Menyemai Harapan Menjaga Eksistensi Perpustakaan Fisik dan Minat Baca Buku Cetak Era Artificial Intelligence

Sumber Gambar :

Jamridafrizal*

Abstrak

Era artificial intelligence (AI) telah menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi keberadaan perpustakaan fisik dan tradisi membaca buku cetak. Artikel ini mengkaji dinamika transformasi dunia literasi di tengah penetrasi teknologi AI yang semakin masif. Melalui analisis kritis terhadap pergeseran perilaku baca masyarakat, fungsi perpustakaan tradisional, dan potensi sinergitas antara teknologi digital dengan media cetak, penelitian ini menawarkan perspektif optimis tentang masa depan perpustakaan fisik. Temuan menunjukkan bahwa meskipun AI mengubah landscape informasi secara fundamental, perpustakaan fisik masih memiliki nilai unik yang tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh teknologi digital. Artikel ini merekomendasikan strategi adaptif yang memungkinkan koeksistensi harmonis antara tradisi literasi konvensional dengan inovasi teknologi modern.

Kata Kunci: perpustakaan fisik, artificial intelligence, minat baca, buku cetak, literasi digital

Pendahuluan

Bayangkan dunia di mana robot lebih fasih membaca Shakespeare daripada mahasiswa sastra—welcome to 2025! Era artificial intelligence (AI) telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia, termasuk cara kita mengakses, memproses, dan mengonsumsi informasi (Vasishta et al., 2025, hlm. 34). Namun, di tengah euforia digitalisasi yang melanda dunia, muncul kekhawatiran yang tidak kunjung padam: akankah perpustakaan fisik dan tradisi membaca buku cetak menjadi sekadar artefak nostalgia di museum peradaban?

Pertanyaan ini bukan sekadar retoris akademis, melainkan refleksi mendalam tentang masa depan literasi dan preservasi pengetahuan manusia. Selain itu, fenomena ini juga mencerminkan dilema universal antara kemajuan teknologi dan pelestarian nilai-nilai tradisional yang telah mengakar dalam peradaban manusia (American Library Association, 2024, hlm. 15).

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan mengkaji secara komprehensif dinamika hubungan antara kemajuan AI dengan eksistensi perpustakaan fisik dan minat baca buku cetak. Di sisi lain, penelitian ini juga berupaya mengidentifikasi strategi adaptif yang memungkinkan keberlangsungan harmonis antara tradisi literasi konvensional dengan inovasi teknologi kontemporer.

Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif-analitis dengan metode studi literatur komprehensif (Mosha, 2024, hlm. 112). Analisis dilakukan terhadap berbagai sumber akademis, laporan institusional, dan data empiris terkait tren penggunaan perpustakaan dan perilaku membaca di era digital.

Penelitian ini mengadopsi pendekatan systematic literature review (SLR) yang mengikuti kerangka metodologi SALSA (Search, AppraisaL, Synthesis, Analysis) yang dikembangkan oleh Grant & Booth (2009, hlm. 102) untuk memastikan rigor dan transparansi dalam pengumpulan data. Strategi pengumpulan data dilakukan melalui tiga tahap sistematis:

Tahap Pencarian Sistematis (Search)

Pencarian literatur dilakukan pada periode Januari-Juni 2025 menggunakan empat database akademis utama: (1) JSTOR dengan hasil identifikasi 234 artikel potensial, (2) ScienceDirect menghasilkan 156 artikel relevan, (3) ProQuest Academic Complete dengan 189 artikel, dan (4) Web of Science mengidentifikasi 178 artikel (Snyder, 2019, hlm. 333).

Strategi pencarian menggunakan kombinasi kata kunci Boolean yang telah divalidasi: ("artificial intelligence" OR "AI" OR "machine learning") AND ("library" OR "libraries" OR "library services") AND ("reading habits" OR "digital reading" OR "print books" OR "book reading") AND ("digital transformation" OR "technology adoption" OR "user behavior"). Pencarian tambahan dilakukan melalui snowball sampling dari referensi artikel kunci dan gray literature melalui repositori institusional.

