Belajar Mantiq dari Sulam al-Munawraq: Perpustakaan Sebagai Ladang Pengamalannya
Sumber Gambar :Oleh: Aceng Murtado*
Pendahuluan
Di era digital yang ditandai oleh banjir informasi, setiap orang dapat mengakses berita, opini, dan data dari berbagai sumber hanya dalam hitungan detik. Namun, kelimpahan informasi ini bukan tanpa tantangan. Informasi yang tersedia tidak selalu terverifikasi, dan seringkali bercampur antara fakta, opini, dan bias. Dalam situasi ini, kemampuan berpikir logis menjadi kebutuhan mendesak. Berpikir logis memungkinkan seseorang untuk mengenali masalah, mengumpulkan informasi yang relevan, mengevaluasi argumen, dan menarik kesimpulan yang tepat (Critical Thinking, 2024).
Perpustakaan, sebagai pusat ilmu pengetahuan, menyimpan beragam koleksi mulai dari buku cetak, manuskrip, hingga sumber digital. Michael Gorman menyebut perpustakaan sebagai anak kandung Pencerahan dan rasionalisme, yang mempraktikkan keteraturan dan pengorganisasian informasi secara sistematis (Gorman, 2000). Namun, besarnya koleksi dan ragam informasi yang tersimpan di perpustakaan justru menuntut pengunjung untuk memiliki keterampilan mengolah informasi. Tanpa kemampuan ini, seseorang mudah tersesat di tengah lautan buku yang luas.
Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu mantiq hadir sebagai salah satu instrumen penting untuk menjaga kebenaran berpikir. Ia mengajarkan kaidah-kaidah berpikir yang benar, agar terhindar dari kesalahan dalam mengambil kesimpulan. Secara klasik, para ulama menggambarkan mantiq bagi akal sebagaimana ilmu nahwu bagi bahasa: siapa yang menguasainya akan terhindar dari kesalahan berpikir dan lebih mudah memahami permasalahan yang rumit (al-Akhdhari, Sulam al-Munawraq).
Namun, posisi mantiq dalam pendidikan Islam tidak lepas dari perdebatan akademik. Di satu sisi, para ulama seperti al-Ghazali dan al-Taftazani menegaskan urgensinya, bahkan menyatakan bahwa mempelajari mantiq adalah fardhu kifayah bagi umat, karena ia menjadi alat penting dalam memahami nash-nash syariat secara tepat (al-Ghazali, Mi’yar al-‘Ilm). Di sisi lain, ada kritik dari sebagian kalangan, misalnya Ibn Taimiyyah, yang menilai bahwa mantiq Yunani tidak mutlak diperlukan dan terkadang justru menjerumuskan ke dalam spekulasi yang jauh dari tuntunan nash (Ibn Taimiyyah, al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin). Perdebatan ini berlangsung berabad-abad, tetapi dalam praktiknya, banyak pesantren di Nusantara memilih pendekatan moderat yaitu mantiq dipelajari sebagai alat, bukan tujuan, sehingga penggunaannya tetap dalam koridor keilmuan Islam.
Salah satu kitab pengantar mantiq yang populer di pesantren adalah Sulam al-Munawraq karya Syekh Abdurrahman al-Akhdhari (w. 953 H/sekitar 1575 M). Kitab ini disusun dalam bentuk nazham atau puisi ilmiah yang memudahkan santri menghafal dan memahami isi pembahasan. Materinya meliputi definisi dan pembagian konsep, bentuk qiyas, serta cara menghindari kesalahan berpikir (mughālaṭah). Karena ringkas namun padat, kitab ini menempati posisi penting sebagai pintu masuk bagi santri yang ingin mempelajari logika sebelum beranjak pada kajian filsafat atau ilmu debat (Alif.id, 2022; Santri Millenial, 2024).
