Belajar Membaca ke Singapura

Sumber Gambar :

Oleh: Mahbudin*

Di Singapura, perpustakaan adalah tempat istimewa. Perpustakaan menjadi tempat yang mendorong lahirnya inovasi dan kreativitas.

Mengapa Singapura selalu unggul dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains? Hasil tes PISA terbaru 2022 menempatkan Singapura sebagai negara peraih nilai tertinggi dari 81 negara yang ikut serta dalam ketiga bidang tersebut. Bahkan, Singapura mampu melampaui negara-negara maju Eropa seperti Estonia dan Finlandia yang selama ini dikenal memiliki sistem pendidikan terbaik.

PISA (Programme for International Student Assesment) adalah sebuah studi internasional yang diselenggarakan oleh Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun dalam bidang membaca, matematika, dan sains. PISA dilaksanakan setiap tiga tahun sekali dan diikuti oleh banyak negara di dunia untuk memberikan gambaran objektif tentang efektivitas sistem pendidikan masing-masing negara yang dapat dijadikan dasar untuk membuat kebijakan pendidikan yang lebih baik.

Tulisan ini secara khusus berupaya menggali berbagai faktor yang menjadikan Singapura unggul dalam bidang membaca. 

Bertemu Profesor dari Singapura.

Pada penghujung tahun lalu, penulis mendapat undangan sebagai salah satu pemateri dalam Extensive Reading Road Show yang diselenggarakan oleh Indonesia Extensive Reading Association (IERA). Acara ini berlangsung di Universitas Sanata Dharma dan Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Selain penulis, dua pemateri lainnya adalah Dr. Rob Waring dari Notre Dame Seishin University, Okayama, Jepang, dan Assoc. Prof. Loh Chin Ee dari Nanyang Technological University, Singapura.

Selama dua hari kegiatan, penulis banyak belajar dari kedua narasumber, terutama dari Prof. Loh. Kami berdiskusi panjang mengenai gerakan literasi di negara masing-masing. Penulis memang sudah berniat menggali lebih dalam praktik literasi di negara-negara yang konsisten menjadi top performer dalam tes PISA, dan Singapura adalah salah satunya.

Dengan izin Prof. Loh, penulis merekam percakapan kami untuk dokumentasi. Banyak data dan wawasan yang beliau sampaikan menjadi dasar tulisan ini.

Fakta Menarik Capaian Singapura dalam Hasil PISA

Singapura merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang berhasil menempatkan sistem pendidikannya di jajaran teratas dunia. Keunggulan ini dibuktikan melalui skor yang sangat tinggi dan konsisten sejak keikutsertaannya pertama kali tahun 2009. Dalam tiga siklus PISA terakhir: tahun 2015, 2018, dan 2022, Singapura selalu memesona.  

Skor siswa Singapura di bidang membaca, matematika, dan sains selalu masuk lima besar global, bahkan beberapa kali meraih peringkat pertama. Di PISA 2015, skor membaca Singapura mencapai 535 poin, jauh di atas rata-rata negara-negara maju (OECD) yang hanya 493. Keunggulan itu terus meningkat di tahun 2018 (549 poin) dan tetap tinggi di 2022 (543 poin), meski banyak negara lain mengalami penurunan karena pandemi Covid 19.

Perbedaan skor antara Singapura dan rata-rata OECD cukup mencolok—selisih hingga 67 poin di membaca dan lebih dari 100 poin di matematika. Negara-negara seperti Jepang, Korea, dan Estonia juga tampil baik, namun masih berada puluhan poin di bawah Singapura.