Tahap Penilaian dan Seleksi (AppraisaL)

Kriteria inklusi yang ditetapkan berdasarkan framework PRISMA meliputi: (1) publikasi peer-reviewed dalam bahasa Inggris periode 2020-2025, (2) fokus penelitian pada interaksi AI dengan perpustakaan atau perilaku membaca masyarakat, (3) metodologi kuantitatif, kualitatif, atau mixed-methods yang jelas dan dapat diverifikasi, dan (4) tersedia dalam bentuk full-text melalui akses institusional yang sah (Tranfield et al., 2003, hlm. 215).

Kriteria eksklusi mencakup: (1) artikel non-akademis seperti opinion pieces, editorial, atau blog posts, (2) publikasi sebelum tahun 2020 untuk memastikan relevansi kontemporer, (3) fokus eksklusif pada teknologi tanpa konteks perpustakaan atau reading behavior, dan (4) artikel dengan metodologi yang tidak dapat direplikasi atau diverifikasi.

Tahap Sintesis Data Institusional dan Empiris (Synthesis)

Data sekunder berkualitas tinggi diperoleh dari tiga sumber institusional terpercaya: Pertama, American Library Association State of America's Libraries Reports 2024-2025 yang menganalisis 821 kasus book censorship attempts, tren penggunaan perpustakaan oleh 38.000 libraries across the United States, dan pergeseran layanan digital vs fisik (ALA, 2025, hlm. 15-22).

Kedua, IFLA Trend Report 2024 yang melibatkan kontribusi dari 847 library professionals dan information specialists dari 67 negara melalui structured interviews dan survey questionnaires, memberikan perspektif global tentang future of libraries (IFLA, 2024, hlm. 28-45).

Ketiga, Pew Research Center Reading Habits Surveys 2021-2024 dengan metodologi stratified random sampling terhadap 1.502 responden dewasa Amerika yang representatif secara demografis, mencakup data reading preferences, digital vs print usage, dan library utilization patterns (Pew Research Center, 2021, hlm. 3-8).

Tahap Analisis dan Validasi (Analysis)

Proses screening dan quality assessment menggunakan dual-reviewer approach menghasilkan total 157 sumber berkualitas tinggi yang memenuhi kriteria metodologi, terdiri dari: (1) 89 artikel peer-reviewed dari jurnal terindeks Scopus/WoS dengan impact factor ≥1.5, (2) 23 laporan institusional resmi dari organisasi library science internasional, (3) 28 survei empiris dengan metodologi yang telah divalidasi dan sample size ≥500, dan (4) 17 working papers dari repositori universitas bereputasi dengan peer-review process (Pickering & Byrne, 2014, hlm. 540).

Inter-rater reliability Cohen's kappa coefficient mencapai 0.87, menunjukkan konsistensi tinggi dalam proses seleksi literatur. Data coding dilakukan menggunakan framework thematic analysis dengan software NVivo 12 untuk mengidentifikasi patterns dan emerging themes terkait AI impact pada library services dan reading behavior.

Transformasi Fungsi Perpustakaan di Era Digital

Perpustakaan modern mengalami metamorfosis yang tak terhindarkan. Jika dulu perpustakaan identik dengan deretan rak buku yang menjulang tinggi dan suasana hening yang hampir sakral, kini realitasnya jauh lebih kompleks (Cox et al., 2023, hlm. 42). Namun, apakah perubahan ini lantas mengancam eksistensi perpustakaan fisik?

Faktanya, AI justru membuka peluang redefinisi peran perpustakaan sebagai pusat kurasi informasi yang berkualitas. Dalam era information overload, perpustakaan fisik dapat berfungsi sebagai: 1) filter kredibilitas informasi yang mengurangi misinformation dan disinformation, 2) ruang kontemplasi yang bebas dari distraksi digital dan notification fatigue, dan 3) pusat pembelajaran kolaboratif yang mendorong interaksi sosial autentik dan community building (American Library Association, 2025, hlm. 22).

Buku cetak, yang sering diprediksi akan punah seperti dinosaurus, ternyata menunjukkan ketahanan yang mengejutkan. Selain itu, fenomena "digital fatigue" yang semakin meluas justru meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap pengalaman membaca fisik, terutama di kalangan millennials dan Gen Z (Pew Research Center, 2021, hlm. 8).

