Bayt Al Hikmah dan Ikhtiar Membangun Indonesia Dari Pinggiran
Sumber Gambar :Bayt Al Hikmah dan
Ikhtiar Membangun Indonesia Dari Pinggiran
Penulis : Faiz Romzi
Ahmad*
Pada
abad ke-8, Muslim telah mengimpor teknik produksi kertas dari Tiongkok dan
mulai memproduksi kertas, pertama di beberapa kota di Asia Tengah dan kemudian
di Baghdad. Pabrik kertas pertama di Baghdad berdiri pada tahun 795. Ini yang
salah satunya memungkinkan percepatan produksi dan penyebaran manuskrip-manuskrip di zaman
Abbasiyah awal. Ini
juga yang mengakibatkan percepatan dan efisiensi pertukaran gagasan, ide dan
pengetahuan,
serta mendorong riset-riset serta tulisan-tulisan ilmiah. Proses
produksi kertas ini juga menumbuhkan budaya literasi bagi masyarakat Baghdad
secara khusus. Sejak saat itu kebutuhan akan pasar buku menjadi kebutuhan
primer masyarakat.
Ahmet
Kuru dalam bukunya “Islam,
Ketertinggalan dan Otoritarianisme”
menyebut pada akhir abad ke-9, dilaporkan bahwa Baghdad ada lebih dari seratus
penjual buku. Produksi buku, penjilidan buku, dan jasa translasi, semuanya
tumbuh dengan subur di Baghdad bersama berkembangnya tulisan, riset, dan penerjemahan. Buku menjadi
sangat mahal diproduksi, dan buku-buku
langka pun banyak diminati para cendekiawan Baghdad. Kertas dari Baghdad
berkualitas premium, sangat dihargai di wilayah itu. Sementara, keahlian
sebagai juru salin, editor dan pengarang di wilayah kota menjadi pekerjaan yang
sangat menjanjikan.
Baghdad, Sebuah Ibukota
Baru
Abu
Ja’far al-Mansur tidak mau
mengambil resiko atas kota imperialnya yang baru, kota itu harus benar-benar berbeda dari kota
yang lain. Al-Mansur
mencari petunjuk pada para astrolog handal. Keputusan Khalifah Al-Mansur untuk
meninggalkan Damaskus yang didominasi orang Arab dan memusatkan kota barunya di
Mesopotamia menegaskan beberapa perubahan mendasar di jantung dunia Muslim.
Baghdad
dulunya adalah perkampungan kecil biasa. Pembangunan Baghdad sebagai ibukota
baru itu selesai tahun 765, konstruksi kotanya di bawah arahan para astrolog
tersohor, sebagai kota masa depan yang menjadi pusat berkumpulnya para cendekia
dan pusat transfer keilmuan.
Bentuk
awal kota itu adalah melingkar, menyerupai benteng Persia klasik, dibangun
dengan orientasi pertahanan militer yang kokoh. Keinginan Al-Mansur bahwa ibukota
barunya ini sebagai kawasan metropolis bukan omong kosong semata.
Letaknya
yang strategis, kebudayaannya
yang multietnis, dan tata kotanya yang kukuh dari serangan militer menjadikan
Baghdad sebagai kawasan yang terintegrasi; perniagaan dan pertukaran ilmiah. Ini mendorong
meningkatnya fenomena urbanisasi penduduk di luar Baghdad untuk berdomisili di
Baghdad. Para tukang yang terampil, pedagang, dan rakyat antre berdesakan pergi
ke Baghdad, untuk memenuhi kebutuhan kota saat itu.
Tak
terelakan, seiring eksodus
penduduk mengharuskan perluasan wilayah. Baghdad memanjang sampai pinggiran
Sungai Tigris. Perkembanganya luar biasa, kekuatan ekonomi, kekuatan militer
dan pengaruh kekuasaan terus meningkat. Ahmet Kuru menyebut bahwa pada abad ke-9
hingga abad ke-12, atau lebih lama lagi, keseluruhan dunia Muslim menikmati
kondisi intelektual dan sosioekonomi yang lebih unggul daripada Eropa Barat. Antara tahun 800-1000, Baghdad dengan
perkiraan penduduk antara 300.000 dan 1.000.000 jiwa, jauh lebih besar daripada
kota Eropa Barat manapun.