Data ini menunjukkan bahwa Singapura tidak hanya unggul sementara, tetapi konsisten mencetak prestasi dalam literasi dan pendidikan. Inilah alasan mengapa belajar dari sistem pendidikan Singapura menjadi penting—terutama jika kita ingin memperkuat budaya membaca sejak dini. Perhatikan tabel berikut untuk detail skor Singapura dalam tiga siklus terakhir hasil PISA:

Tahun

Peringkat

Negara

Nilai Rata-rata Siswa

Membaca

Matematika

Sains

2015

1

Singapore

535

564

556

2

Japan

516

532

538

3

Estonia

519

520

534

4

Chinese Taipei

497

542

532

5

Finland

526

511

531

 

Rata-rata OECD

493

490

493

 

 

 

 

 

 

2018

1

B-S-J-Z (China)

555

591

590

2

Singapore

549

569

551

3

Macao (China)

525

558

544

4

Hong Kong (China)

524

551

517

5

Chinese Taipei

503

531

516

 

Rata-rata OECD

487

489

489

 

 

 

 

 

 

2022

1

Singapore

543

575

561

2

Japan

516

536

547

3

Korea

515

527

528

4

Estonia

511

510

526

5

Switzerland

483

508

503

6

Rata-rata OECD

476

472

485

 

Di Balik Kesuksesan Singapura

Menurut Loh, keberhasilan sebuah negara dalam membangun budaya literasi sangat bergantung pada tiga unsur utama, yaitu perpustakaan, pemerintah, serta peran guru dan pustakawan. Ketiganya harus berjalan selaras dan saling menguatkan. “So actually these are the three important things that need to work together” (Loh, 2024). Di negara-negara dengan tingkat literasi tinggi seperti Singapura, kolaborasi antara ketiga elemen ini terbukti mampu menciptakan ekosistem literasi yang unggul.

Berinvestasi di Perpustakaan

Tiga indikator utama kemiskinan adalah kekurangan makanan, layanan kesehatan, dan akses terhadap buku bacaan. Ketiganya terbukti berdampak signifikan terhadap capaian belajar siswa (Berliner, 2009; Krashen, 1997).  Ketika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, kemampuan anak untuk berkonsenstrasi, memahami pelajaran, dan berkembang secara optimal ikut terhambat. Singapura sangat memahami hal ini, sehingga mereka berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan perpustakaan.

Di Singapura, perpustakaan adalah tempat istimewa. Perpustakaan bukan sekadar tempat meminjam buku, ia adalah teman sepanjang hayat. Dari langkah pertama seorang anak menjelajahi dunia lewat cerita-cerita di ruang baca, hingga masa lansia ketika para orang tua belajar menggunakan iPad dan media sosial, perpustakaan hadir sebagai ruang tumbuh yang menyambut semua kalangan. Ia menjadi bagian dari kehidupan, tempat kenangan ditanam dan dirawat. Gagasan inilah yang menjadi ruh dari visi Perpustakaan Nasional Singapura: menciptakan perpustakaan yang tumbuh bersama kehidupan, libraries for life.

Dulu, perpustakaan dikenal sebagai tempat sunyi yang menyimpan deretan buku—penjaga ilmu pengetahuan yang setia. Kini, peran itu telah berevolusi. Perpustakaan telah berkembang dari gerbang penjaga ilmu pengetahuan menjadi gerbang tempat penemuan dan pembelajaran. Menurut Elaine Ng, CEO Perpustakaan Nasional Singapura, perpustakaan tidak hanya menyediakan akses terhadap bahan-bahan pendukung literasi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendorong lahirnya inovasi dan kreativitas, terbuka dan dapat diakses secara gratis oleh semua kalangan.

Sejalan dengan pandangan Elaine Ng yang menegaskan bahwa perpustakaan harus menjadi ruang yang mendorong inovasi dan kreativitas, terbuka bagi semua kalangan dan, yang terpenting, dapat diakses secara gratis, Chin Ee juga menyoroti peran perpustakaan sebagai tempat belajar yang aman dan nyaman. Hal ini terutama penting bagi pelajar yang tidak memiliki fasilitas belajar memadai di rumah. “For students who don't come from well-resourced homes... the library is a nice place to study,” (Loh, 2024).