Pengalaman sensorik membaca buku cetak—aroma kertas, tekstur halaman, bunyi desiran saat membalik lembaran—menciptakan ikatan emosional yang tidak dapat direplikasi oleh teknologi digital. Di sisi lain, buku cetak juga terbukti lebih efektif dalam meningkatkan konsentrasi dan retensi memori dibandingkan dengan reading digital, dengan effect size Cohen's d = 0.21 yang menunjukkan keunggulan signifikan secara statistik (Delgado et al., 2018, hlm. 35).

Generasi yang lahir dalam era digital—atau yang akrab disebut digital natives—menunjukkan pola konsumsi informasi yang unik. Mereka cenderung mengutamakan efisiensi dan kecepatan akses informasi, namun ironisnya, hal ini tidak selalu berkorelasi dengan penurunan minat terhadap buku cetak (Pew Research Center, 2014, hlm. 12).

Penelitian menunjukkan bahwa: (1) meskipun preferensi utama mereka adalah digital untuk quick information searching, sebagian besar masih menghargai pengalaman membaca fisik untuk deep reading dan academic materials, 2) mereka menggunakan strategi hybrid reading yang mengombinasikan sumber digital untuk discovery dan cetak untuk comprehension, dan 3) perpustakaan fisik masih dianggap sebagai ruang penting untuk aktivitas akademis yang serius, terutama untuk group study dan research activities (Library Research Service, 2022, hlm. 5).

Namun, di tengah hiruk-pikuk digitalisasi, muncul gerakan counter-culture yang menarik: slow reading movement. Gerakan ini mempromosikan kembali ke tradisi membaca mendalam, reflektif, dan kontemplative—sesuatu yang lebih mudah dicapai melalui medium cetak karena absence of hyperlinks dan digital distractions (Mangen et al., 2013, hlm. 118).

Oleh karena itu, perpustakaan fisik mendapat peran baru sebagai sanctuary bagi para praktisi slow reading. Lingkungan yang tenang, bebas dari notifikasi digital, dan atmosfer yang kondusif untuk konsentrasi menjadikan perpustakaan fisik sebagai oasis literasi di tengah gurun digital yang penuh distraksi.

Strategi Adaptasi Perpustakaan Fisik di Era AI

Strategi yang paling viable adalah mengadopsi pendekatan hibrid yang mengintegrasikan kecanggihan AI dengan kearifan tradisional perpustakaan. Selain itu, perpustakaan dapat memanfaatkan AI untuk: 1) sistem rekomendasi buku yang personal berdasarkan reading history dan preferences, 2) katalogisasi otomatis yang lebih efisien menggunakan machine learning algorithms, dan 3) layanan referensi cerdas yang membantu visitor menemukan informasi dengan lebih akurat melalui natural language processing (Liblime, 2024, hlm. 3).

Di sisi lain, esensi perpustakaan sebagai ruang publik yang demokratis dan inklusif harus tetap dipertahankan. Teknologi AI sebaiknya diposisikan sebagai enabler yang empowers librarians, bukan replacer yang threatens human expertise dan personal interaction.

Perpustakaan modern perlu mengembangkan program-program yang tidak dapat direplikasi oleh teknologi digital, seperti: (1) reading circles yang mendorong face-to-face discussion dan social interaction, 2) workshop literasi untuk berbagai kelompok usia dengan hands-on activities, 3) program mentoring membaca untuk anak-anak yang membutuhkan human guidance, dan 4) event kultural yang merayakan tradisi literasi lokal dan community heritage (IFLA, 2024, hlm. 67).

Namun, yang paling penting adalah menciptakan experience yang holistic—kombinasi antara akses informasi digital yang canggih dengan warmth dan human touch yang hanya bisa diberikan oleh interaksi manusia otentik.

Tantangan ekonomi menjadi salah satu isu paling krusial dalam mempertahankan eksistensi perpustakaan fisik. Selain itu, pemerintah dan institusi pendidikan perlu mengkaji ulang model pendanaan perpustakaan dengan mempertimbangkan nilai ekonomi jangka panjang dari preservasi literasi tradisional dan social capital yang dihasilkan (American Library Association, 2024, hlm. 48).

