Syaikh Nawawi Al-Bantani Bapak Literasi Banten
Oleh Aip Rochadi*
Menurut UNESCO, Pemahaman yang paling umum dari literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, khususnya keterampilan kognitif membaca dan menulis, yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dan dari siapa memperolehnya. Kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga dan masyarakat/ umat. Karena sifatnya yang “multiple Effect” atau dapat memberikan efek untuk ranah yang sangat luas, kemampuan literasi membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, pertumbuhan penduduk, dan menjamin pembangunan berkelanjutan, dan terwujudnya perdamaian. Buta huruf, bagaimanapun, adalah hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik.
Berbagai referensi yang saya baca tentang minat baca di Provinsi Banten, sejauh ini masih belum menggembirakan, Kondisinya kian memprihatinkan. Entah harus bagaimana kita menyikapi hal ini, padahal begitu banyak insan literasi baik perorangan atau organisasi melakukan kegiatan untuk mendorong atau memotivasi agar seluruh masyarakat dapat membiasakan diri membaca buku, belum lagi ditambah jumlah penduduk yang mengalami buta aksara di Banten juga masih lumayan tinggi, yakni 51.000 dari 12 juta penduduk Banten.
Kenyataan yang saya lihat adalah tindakan individual dan sporadis yang dilakukan pegiat literasi ternyata tak mampu meningkatkan minat baca secara signifikan, entah penyakit apa yang telah kita derita dan bagaimana kita dapat mengobati penyakit yang kita derita. Berbeda penyakit akan berbeda pula obat yang harus kita konsumsi jika kita ingin sembuh dari penyakit yang kita derita.
Kembali pada problematika yang dihadapi Provinsi Banten dalam meningkatkan minat baca. Dari sekian upaya yang sudah dilakukan mengapa minat baca masyarakat Banten tak kunjung meningkat dan saya meyakini bahwa kita belum mengetahui penyakit apa yang kita derita hingga kita belum dapat mengetahui obat apa yang harus di konsumsi. Dan artinya kita semestinya mencari solusi atau inovasi untuk dapat terus mendorong meningkatnya minat baca secara masif.
Banten adalah salah satu pusat perkembangan Islam, Banten memiliki peranan penting tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia. Predikat kota santri pun melekat dengan melihat data jumlah pesantren di Banten yaitu 3.122, Jumlah (ponpes) itu berasal dari data EMIS (Education Management Information System) yang terdaftar di Kemenag, Selanjutnya, kita bisa melihat bahwa masjid-masjid menjadi tempat berkumpulnya umat serta santri dan masyarakat. Disinipun seluruh warga memiliki jadwal membaca Al Quran secara teratur. Dari profile provinsi Banten diatas penulis melihat sosok ulama menjadi strategis dalam meningkatkan minat baca, dan tahukah kamu bahwa alquran memiliki kaitan yang sangat erat dengan literasi.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S. Surat al-Alaq, 96:1-5).
Surat al-Alaq ayat 1-5 merupakan dalil yang menunjukkan tentang keutamaan membaca, menulis dan ilmu pengetahuan. Membaca dan menulis merupakan kunci kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Tanpa kegiatan membaca dan menulis tidak mungkin ayat-ayat dan ajaran Islam dapat disiarkan ke seluruh manusia yang tersebar di muka bumi ini.
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi”. (Q.S al Baqorah, 121) surat ini mengajak manusia untuk membaca dengan bacaan yang sebenar-benarnya sesuai dengan yang telah di terangkan. Sehingga tak ada simpang siur antar informasi. Sangat jelas kata membaca ditekan kan disini agar tidak menjadi orang yang merugi.
Al-Qur’an memandang kegiatan literasi hal yang sangat penting untuk bisa mengubah masyarakat/ umat yang semula tidak memahami apa-apa menjadi berpengetahuan dan memiliki peradaban yang tinggi. Hal ini terbukti dengan disebutkannya peran literasi didalam al-Qur’an yang setidaknya terdiri dari beberapa konsep yaitu, konsep membaca, konsep menulis, konsep ilmu pengetahuan, konsep pendidikan, konsep ibadah, konsep komunikasi dan informasi.