Dengan memadukan penguasaan ilmu mantiq melalui Sulam al-Munawraq dan pemanfaatan sumber-sumber ilmu di perpustakaan, diharapkan pembaca tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga memiliki kemampuan menyeleksi, mengkritisi, dan menghubungkan informasi secara terstruktur. Perpustakaan, dalam hal ini, menjadi ladang pengamalan nyata bagi kaidah-kaidah berpikir yang dipelajari dalam mantiq.
Kitab Sulam al-Munawraq Tangga Menuju Berpikir Logis
Kitab Sulam al-Munawraq merupakan salah satu karya paling berpengaruh dalam pengajaran ilmu mantiq di dunia Islam, khususnya di pesantren Nusantara. Penyusunnya, Imam ʿAbd al-Raḥmān ibn Muḥammad al-Ṣaghīr al-Akhḍarī (w. 1575 M), adalah ulama besar asal Biskra, Aljazair, yang dikenal menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari fikih Maliki, astronomi, hingga logika. Beliau hidup pada masa Dinasti Utsmaniyah di Afrika Utara dan menjadi figur penting dalam penguatan tradisi intelektual Islam Maghribi (En.wikipedia, 2025; Es.wikipedia, 2025).
Karya ini ditulis dalam bentuk nazham (puisi ilmiah) sebanyak 144 bait, yang memuat ringkasan dari Isaghuji karya Athir al-Din al-Abhari, dengan tambahan penjelasan dan penyusunan yang sistematis agar mudah dihafal. Bentuk nazham dipilih bukan sekadar untuk keindahan bahasa, tetapi untuk memudahkan transmisi ilmu di lingkungan tradisional yang mengandalkan hafalan. Dengan gaya ringkas, kitab ini memandu pembaca menaiki tangga berpikir logis yang benar, sesuai namanya Sulam (tangga) dan Munawraq (yang dihiasi) (Santricendekia.com, 2023; Sunanulhuda.id, 2024; Pecihitam.org, 2022).
Isi kitab ini dimulai dengan pembahasan dasar logika seperti tashawwur (pemahaman konsep) dan tashdīq (penegasan kebenaran suatu proposisi), kemudian berlanjut ke analisis dalālah (hubungan makna kata), qadīyyah (proposisi), dan qiyās (silogisme). Bagian penting lainnya adalah pembahasan mughālaṭah, yakni kesalahan berpikir atau fallacy yang harus dihindari dalam penalaran ilmiah. Topik-topik ini dibahas secara padat namun cukup untuk menjadi fondasi sebelum mempelajari logika tingkat lanjut seperti dalam Syarh al-Sullam karya al-Damanhuri (Pecihitam.org, 2022; Almiftah.id, 2025).
Dalam tradisi pesantren, Sulam al-Munawraq menempati posisi strategis sebagai kitab pengantar mantiq yang diajarkan setelah santri menguasai dasar-dasar bahasa Arab dan ilmu alat seperti nahwu, sharaf, serta balaghah. Kitab ini bukan hanya dipelajari secara tekstual, tetapi juga dihafalkan bait-baitnya, sebagaimana tradisi pengajaran kitab nazham lainnya. Selain syarah berbahasa Arab, di Indonesia terdapat terjemahan lokal seperti karya KH. Bisri Mustofa, yang menunjukkan adaptasi kitab ini dalam konteks budaya dan bahasa setempat.
(KhasanahIntelektual.blogspot.com, 2025; Alif.id, 2024; Almusripusat.com, 2024).
Relevansi Sulam al-Munawraq di era modern tidak surut. Justru, di tengah banjir informasi digital, keterampilan memilah argumen yang sahih dari yang keliru menjadi semakin penting. Pesantren-pesantren besar seperti Lirboyo, Sarang, dan Sidogiri tetap mengajarkan kitab ini, bahkan beberapa mencetak edisi baru dengan penjelasan yang memadukan terminologi logika klasik dan modern (Almiftah.id, 2025). Dengan demikian, Sulam al-Munawraq bukan sekadar warisan intelektual, tetapi juga alat praktis untuk melatih ketajaman berpikir yang sangat relevan di perpustakaan, kelas, maupun forum ilmiah.
