh komoditas lain seperti sawit dan karet.