Salah satu sarana dakwah yang masih kurang mendapatkan perhatian dari kalangan Ulama adalah berdakwah bilqalam atau melalui tulisan. Tidak banyak Ulama yang mau mengambil sarana ini. Padahal, dakwah melalui tulisan tidak kalah pentingnya dari dakwah lisan (ceramah). Sebab, dakwah melalui tulisan dapat menjadikan seorang ulama abadi meskipun ulama tersebut telah meninggal dunia. Seringkali kita menyaksikan seorang ulama yang tampil memukau di hadapan pendengarnya. Tetapi, tidak banyak Ulama yang mau menuliskan materi ceramahnya itu dalam bentuk tulisan. Padahal, sejatinya kemampuan berceramah seorang ulama itu tidak akan dapat memukau pendengar atau dangkal isi materi ceramahnya jika tidak dibarengi kemampuan dalam membaca.
Berkaitan dengan inovasi dalam meningkatkan minat baca serta strategisnya peran ulama, maka Penulis mencoba mengingatkan kembali akan sosok ulama yang sangat literat yang diberi gelar Ulama Hijaz tersebut, berikut biografi Syeikh Nawawi Al Bantani secara ringkas.
Pada tahun 1230 H atau 1813 M didaerah tanara, sebuah desa kecil kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten (Kampung Pesisir, Desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani) lahir seorang ulama besar penebar gerakan literasi pesantren berkelas Internasional Beliau bukan ulama biasa, tapi memiliki intelektual yang sangat produktif menulis, yang kita kenal dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi, kini kita terbiasa dengan nama Syaikh Nawawi Al-Bantani, Disebut al-Bantani karena ia berasal dari Banten, Indonesia.
Darah ulama Syekh Nawawi Al Bantani diturunkan dari Ayah seorang Ulama Banten yang juga aktivis dan pemimpin masjid setempat, bernama ‘Umar bin ‘Arabi, sementara ibunya Zubaedah adalah seorang ibu rumah tangga, Jika dirunut dari silsilahnya, nasab Nawawi bertemu dengan Sultan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, Cirebon dan Maulana Hasanuddin Banten dari garis turunan Syeikh Sunyara-ras yang makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman beliau di Tanara, lebih dikenal dengan Keturunan ke-11 dari Sultan Banten. Lebih jauh, nasab Syeikh Nawawi juga tersambung kepada Nabi Muhammad lewat nasab Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husain, hingga Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah.
Semenjak kecil beliau memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Pertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, di usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya ke berbagai pesantren di Jawa dan pergi ke Arab Saudi saat umurnya masih 15 tahun, Setelah berhasil mempelajari ragam ilmu bahasa dan ilmu agama. Disana, dirinya melakukan ibadah haji, menimba ilmu dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, ‘Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Tetapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekah. Syaikh Nawawi Al-Bantani adalah sosok pembelajar sejati yang tidak lepas dari aktivitas membaca dan menulis setiap harinya sebagai kegiatan yang hari ini dikenal dengan tradisi literasi.
Semakin dewasa, ilmunya yang makin bertambah digunakannya untuk mengajar di Masjidil Haram, Murid-murid yang pernah diajarkannya, juga tumbuh menjadi ulama besar di Indonesia. Di antara murid Syekh Nawawi Al Bantani yakni, KH Hasyim Asyari (pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Thahir Jamalauddin (Singapura), Abdulkarim Amrullah (Sumatera Barat), Syekhana Chalil (Bangkalan), KH Asyari (Bawean), KH Tb Asnawi (Caringin Banten), KH Ilyas (Kragilan Banten), KH Saleh Darat (Semarang), KH Najihun (Tangerang), KH Abdul Ghaffar (Tirtayasa Serang), KH Tb Bakri (Sempur Purwakarta), KH Dawud (Perak Malaysia) dan sebagainya.