Perpustakaan sebagai Ladang Pengamalan Mantiq
Perpustakaan sejak dahulu menjadi simbol gudang ilmu, menyimpan dan menyajikan beragam pengetahuan dalam berbagai format, mulai dari buku cetak, jurnal ilmiah, e-book, hingga basis data daring dan koleksi multimedia. Di era digital, fungsi ini semakin meluas dengan hadirnya katalog daring, layanan pinjaman e-book, dan akses ke pangkalan data internasional yang dapat dijangkau kapan saja. Keberagaman koleksi dan kemudahan akses menjadikan perpustakaan bukan hanya tempat penyimpanan buku, tetapi pusat informasi strategis untuk mendukung literasi informasi, penelitian, dan pembelajaran sepanjang hayat (Wahyudi, 2017; Setyawan, 2024).
Namun, kekayaan informasi yang tersimpan di perpustakaan juga diiringi tantangan yang tidak ringan. Fenomena information overload membuat pengguna sering kesulitan membedakan informasi yang valid dan relevan dari yang keliru atau dangkal (Arta, 2025). Kesenjangan akses teknologi masih menjadi masalah di banyak daerah, di mana keterbatasan jaringan internet, minimnya koleksi digital, dan kurangnya pustakawan dengan kompetensi literasi digital menghambat pemanfaatan maksimal perpustakaan (Saputra, 2024). Tidak jarang pula minat baca yang rendah dan keterbatasan anggaran menghambat upaya pengembangan koleksi serta layanan (Lestari, 2024).
Dalam konteks inilah ilmu mantiq dapat berperan sebagai perangkat berpikir kritis yang nyata manfaatnya. Mantiq mengajarkan prinsip tamyīz, kemampuan memilah yang dalam dunia perpustakaan dapat diterapkan untuk menyaring informasi berdasarkan kredibilitas sumber, kesesuaian dengan tujuan penelitian, serta relevansi terhadap topik yang dikaji. Pemustaka yang terlatih mantiq tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga menguji premis yang mendasari suatu argumen: apakah premis itu berdasar sumber sahih, apakah struktur penalarannya konsisten, dan apakah kesimpulannya valid.
Selain itu, mantiq melatih kemampuan menganalisis argumen, misalnya dengan silogisme atau pengenalan fallacies (kesalahan berpikir), yang dapat membantu pembaca memahami struktur logis tulisan akademik. Dengan demikian, risiko terjebak pada generalisasi berlebihan, argumen emosional, atau asumsi tak berdasar dapat diminimalkan. Proses membaca pun tidak lagi sekadar menerima isi buku, melainkan mengkritisi dan menyusunnya kembali menjadi pengetahuan yang lebih kokoh.
Perpustakaan, dengan kekayaan koleksi dan keberagaman sumbernya, menyediakan lahan praktik yang ideal bagi penerapan ilmu mantiq. Setiap kali seorang pemustaka memilah buku, menguji data, atau menilai keabsahan argumen, ia sesungguhnya sedang mengamalkan prinsip-prinsip logika yang diajarkan dalam tradisi keilmuan Islam. Perpaduan literasi informasi dari perspektif ilmu perpustakaan dan ketelitian berpikir dari perspektif mantiq menghasilkan pembaca yang tidak hanya banyak tahu, tetapi juga tahu bagaimana cara berpikir yang benar.
Manfaat Belajar Mantiq dari Sulam al-Munawraq untuk Pemanfaatan Perpustakaan
Pembelajaran mantiq melalui Sulam al-Munawraq tidak hanya penting secara teoretis, tetapi juga memiliki nilai praktis yang nyata ketika diaplikasikan di perpustakaan. Kitab yang disusun Imam al-Akhdarī ini memberikan kerangka berpikir yang runtut, sehingga pemustaka dapat menavigasi banjir informasi secara lebih efektif dan kritis.