Bayt al-Hikmah, Pusat Kajian
Ilmu era Abbasiyah
Untuk
mengakomodasi kerja-kerja
translasi naskah Persia, Yunani dan Sanskerta, al-Mansur lalu membangun sebuah
perpustakaan besar dan megah dengan mencontoh perpustakaan-perpustakaan para raja Persia yang
hebat.
Ruang
kerja, dukungan adminsitratif dan bantuan finansial juga dibutuhkan oleh
sekelompok cendekiawan yang akan mengerjakan tugas-tugasnya. Inilah yang di kemudian
hari kita kenal dengan nama Bayt al-Hikmah,
The House of Wisdom, Rumah
Kebijaksanaan. Sebuah tanggung jawab Al-Mansur
sebagai otoritas kekhalifahan dan sekaligus nawacita dari kekhalifahan
Abbasiyah itu sendiri.
Bayt
al-Hikmah adalah
perpustakaan di Baghdad yang diinisiasi oleh Khalifah Al-Mansur (714-775) dan diresmikan
oleh Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809). Bayt al-Hikmah menjadi simpul
penting dalam gerakan penerjemahan yang lebih luas menjangkau banyak kota di
seluruh wilayah Muslim.
Karya
berbahasa Yunani Kuno, Suriah, Persia Tengah, dan Sanskerta di bidang filsafat,
psikologi, matematika, kedokteran, fisika, geologi, dan bidang-bidang lain diterjemahkan
kedalam bahasa Arab.
Selain terjemahan, karya asli juga berkembang. Misalnya, peta dunia
yang pembuatannya diperintahkan oleh al-Ma’mun menampilkan bentuk
bola dan melambangkan “lautan yang terus menerus mengelilingi daratan,
memperlihatkan Afrika sebagai benua yang bisa dikelilingi dan Samudera Hindia
berbeda dengan Ptolemeus yang menggambarkannya sebagai laut pedalaman sebagai laut terbuka.
Salah
satu yang tidak asing di telinga kita adalah nama Muhammad ibn Musa Al-Khawarizmi,
matematikawan dan astronom muslim yang hebat. Al-Khawarizmi turut serta dalam observasi-observasi astronomi, ia
adalah peneliti ternama di Bayt al-Hikmah.
Bayt
al-Hikmah menjadi tempat
pelestarian pengetahuan yang mahal. Para pakar yang menjadi staf observatorium
melakukan eksperimen-eksperimen
ilmiah dan pengembangan kesusastraan yang diperintahkan otoritas kekhalifahan. Untuk mendukung itu,
dana publik juga dialokasikan untuk pengoperasian kerja-kerja para pakar di
Bayt al-Hikmah.
Keberadaan
Bayt al-Hikmah menjadikan
Baghdad sebagai pusat transmisi ilmu dan menghantarkan Islam pada era emasnya (the golden era), karya-karya dari para pakar
yang berkerja sebagai ahli observatorium memberikan pengaruh siginifikan pada
perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam bahkan dunia Barat.
Membangun Indonesia
dari Pinggiran
Dari
Bayt Al-Hikmah kita bisa
mengambil hikmah. Membangun Indonesia dari pinggiran. Indonesia adalah negara dengan persamuhan
desa-desa. 80% luas negeri
ini adalah wilayah pedesaan, sedangkan luas perkotaan hanya 20% saja. Sekitar
44% manusia Indonesia menempati desa, sisanya menyambung hidup di kota.
Sebenarnya,
bukan tanpa perhatian. Negeri ini punya kebijakan yang bijaksana untuk
pembangunan manusia desa. Ada banyak intitusi dan ordonansi yang dibentuk
oleh pemerintah untuk
membuka bendungan itu. Membangun
Indonesia dari Pinggiran. Ya, ini adalah frasa nawacita Pak Jokowi sejak
periode pertamanya bareng Pak Jusuf Kalla untuk memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
bingkai negara kesatuan.
Dana Desa Jangan Hanya
untuk Pengerasan Jalan Saja
Data
dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri) bahwa secara
kuantitas, semua provinsi di Indonesia memiliki Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.
Dari 514 kabupaten/kota, baru terdapat 33 kabupaten/kota yang memiliki Dinas
Perpustakaan dan Kearsipan, karena ada yang digabung dengan dinas lain. Dari
7.094 kecamatan, hanya 1.658 kecamatan di antaranya yang memiliki perpustakaan
(sekitar 23%), dan dari 83.451 desa di Indonesia, hanya 33.929 desa yang memiliki
perpustakaan.