Di Singapura, perpustakaan tidak hanya berfungsi sebagai pusat pembelajaran yang efektif, tetapi juga menjadi destinasi rekreasi edukatif yang digemari oleh keluarga. Menurut Chin Ee, perpustakaan umum dirancang semaksimal mungkin dengan koleksi buku yang lengkap dan relevan untuk semua lapisan usia masyarakat. Selain itu, berbagai program menarik dan interaktif yang diselenggarakan secara rutin turut meningkatkan minat masyarakat untuk berkunjung ke perpustakaan. “Our public libraries are easily accessible and crowded with families on weekends” (Loh, 2024). Perpustakaan di Singapura dirancang agar mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Tak mengherankan jika setiap akhir pekan, perpustakaan selalu dipadati pengunjung, terutama keluarga yang menjadikannya sebagai destinasi edukatif sekaligus rekreatif.

Peran Strategis Pemerintah

Kalau diibaratkan senapan, pemerintah adalah penarik pelatuknya. Semua rencana dan program literasi bisa saja sudah disusun sebaik mungkin, namun tanpa aksi nyata dari pemerintah, terutama dalam bentuk dukungan anggaran dan kebijakan yang mendukung, semua itu tak akan berjalan optimal. Pemerintah punya peran penting untuk memastikan gerakan literasi benar-benar “meletus” dan berdampak luas di tengah masyarakat.

Namun, komitmen pemerintah terhadap pendanaan program literasi sangat bergantung pada bukti empiris dan hasil yang terukur. Oleh karena itu, pustakawan, pendidik, dan pegiat literasi memiliki peran strategis dalam menunjukkan efektivitas intervensi literasi melalui data, praktik terbaik, serta dampak jangka panjang terhadap masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Chin Ee, “If you are doing the right thing at the right time, and they can see the value, then maybe they will invest the money.” (Loh, 2024).

Pernyataan ini menegaskan bahwa dukungan kebijakan dan investasi dari negara sangat mungkin terwujud apabila pelaku literasi mampu memperlihatkan nilai dan relevansi program yang dijalankan, terutama dalam kaitannya dengan pembangunan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh.

Di Singapura, dukungan pemerintah terhadap budaya membaca tak hanya tecermin dari alokasi anggaran yang memadai untuk perpustakaan, tetapi juga dari berbagai program literasi yang menyasar seluruh lapisan masyarakat. Dua di antaranya adalah READ! Singapore, dan kidsREAD.

READ! Singapore adalah kampanye literasi tahunan yang diinisiasi oleh Perpustakaan Nasional Singapura sejak 20 tahun yang lalu, tepatnya tahun 2005 untuk menumbuhkan budaya membaca bersama di masyarakat melalui diskusi buku, pertunjukan seni, hingga sesi membaca maraton.

Diluncurkan pada tahun 2004, kidsREAD adalah program membaca nasional yang ditujukan bagi anak-anak usia 4 hingga 8 tahun dari keluarga berpenghasilan rendah, dengan tujuan menumbuhkan minat baca dan kebiasaan membaca sejak dini.

Public, Private, and People (3P) Partnerships

Kemitraan 3P (Public, Private, and People) menjadi fondasi utama dalam keberhasilan program literasi di Singapura. Pemerintah tidak berjalan sendiri, melainkan secara aktif menggandeng sektor swasta dan komunitas masyarakat untuk bersama-sama menggerakkan budaya membaca. Kolaborasi ini terlihat dalam berbagai inisiatif, seperti penyediaan dana oleh sponsor via CSR, kontribusi keahlian dari para profesional, dan peran relawan sebagai ujung tombak kegiatan di lapangan. Pendekatan kolaboratif ini menciptakan rasa kepemilikan bersama terhadap program literasi, sekaligus memperkuat keterlibatan sosial lintas sektor dalam mendukung perubahan nyata di masyarakat.