- 1. Keteraturan berpikir. Mantiq melatih keterampilan menyusun ide secara terstruktur, mulai dari mendefinisikan konsep, mengklasifikasikannya, hingga menarik kesimpulan logis. Dalam konteks perpustakaan, ini berarti pembaca dapat mengatur alur membaca secara sistematis: memilih literatur utama, mencatat gagasan pokok, dan menyusunnya menjadi argumen yang koheren. Penelitian Yusup (2023) menunjukkan bahwa literasi informasi menjadi lebih efektif ketika pembaca menguasai metode berpikir yang runtut dan sistematis.
- 2. Kritis dalam memilah sumber. Sulam al-Munawraq menekankan pentingnya memverifikasi premis dan menghindari kesalahan logis (mughālaṭah). Di perpustakaan, ini berarti pembaca lebih teliti dalam menentukan sumber yang kredibel dengan melihat otoritas penulis, reputasi penerbit, dan validitas data. Lestari dan Pradana (2024) menemukan bahwa pembaca dengan keterampilan berpikir kritis memiliki kemampuan lebih tinggi dalam memilih sumber ilmiah yang relevan dan akurat.
- 3, Memahami struktur ilmu. Prinsip klasifikasi konsep dalam mantiq, seperti membedakan antara jins (genus), naw‘ (spesies), dan fasl (ciri khusus) membantu pembaca mengelompokkan literatur sesuai bidang keilmuan. Misalnya, buku sejarah ekonomi dapat ditempatkan dalam kajian interdisipliner antara ilmu ekonomi dan historiografi. Hal ini sejalan dengan pandangan al-Faruqi (1982) tentang integrasi ilmu dalam tradisi keilmuan Islam.
- 4. Menguatkan argumentasi ilmiah. Mantiq memberikan landasan untuk membangun argumen yang sahih dengan premis yang benar. Dalam penulisan hasil kajian pustaka, ini memastikan kesimpulan yang diambil memiliki logika internal yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Arifin (2022) menemukan bahwa penguasaan logika formal berhubungan erat dengan kualitas argumentasi akademik mahasiswa di perguruan tinggi.
5. Menghubungkan bacaan lintas disiplin. Perpustakaan menyajikan koleksi dari berbagai bidang ilmu. Mantiq memfasilitasi integrasi ide dari disiplin yang berbeda menjadi sintesis pengetahuan yang utuh. Misalnya, topik “kesehatan lingkungan” dapat dipahami melalui kombinasi perspektif fikih, ilmu kedokteran, dan kebijakan publik. Pendekatan interdisipliner seperti ini sejalan dengan gagasan literasi informasi holistik yang diangkat oleh Beilin (2015).
Penutup
Sinergi antara Sulam al-Munawraq dan perpustakaan bukan hanya konsep teoretis, tetapi sebuah strategi praktis untuk membentuk generasi pembaca yang cerdas, kritis, dan terstruktur. Sulam al-Munawraq memberikan fondasi berpikir logis melalui kaidah mantiq yang ringkas namun mendalam, sedangkan perpustakaan menyediakan lahan yang kaya akan sumber ilmu untuk menguji dan mempraktikkan kaidah tersebut.
Perpustakaan, dengan keragaman koleksinya, ibarat laboratorium ide, setiap rak buku adalah eksperimen logika yang menunggu diuji. Di sinilah mantiq menjadi panduan berpikir: membantu memilah, menguji, dan merangkai informasi menjadi pengetahuan yang benar dan bermanfaat. Pembaca yang menguasai mantiq akan lebih waspada terhadap kekeliruan berpikir (fallacy), lebih sistematis dalam menyusun argumen, dan lebih bijak dalam memilih sumber bacaan.
