Generasi Muda Malas Membaca: Aliterasi Atau Hanya Berubah Gaya?
Sumber Gambar :Oleh: Nasywa Azarine Maheswari*
Pendahuluan
Di era digital saat ini, budaya membaca generasi muda mengalami perubahan yang signifikan, terutama bagi remaja yang mudah sekali terpengaruh oleh teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi yang berkembang secara pesat, menjadikan media sosial sebagai tempat untuk berbagi informasi. Selain menjadi sumber informasi, media sosial juga memiliki dampak meluas pada pola perilaku, budaya, sikap maupun pendidikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya berbagai macam media sosial, seperti Instagram, X, TikTok, buku fisik semakin jarang dibaca, bahkan disentuh pun jarang. Hal tersebut digantikan dengan adanya konten digital yang lebih ringkas dan dengan teks yang sedikit, seperti artikel singkat, infografis atau pun video pendek. Tren ini menimbulkan perdebatan: apakah generasi muda benar-benar mengalami aliterasi? atau hanya beradaptasi dengan cara membaca yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman? Mari kita bahas fenomena tersebut secara mendalam!
Apa Itu Aliterasi?
Dalam dunia modern, aliterasi bukan sekedar soal malas membaca, melainkan bagaimana pola konsumsi informasi berubah drastis. Kini, generasi muda, termasuk kalangan mahasiswa lebih menyukai informasi yang singkat, ringkas dan cepat diakses. Hal tersebut menunjukkan bahwa literasi digital sangat krusial bagi generasi muda agar mereka bisa memilah informasi yang relevan, bukan hanya sekadar mengandalkan konten yang instan, yang terkadang kebenarannya belum tentu akurat.
Menariknya, media sosial seperti Instagram, X, TikTok dan platform sejenis bukan hanya jadi hiburan, tetapi juga sebagai alat sumber informasi dan literasi digital yang makin dominan, terutama sejak pandemi Covid-19 kala itu. Pentingnya literasi pada mereka (Gen Z) agar mereka lebih siap untuk menghadapi era Revolusi Industri 4.0 saat ini. Jadi, aliterasi bukan berarti generasi muda berhenti membaca, tetapi mereka lebih memilih format informasi yang visual dan interaktif sesuai dengan perkembangan zaman.
Faktor Penyebab Aliterasi di Kalangan Generasi Muda
Beberapa faktor yang bisa disebutkan sebagai penyebab aliterasi dikalangan generasi muda, antara lain pertama, Dominasi Platform Media Sosial dan Konten Cepat. Platform media sosial seperti X (Twitter), TikTok, Instagram, dan sejenisnya telah menjadi alat sumber informasi bagi Gen Z. Format yang singkat, visual dan interaktif lebih menarik dibandingkan membaca buku fisik yang tebal. Algoritma media sosial yang menyajikan konten sesuai minat pengguna juga membuat informasi lebih mudah diakses.
Selain itu, media sosial juga memungkinkan siapa saja menjadi content creator, dimana informasi yang tersedia juga sangat beragam. Namun, tidak semua konten yang beredar memiliki validitas yang relevan dan dapat dipercaya. Hal ini menjadi tantangan besar dalam literasi digital: bagaimana generasi muda bisa memilah informasi yang kredibel, opini atau bahkan hoaks?
Kedua, Budaya Konsumsi Informasi Instan. Media digital seperti Google, memungkinkan melakukan pencarian informasi dalam hitungan detik. Alih-alih membaca buku 400 halaman, Gen Z lebih suka membaca infografis, ringkasan atau menonton ulasan atau seperti short video di YouTube, TikTok, Instagram atau platform sejenis lainnya. Informasi yang dikemas secara cepat dan menarik menjadi lebih populer dan bahkan menjadi tren dibandingkan dengan teks panjang.
Generasi muda lebih cenderung melakukan pencarian informasi dengan cepat dan mudah dipahami, tanpa perlu membaca secara mendalam bahan bacaannya. Hal ini menimbulkan kurangnya ketelitian dalam memahami suatu konsep secara utuh, dimana dalam jangka panjang dapat menghambat perkembangan pola pikir yang kritis.
Ketiga, Perubahan Gaya Hidup yang Serba Cepat. Generasi muda cenderung memilih sumber informasi yang bisa diakses mudah, cepat dan dimana saja karena rutinitas keseharian yang padat. Dengan mobilitas yang tinggi, mereka lebih nyaman untuk menerima informasi atau konten dalam format yang lebih fleksibel, seperti short video, podcast, artikel pendek dan sebagainya.
Di sisi lain, budaya multitasking yang semakin berkembang dikalangan remaja juga berpengaruh pada pola konsumsi informasi. Seringkali generasi muda melakukan kegiatan membaca sambil melakukan kegiatan lain, seperti sambil mendengarkan musik, menonton video hiburan, mengobrol sesama teman. Hal tersebut mengakibatkan kurangnya fokus dan pemahaman yang maksimal terhadap materi yang dibaca.
Keempat, Kurangnya Budaya Membaca Sejak Dini. Lingkungan terdekat termasuk keluarga, teman dekat, kerabat, menjadi salah satu faktor yang krusial dalam mendorong minat membaca sejak dini. Orang tua yang tidak menjadikan budaya membaca sejak kecil akan lebih sulit membangun minat baca yang kuat di masa remaja dan dewasa pada anak. Karena tidak adanya pondasi dan motivasi yang kuat terhadap anak tersebut untuk melakukan kegiatan membaca.