Kehadiran negara dalam penguatan literasi di Singapura terlihat nyata melalui berbagai program konkret dan terstruktur. Melalui kolaborasi erat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, tidak hanya mencerminkan komitmen serius pemerintah dalam membangun budaya baca, tetapi juga memastikan bahwa literasi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warganya, sejak usia dini hingga dewasa, dari ruang kelas hingga ruang komunitas.

Pustakawan sebagai Agen Transformasi Pendidikan

Jika diibaratkan tubuh, maka perpustakaan adalah jasad dan pustakawan adalah ruhnya. Pustakawanlah yang menghidupkan ruang perpustakaan, memastikan ia menjadi tempat belajar yang inklusif, terbuka, dan menyenangkan bagi semua kalangan—tanpa memandang usia, latar belakang, maupun kemampuan. Lebih dari sekadar penjaga buku, pustakawan adalah pendidik, konsultan, sekaligus sahabat yang mendampingi pengunjung dalam menjelajah ilmu dan meraih impian. Dalam semangat yang sama, penulis Neil Gaiman menyebut, “I see libraries and librarians as frontline soldiers in the war against illiteracy and the lack of imagination.”

Pustakawan di Era Artificial Intelligence (AI)

Di tengah hiruk-pikuk penggunaan kecerdasan buatan (AI), ledakan informasi di media sosial, dan automasi yang masif, kebutuhan masyarakat akan informasi yang valid dan bermakna justru semakin mendesak. Dalam lanskap baru ini, medan perjuangan pustakawan sebagai penjaga kebenaran informasi dan pengetahuan terbuka semakin luas. Peran mereka tidak lagi sekadar mengelola koleksi buku, tetapi menjadi navigator utama dalam membantu masyarakat memilah informasi yang kredibel. Di era banjir data, pustakawan hadir sebagai penuntun menuju literasi yang cerdas dan bertanggung jawab.

Prof. Loh Chin Ee dan Lee Chei Sian dalam artikel “In Singapore, Librarians Have New Jobs in an Age of AI,” menyatakan bahwa pustakawan justru tampil sebagai pemandu utama dalam membantu masyarakat menghadapi banjir informasi digital. Mereka mengajarkan bagaimana cara memilah informasi yang benar, menilai konten yang dihasilkan oleh AI seperti ChatGPT atau Perplexity.AI, dan menggunakan teknologi dengan bijak. Tak hanya itu, mereka juga melatih pengguna untuk mencari data, menelusuri database, dan melakukan riset secara mandiri. Di tengah derasnya arus informasi, pustakawan hadir sebagai penunjuk arah yang siap membantu siapa pun agar tak tersesat di dunia digital yang luas dan kompleks.

Peran pustakawan semakin krusial dan tak tergantikan di tengah era digital dan pesatnya perkembangan teknologi. Singapura memahami hal ini dengan sangat baik. Jauh sebelum hiruk-pikuk kecerdasan buatan mencuat, negeri ini sudah menyiapkan sumber daya manusia yang andal untuk mengisi peran strategis pustakawan sebagai pemandu informasi, fasilitator pembelajaran, dan penggerak literasi masyarakat. Seperti yang ditegaskan oleh Loh Chin Ee dan Lee Chei Sian, “As Singapore seeks for its citizens to be future-ready, let’s not forget the essential role of the librarian in preparing our students, workers and citizens.” (Loh & Chei, 2023).

Untuk Indonesia tercinta, mari terus menyalakan semangat belajar dan membangun budaya literasi secara konsisten. Perpustakaan kita perkuat, kita sebar merata hingga pelosok negeri. Peran pemerintah kita dorong agar lebih strategis dalam mendukung gerakan literasi. Jumlah pustakawan kita tambah, kualitasnya kita tingkatkan. Dengan kerja bersama dan semangat kolaborasi, kelak skor PISA Indonesia akan menembus lima besar dunia, menjadi penanda nyata bahwa pendidikan kita semakin maju dan setara. Semoga.

*Kepala Perpustakaan MTsN 1 Pandeglang


Share this Post