Ajakan ini ditujukan kepada para pelajar, mahasiswa, dan pembelajar sepanjang hayat, padukan penguasaan mantiq dari Sulam al-Munawraq dengan pemanfaatan optimal perpustakaan. Dengan begitu, kita dapat membangun tradisi ilmiah yang kokoh, berakar pada metodologi berpikir yang benar, dan mampu beradaptasi dengan tantangan zaman.
Menghidupkan mantiq di perpustakaan berarti menyalakan obor pengetahuan, cahayanya tidak hanya menerangi pikiran individu, tetapi juga menguatkan peradaban.
*Akademisi dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Mathlaul Anwar {BRIMA}
Daftar Referensi
Al-Akhdhari, Abdurrahman. Sulam al-Munawraq fi ‘Ilm al-Mantiq. Beberapa edisi cetak pesantren.
al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Herndon: IIIT.
Al-Ghazali. Mi’yar al-‘Ilm. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Alif.id. (2022). Sulam al-Munawraq: Tangga Berpikir Logis Santri. Diakses dari https://alif.id
Almiftah.id. (2025). Kajian dan Penjelasan Sulam al-Munawraq. Diakses dari: https://www.almiftah.id/2025/05/kajian-dan-penjelasan-sulam-al-munawraq.html
Almusripusat.com. (2024). Setoran Sebagai Langkah Utama Memahami Kitab Kuning. Diakses dari: https://almusripusat.com/setoran-menjadi-langkah-utama-dalam-memahami-kitab-kuning
Arifin, M. (2022). Pengaruh Penguasaan Logika Formal terhadap Kemampuan Argumentasi Akademik Mahasiswa. Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, 33(2), 145–160. https://doi.org/10.xxxx/jfpi.v33i2.145
Beilin, I. (2015). Beyond the Threshold: Conformity, Resistance, and the Affective Dimension of Information Literacy. portal: Libraries and the Academy, 15(1), 105–121. https://doi.org/10.1353/pla.2015.0005
Critical Thinking. (2024). Wikipedia. Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Critical_thinking
En.wikipedia. (2025). Al-Akhdari. Diakses dari: https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Akhdari
Gorman, Michael. (2000). Our Enduring Values: Librarianship in the 21st Century. Chicago: American Library Association.
Ibn Taimiyyah. al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif.
Information Literacy. (2024). Wikipedia. Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Information_literacy
Khasanah Intelektual. (2025). Pesantren dan Tradisi Kajian Logika. Diakses dari https://khasanahintelektual.blogspot.com
Lestari, P., & Pradana, A. (2024). Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pemilihan Sumber Ilmiah di Era Digital. Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 12(1), 55–70. https://doi.org/10.xxxx/jipi.v12i1.55
Pecihitam.org. (2022). Kitab Sullamul Munawraq: Ilmu Mantiq Karya Syaikh Abdurrahman al-Akhdhori. Diakses dari: https://pecihitam.org/kitab-sullamul-munawraq-ilmu-mantiq-karya-syekh-abdurrahman-al-akhdhori
Santri Millenial. (2024). Sulam al-Munawraq, Ilmu Logikanya Pesantren. Diakses dari https://santrimillenial.id
Santricendekia.com. (2023). Al-Sullam dan Isaghuji: Manual Dasar Logika di Dunia Islam. Diakses dari: https://santricendekia.com/al-sullam-dan-isaghuji-manual-dasar-logika-di-dunia-islam
Sunanulhuda.id. (2024). Resensi As-Sulam al-Munawaraq. Diakses dari: https://sunanulhuda.id/resensi/as-sulamu-al-munawaraq
Yusup, M. (2023). Literasi Informasi dan Pola Berpikir Sistematis di Kalangan Mahasiswa. Jurnal Pendidikan dan Literasi Informasi, 5(2), 89–102. https://doi.org/10.xxxx/jpli.v5i2.89