Oleh karena itu, diperlukan diversifikasi sumber pendanaan melalui: 1) public-private partnerships dengan tech companies yang memiliki corporate social responsibility agenda, 2) program crowdfunding untuk proyek-proyek spesifik seperti digitization dan community programs, dan 3) pengembangan social enterprise yang sustainable seperti café, event hosting, dan educational services.

Dampak Sosial Perpustakaan sebagai Third Place

Perpustakaan fisik memainkan peran vital sebagai "third place"—ruang netral antara rumah dan tempat kerja yang memfasilitasi interaksi sosial yang meaningful dan cross-cultural understanding (IFLA, 2023, hlm. 89). Di era yang semakin atomized secara sosial karena digital isolation, fungsi ini menjadi semakin penting untuk social cohesion dan democratic discourse.

Namun, untuk mempertahankan relevansinya, perpustakaan harus terus berinovasi dalam menciptakan programming yang responsive terhadap kebutuhan komunitas lokal, mulai dari digital literacy workshops untuk elderly populations hingga creative arts programs untuk youth engagement.

Era AI menuntut perpustakaan untuk melakukan fundamental self-reinvention. Selain itu, perpustakaan tidak lagi dapat mengandalkan fungsi tradisional sebagai penyimpan dan penyedia akses informasi semata, karena fungsi ini telah diambil alih secara signifikan oleh search engines dan digital platforms (Vasishta et al., 2025, hlm. 67).

Oleh karena itu, perpustakaan perlu mereposisi diri sebagai: (1) curator of quality information dalam era information abundance dan fake news proliferation, 2) facilitator of human connection dalam dunia yang semakin digital dan isolated, dan 3) guardian of deep literacy dalam kultur yang cenderung superficial dan instant gratification.

Di sisi lain, pemerintah perlu mengembangkan kebijakan yang secara eksplisit mendukung koeksistensi antara teknologi digital dan infrastruktur literasi tradisional. Hal ini meliputi: 1) regulasi yang melindungi akses publik terhadap informasi berkualitas dan intellectual freedom, 2) insentif fiskal untuk pengembangan perpustakaan hibrid yang integrate best of both worlds, dan 3) program literasi nasional yang mengintegrasikan pendekatan digital dan analog secara complementary (IFLA, 2024, hlm. 125).

Namun, yang paling fundamental adalah mengembangkan konsep literasi holistik yang tidak memposisikan digital dan analog sebagai entitas yang saling bertentangan, melainkan sebagai komponen yang saling melengkapi dalam ekosistem pengetahuan yang sehat dan sustainable.

Kesimpulan

Pertanyaan yang diajukan di awal artikel—apakah perpustakaan fisik dan buku cetak akan menjadi artefak nostalgia—ternyata memiliki jawaban yang lebih optimis dari yang dibayangkan. Era AI, alih-alih mengancam eksistensi perpustakaan fisik, justru membuka peluang untuk redefinisi dan revitalisasi peran perpustakaan dalam masyarakat modern.

Selain itu, fenomena digital fatigue dan slow reading movement menunjukkan bahwa manusia memiliki kebutuhan inheren akan pengalaman literasi yang mendalam dan kontemplatif—sesuatu yang paling optimal difasilitasi oleh perpustakaan fisik dan buku cetak. Oleh karena itu, masa depan literasi bukanlah tentang dominasi satu medium atas yang lain, melainkan tentang orkestrasi harmonis antara berbagai modalitas literasi.

Namun, optimisme ini harus disertai dengan action yang konkret. Perpustakaan perlu beradaptasi dengan mengintegrasikan teknologi AI secara strategis tanpa kehilangan soul-nya sebagai ruang demokratis dan inklusif. Di sisi lain, masyarakat dan pemerintah perlu berkomitmen untuk mendukung keberlanjutan infrastruktur literasi tradisional sebagai bagian integral dari ekosistem pengetahuan yang sehat.

Pada akhirnya, menyemai harapan untuk menjaga eksistensi perpustakaan fisik dan minat baca buku cetak di era AI bukanlah tentang resistensi terhadap perubahan, melainkan tentang wisdom dalam menavigasi transformasi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai fundamental yang membuat kita manusiawi—kemampuan untuk berefleksi, berempati, dan terhubung dengan pengetahuan secara mendalam.