Ini
artinya, ada 49.522 desa yang tidak memiliki ruang baca publik. Dengan demikian
himbauan pemerintah ihwal dana desa bisa digunakan bagi pembangunan
perpustakaan desa belum dioptimalisasi oleh perangkat desa. Selama ini,
perangkat desa membulatkan fokusnya pada pembangunan secara material, semisal
pengerasan jalan dan drainase di pinggiran jalan. Padahal, perangkat desa bisa
menyalurkan sekian persen dari dana desa untuk ruang baca publik, tentunya
dengan mekanisme musyawarah desa.
Komisi
X Dewan Perwakilan Rakyat RI mendorong agar perangkat desa membangun
perpustakaan desa dengan dana desa. Kemendagri menghimbau perangkat desa
menyisakan anggaran juga untuk perpustakaan desa. Ditambah, angin segar datang
dari Abdul
Halim Iskandar, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
yang mengalokasikan sebesar Rp 72 triliun untuk Dana Desa di 2021. Ini
meningkat 1,1% dari tahun sebelumnya. Apalagi Kemendes PDTT juga menyarankan
agar perpustakaan desa jadi salah satu prioritas pembangunan desa.
Urgensi Perpustakaan
Desa
Yang
saya temui di lapangan. Perangkat desa belum begitu memprioritaskan prihal ini.
Alasannya sebab bukan itu yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk saat ini. Masyarakat desa pun sehari-harinya menghabiskan
waktu untuk bekerja. Tak sempat untuk membaca. Sehingga utilitas dari ruang
baca publik atau perpustakaan desa itu belum bisa dipetik manfaatnya oleh
masyarakat desa. Sepenting apa sih perpustakaan bagi desa?
Ini
adalah tantangan bagi pengelola perpustakaan desa untuk memasyarakatkan
kebermanfaatannya. Perpustakaan desa bisa menjadi pusat informasi dan
pengetahuan bagi masyarakat desa, tentunya untuk meningkatkan standarisasi
derajat sosial dan ekonomi masyarakat desa. Anggapan membaca buku hanya untuk
kalangan terpelajar masih melekat dalam ingatan masyarakat desa, ini juga
tantangan yang lain yang mesti digeser pemaknaannya.
Stimulan
dana desa dari pemerintah harus dimaksimalkan.
Ya, kita sepakat kemiskinan dan kelaparan adalah prioritas utamanya, tentu juga
kita harus sepakat dengan perpustakaan desa untuk masuk skala prioritas. Agar
taraf kehidupan desa bisa beranjak menahan derasnya urbanisasi yang menjadi
masalah perkotaan. Perpustakaan desa bisa hadir di sana menjadi jembatan
edukasi pemecahan masalah.
Keberadaan
perpustakaan desa sangatlah penting, sebagai gerbong pembawa lokomotif
informasi untuk membangun manusia desa yang mandiri dan berdaya. Maka dari itu,
stimulasi dari pemerintah berupa anggaran fiskal dan ordonansi yang mengikat
harus disambut dengan gegap gempita.
Sustainabilty Perpustakaan Desa
Literasi
itu definisnya luas. Tidak terbatas pada baca dan tulis semata. Literasi adalah
bagaimana cakap dalam memanfaatkan hasil bacaan tersebut. Perpustakaan desa
tidak serta merta menyediakan ratusan eksemplar buku tanpa ada upaya
pengembangan keterampilan bagi masyarakat.
Pada
level tertentu, perpustakaan desa bisa menaikan gairah kegersangan yang
terdapat pada manusia desa berupa sematan kuno, terbelakang dan ketertinggalan.
Sehingga bisa menggaransikan kesiapan manusia desa menghadapi modernitas zaman.
Tentu,
pekerjaan rumahnya bukan hanya pada membangun perpustakaan saja lalu memasang
papan nama di depannya, setalah itu selesai. Bukan itu, bukan. PR selanjutnya
adalah bagaimana mengelolanya sehingga
dapat membawa masyarakat desa
yang literat. Sustainability (keberlanjutan) perpustakaan desa harus
sudah dipastikan. Sebab, banyak yang sudah berdiri lalu setelah itu mengalami
kevakuman. Alasannya? Masih sama terbentur anggaran dan kekreatifan pengelola.
Butuh keberanian memang untuk menjadi pengelolanya.
*Ketua Bidang Pendidikan
DPW Himpunan Mahasiswa Mathla’ul Anwar Banten