Peran sekolah juga menjadi peran penting dalam budaya membaca sejak dini. Kurikulum yang kurang menekankan pentingnya membaca pada peserta didik akan memperburuk pola berpikir kritis dan fenomena aliterasi ini.
Kelima, Tantangan dalam Menyesuaikan Diri dengan Bacaan Panjang. Generasi muda ynag terbiasa menerima informasi yang singkat seringkali mengalami kesulitan dalam memahami teks panjang yang memerlukan konsentrasi dan fokus yang lebih tinggi. Hal tersebut berdampak pada daya tahan membaca mereka yang cenderung rendah dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Budaya membaca yang didominasi oleh konten-konten digital yang singkat dan instan mengakibatkan tingkat pemahaman terhadap bacaan akademik menurun. Maka dari itu, dunia pendidikan beradaptasi dengan metode pembelajaran yang menarik dan relevan bagi generasi muda digital saat ini.
Solusi Menyesuaikan Literasi dengan Era Digital
Di zaman yang serba digital ini, pemanfaatan format digital seperti e-book, audiobook, artikel online, e-journal, dan sebagainya dapat menjadi sumber dan jembatan antara literasi tradisional dan modern. Meningkatkan minat baca pada Gen Z merupakan hal krusial. Maka dari itu, edukasi tentang literasi informasi diperlukan agar mereka mampu memilah informasi yang kredibel dan terpecaya. Tentunya, dengan hal tersebut kita akan terhindar dari informasi yang palsu, alias hoaks.
Mereka juga perlu mengkombinasikan kebiasaan membaca mereka, tidak hanya fokus disatu sisi saja. Hal yang bisa dilakukan adalah tetap membaca buku fisik, jurnal, artikel, koran, di mana cenderung dengan teks panjang yang harus memiliki daya fokus yang lebih. Dengan tidak hanya membaca informasi yang singkat dan isntan, mereka tetap bisa memperkuat daya berpikir kritis dan analisis yang kuat. Akibatnya, budaya membaca mereka lebih balance di tengah dominasi informasi yang instan dan serba digital ini.
Kesimpulan
Jadi, apakah benar generasi muda malas membaca? Atau hanya sekadar berubah gaya dalam membaca? Berdasarkan pembahasan di atas, generasi muda malas membaca perlu ditinjau ulang. Faktanya, Gen Z tidak benar-benar meninggalkan budaya membaca mereka. Kebanyakan dari mereka cenderung beradaptasi dengan gaya membaca yang digital, mengikuti perkembangan zaman yang serba digital. Literasi digital dan konsumsi informasi yang visual ini lebih mendominasi dibanding dengan budaya baca yang tradisional, seperti membaca buku fisik atau teks panjang.
Alih-alih malas, generasi muda justru lebih cenderung membaca melalui teks singkat, seperti konten singkat di platform media sosial seperti TikTok, Instagram dan sejenisnya, artikel singkat, infografis, video edukatif di YouTube atau tren berita singkat di X. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola budaya membaca mengalami perubahan. Namun, tantangan terbesar dari persoalan ini adalah kita dapat memastikan bahwa mereka tetap memiliki kemampuan daya analisis dan berpikir kritis yang baik, juga dapat menerima informasi dengan pemahaman yang mendalam.
Budaya membaca yang didominasi oleh konten-konten digital yang singkat dan instan mengakibatkan tingkat pemahaman terhadap bacaan akademik menurun. Maka dari itu, dunia pendidikan beradaptasi dengan metode pembelajaran yang menarik dan relevan bagi generasi muda digital saat ini
Di zaman yang serba digital ini, pemanfaatan format digital seperti e-book, audiobook, artikel online, e-journal, dan sebagainya dapat menjadi sumber dan jembatan antara literasi tradisional dan modern. Meningkatkan minat baca pada Gen Z merupakan hal krusial. Maka dari itu, edukasi tentang literasi informasi diperlukan agar mereka mampu memilah informasi yang kredibel dan terpecaya. Tentunya, dengan hal tersebut kita akan terhindar dari informasi yang palsu, alias hoaks.
Maka dari itu, penting untuk menyeimbangkan budaya membaca tradisional dan modern. Dunia pendidikan, keluarga, teman dekat, juga masyarakat harus memastikan bahwa generasi muda tidak hanya membaca informasi singkat dan instan, tetapi juga memiliki keterampilan untuk menganalisis dan berpikir kritis secara mendalam terhadap informasi yang dikonsumsi.
*Mahasiswa UIN SMH Banten. 231390017.nasywaazarine@uinbanten.ac.id
Daftar Pustaka
Nabila, L. N., Utama, F. P., Habibi, A. A., & Hidayah, I. (2023). Aksentuasi literasi pada gen-z untuk menyiapkan generasi progresif era revolusi industri 4.0. Journal of Education Research, 4(1), 28-36.
Rahardaya, A. K. (2021). Studi literatur penggunaan media sosial tiktok sebagai sarana literasi digital pada masa pandemi covid-19. Jurnal Teknologi Dan Sistem Informasi Bisnis, 3(2), 308-319.
Rahim, A., & Indah, M. (2024). Pentingnya pendidikan literasi digital di kalangan remaja. SABAJAYA Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(02), 51-56.
Syabaruddin, A., & Imamudin, I. (2022). Implementasi Literasi Digital Di Kalangan Mahasiswa. Jurnal Eduscience, 9(3), 942-950.