Tidak usahlah kita sebutkan karya-karya Syeikh Nawawi Al Bantani yang sangat banyak, buku-buku Syeikh Nawawi Al Bantani telah dibaca umat di seluruh dunia, penulis hanya akan fokus kepada peran seorang ulama asal Banten dalam melestarikan budaya membaca dan menulis, serta usahanya dalam menjaga spirit belajar, membaca, dan menulis yang telah disulut oleh Syeikh Nawawi Al Bantani jauh-jauh hari pada masanya.
Bagi penulis sendiri, Syeikh Nawawi Al Bantani memang sudah tidak ada. Meski demikian, namanya yang harum telah memberi berkah tersendiri, Meski beliau sudah wafat, beliau sudah memberikan contoh kepada umat akan pentingnya literasi, Maka tidak heran ada ungkapan, orang berilmu karena rajin membaca dan menulis matinya saja sudah bermanfaat bagi sesama, apalagi semasa hidupnya. Begitulah kira-kira kesimpulan yang didapat jika kita terus mengakrabi aktivitas membaca,
Hari ini kita seperti belum menemukan sosok Ulama seperti Syeikh Nawawi Al-Bantani yang menjadi sosok sentral dalam dunia literasi di Banten yang tak hanya dikenang perjalanan hidupnya saja, akan tetapi mampu menjadi tauladan hingga setiap ulama kini sebaiknya dapat melaksanakan apa yang dilakukan Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam berliterasi, ulama kini sudah harus berliterasi, ulama yang literat akan mampu melahirkan santri-santri yang melek membaca, berdaya guna, serta siap dalam situasi dan perkembangan jaman.
Selain mendorong meningkatnya minat baca masyarakat/ umat, ulama banten Sudah saatnya menanamkan spirit tradisi membaca dan menulis Syeikh Nawawi Al Bantani kepada santri-santri mereka. Selain itu nampaknya Di ranah pendidikan dasar atau di setiap pesantren ulama juga dapat memasang photo Syekh Nawawi Al Bantani disetiap ruang-ruang kelas, tak hanya foto-foto para pahlawan dan pemimpin negeri saat ini. Di tingkat lebih tinggi, santri dapat dikenalkan karya-karya Syekh Nawawi Al Bantani. Bukan sesuatu hal yang sulit juga menjadikan foto Syeikh Nawawi Al Bantani terpajang di kaos santri di Banten karena sudah mengenal dan mencintai ulama besar tersebut sebagai taulandan ulama literat.
Simpulan akhir artikel ini adalah, ternyata ulama memiliki peran strategis dalam meningkatkan minat baca dan selayaknya ulama kini juga tidak henti berkegiatan literasi, yaitu membaca, berdiskusi serta mentoring mendampingi santri dalam berkegiatan literasi tanpa pernah berhenti menebar virus membaca seperti yang pegiat literasi lakukan saat ini, sekaligus melanjutkan perjuangan Syekh Nawawi Al Bantani berliterasi.
Nah, sampai di sini sudah selayak kita masyarakat Banten menganugerahi atau mendaulat bersama bahwa Syeikh Nawawi Al Bantani sebagai Bapak Literasi Banten, sebagia penghormatan atas spirit membaca dan menulisnya, hingga mampu menjaga semangat literasi di tiap generasi hingga kini. Selain pegiat literasi, Ulama di Banten dapat menjadi figur yang Syaikh Nawawi Al Bantani inginkan dengan terus menjaga tradisi membaca dan menulisnya, agar spirit membaca dan menulis yang ada pada diri Syeikh Nawawi Al Bantani tertanam melekat di jiwa dan menjadi kebiasaan ulama dan generasi muda Banten saat ini. Syeikh Nawawi Al Bantani Bapak Literasi Banten. Demikianlah.
*Pustakawan
Referensi :
Emis, Education Management Education System, Kemenag, data pondok pesantren
Banten dan budaya literasi
Wikipedia, Syaikh Nawawi Al Bantani