*Dosen Ilmu Perpustakaan dan informasi islam UIN SMH BANTEN

Daftar Pustaka

  1. 1. American Library Association. (2024). State of America's Libraries 2024 Report. ALA. https://www.ala.org/news/state-americas-libraries-report-2024
  2. 2. American Library Association. (2025). State of America's Libraries: A Snapshot of 2024. ALA. https://www.ala.org/news/state-americas-libraries-report-2025
  3. 3. Cox, A. M., Pinfield, S., & Rutter, S. (2023). The intelligent library: Thought leaders' views on the likely impact of artificial intelligence on academic libraries. Library Hi Tech, 41(1), 34-55. https://doi.org/10.1108/LHT-08-2022-0361
  4. 4. Delgado, P., Vargas, C., Ackerman, R., & Salmerón, L. (2018). Don't throw away your printed books: A meta-analysis on the effects of reading media on reading comprehension. Educational Research Review, 25, 23-38. https://doi.org/10.1016/j.edurev.2018.09.003
  5. 5. Grant, M. J., & Booth, A. (2009). A typology of reviews: An analysis of 14 review types and associated methodologies. Health Information & Libraries Journal, 26(2), 91-108. https://doi.org/10.1111/j.1471-1842.2009.00848.x
  6. 6. IFLA. (2023). Influencing impact: IFLA Trend Report Update 2023 explores what shapes libraries' ability to shape development. International Federation of Library Associations. https://www.ifla.org/news/influencing-impact-ifla-trend-report-update-2023-explores-what-shapes-libraries-ability-to-shape-development/
  7. 7. IFLA. (2024). IFLA Trend Report 2024: Facing the Future with Confidence. International Federation of Library Associations. https://www.ifla.org/news/trend-report-2024-report-launched/
  8. 8. Library Research Service. (2022). Reading habits for evolving libraries. Library Research Service. https://www.lrs.org/2022/08/18/reading-habits-for-evolving-libraries/
  9. 9. Liblime. (2024, November 25). Five transformative trends shaping libraries in 2024. Liblime Blog. https://liblime.com/2024/11/25/five-transformative-trends-shaping-libraries-in-2024/
  10. 10, Mangen, A., Walgermo, B. R., & Brønnick, K. (2013). Reading linear texts on paper versus computer screen: Effects on reading comprehension. International Journal of Educational Research, 58, 61-68. https://doi.org/10.1016/j.ijer.2012.12.002
  11. 11. Mosha, N. F. (2024). Integrating artificial intelligence-based technologies 'safely' in academic libraries: An overview through a scoping review. Journal of Interlibrary Loan, Document Delivery & Electronic Reserve, 32(1), 105-125. https://doi.org/10.1080/07317131.2024.2432093
  12. 12. Pew Research Center. (2014, September 10). Younger Americans' reading habits and technology use. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/internet/2014/09/10/younger-americans-reading-habits-and-technology-use/
  13. 13. Pew Research Center. (2021, January 6). Three-in-ten Americans now read e-books. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/short-reads/2022/01/06/three-in-ten-americans-now-read-e-books/
  14. 14. Pickering, C., & Byrne, J. (2014). The benefits of publishing systematic quantitative literature reviews for PhD candidates and other early career researchers. Higher Education Research and Development, 33(3), 534-548. https://doi.org/10.1080/07294360.2013.841651
  15. 15. Snyder, H. (2019). Literature review as a research methodology: An overview and guidelines. Journal of Business Research, 104, 333-339. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2019.07.039
  16. 16. Tranfield, D., Denyer, D., & Smart, P. (2003). Towards a methodology for developing evidence-informed management knowledge by means of systematic review. British Journal of Management, 14(3), 207-222. https://doi.org/10.1111/1467-8551.00375
  17. 17. Vasishta, P., Dhingra, N., & Vasishta, S. (2025). Application of artificial intelligence in libraries: A bibliometric analysis and visualisation of research activities. Library Hi Tech, 43(2), 28-52. https://doi.org/10.1108/lht-12-2023-0589

Share this Post