ChatGPT untuk Memantik Literasi
Sumber Gambar :ChatGPT
untuk Memantik Literasi
Oleh:
Engkos Kosasih*
The
true sign of intelligence is not knowledge but imagination. (Albert Einstein)
Saat ini kecerdasan artifisial sedang naik daun. Berbagai isu dan
perkembangan tentangnya sering dibahas karena kini dan di masa depan
program-program berbasis kecerdasan artifisial semakin tren. Kecerdasan
artifisial sendiri adalah kecerdasan yang
ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah atau bisa
disebut juga intelegensi
artifisial (bahasa Inggris: artificial intelligence) atau hanya
disingkat AI (Wikipedia.id).
AI semakin menjadi pembicaraan publik ketika OpenAI meluncurkan ChatGPT,
tools chatbot berbasis kecerdasan artifisial. ChatGPT termasuk jenis sistem kecerdasan buatan (AI) generatif. Tipe
AI generatif mampu menghasilkan teks, gambar, atau media lain sebagai respons
terhadap perintah. Model AI generatif
mempelajari pola dan struktur data pelatihan masukannya, lalu menghasilkan data
baru yang memiliki karakteristik serupa.
Mengutip dari katadata.co.id, ChatGPT memiliki 100 juta pengguna dalam
dua bulan sejak diluncurkan Desember 2022. Sebagai perbandingan, TikTok
membutuhkan sekitar sembilan bulan, dan Instagram membutuhkan waktu dua tahun
untuk mencapai jumlah pengguna sebanyak itu. Disebutkan pula bahwa ada sekitar
590 juta kunjungan ke ChatGPT selama Januari 2023.
ChatGPT menarik pengguna karena menghadirkan pengalaman baru dengan keluwesannya
berinteraksi: menjawab pertanyaan atau melayani perintah berbasis teks. ChatGPT
menjawab pertanyaan sesuai konteksnya. ChatGPT juga dapat menjalankan perintah
yang jelas. Interaktivitasnya dengan pengguna karena ChatGPT tidak sekadar
memberikan respons robotik. Sekarang ChatGPT juga mengenali wilayah-wilayah
sensitif seperti pertanyaan etis atau bersifat religi sehingga jawaban yang ia
berikan masuk akal dan normatif.
Beberapa laporan yang terunggah di media menyebut bahwa ChatGPT banyak di
ujicoba untuk menjawab pertanyaan pada berbagai bidang. Contoh misalnya pada
bidang kedokteran ChatGPT ternyata dapat melewati pertanyaan ujian lisensi
medis Amerika Serikat. Seorang dokter pun mengujinya dengan
pertanyaan-pertanyaan untuk gejala-gejala tertentu pasien. Hasilnya lumayan
akurat, walaupun dokter tersebut skeptis untuk saat ini ChatGPT belumlah dapat
diandalkan sebagai dokter virtual (theconversation.com)
Pada bidang sains, studi Cascella dkk. seperti dikutip Santosa dan
Suherman (2023) menyimpulkan bahwa ChatGPT
berpotensi mengubah metode pelaksanaan penelitian dengan mempercepat proses
pemahaman ilmiah. ChatGPT dapat membantu peneliti dalam banyak hal, antara
lain: studi pustaka, menemukan ide baru, mengolah data yang rumit, dan
mengekstrak informasi bermanfaat dari laporan medis yang jumlahnya sangat
banyak. ChatGPT juga dapat menjembatani diseminasi hasil penelitian ke dalam
bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat umum.
Bidang bisnis juga tidak ketinggalan memanfaatkan ChatGPT. Pelaku bisnis
dapat memanfaatkannya untuk kegiatan riset awal pasar, pembuatan konten
pemasaran, atau chatbot untuk
menjawab pertanyaan dan keluhan pelanggan. Oleh kemampuannya dalam berkembang,
ia juga dapat dimanfaatkan untuk analisis data pelanggan, memprediksi perilaku
dan preferensi pelanggan di masa depan (daya.id).
Kembali pada fokus tulisan ini. Bagaimanakah kita dapat memanfaatkan
ChatGPT untuk literasi? Apakah ChatGPT bermanfaat pada peningkatan literasi?
Apakah ChatGPT malah “membunuh” literasi itu sendiri karena orang semakin
dimudahkan dalam kegiatan-kegiatan berliterasi?
Karena banyak kritik dan kekhwatiran dengan adanya aplikasi seperti ini,
mengingat di Indonesia sebelum ini saja praktik illegal seperti plagiariasme
cukup mengkhawatirkan. Dunia akademis pun harus bersiap menyambut tantangan era
ChatGPT ini. Bukan tidak mungkin tugas-tugas akademis semacam pembuatan makalah
atau paper kini dikerjakan dalam sekejap saja. Bagi yang kalangan yang kritis,
kekhawatiran tersebut masuk akal.
Penulis sendiri sedikit penasaran bagaimanakah jawaban ChatGPT terhadap
pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Maka sedikit percobaan penulis mencoba
mencari jawaban ChatGPT atas pertanyaan ini: apakah aplikasi kecerdasan
artifisial seperti chatGPT dapat meningkatkan literasi?
Jawaban yang diberikan ChatGPT ternyata lumayan optimistis. ChatGPT
memberikan jawaban bahwa aplikasi kecerdasan buatan seperti ChatGPT dapat
meningkatkan literasi dalam beberapa cara.
Beberapa cara yang ia maksudkan, di mana aplikasi kecerdasan buatan dapat
memberikan kontribusi positif terhadap literasi, diantaranya:
Pertama, akses ke informasi: Aplikasi kecerdasan buatan seperti
ChatGPT dapat memberikan akses yang mudah dan cepat ke informasi. Pengguna
dapat mengajukan pertanyaan dan menerima jawaban yang terkait dengan topik
tertentu. Ini membantu pengguna untuk memperoleh pengetahuan baru dan
mengembangkan pemahaman tentang berbagai topik.
Kedua, pembelajaran interaktif: ChatGPT dapat digunakan sebagai alat untuk
pembelajaran interaktif. Pengguna dapat berdiskusi dengan model AI, mengajukan
pertanyaan, dan menerima penjelasan yang mendalam tentang topik tertentu. Hal
ini dapat membantu dalam memperdalam pemahaman pengguna tentang subjek yang
rumit atau teknis.
Ketiga, koreksi tata bahasa: Aplikasi kecerdasan buatan juga dapat membantu
meningkatkan literasi dalam hal tata bahasa dan penulisan. ChatGPT dapat
memberikan umpan balik tentang kesalahan tata bahasa atau memberikan saran
perbaikan untuk membantu pengguna meningkatkan kemampuan menulis mereka.
Kempat, pelatihan keterampilan membaca dan menulis: Melalui interaksi dengan ChatGPT,
pengguna dapat melatih keterampilan membaca dan menulis mereka. Mereka dapat
mengajukan pertanyaan, membaca jawaban yang diberikan oleh model AI, dan
berlatih merumuskan pertanyaan dengan jelas. Ini dapat membantu dalam
pengembangan keterampilan komunikasi tertulis, dan
Kelima, meningkatkan minat membaca: Aplikasi kecerdasan buatan dapat
memberikan rekomendasi bacaan berdasarkan minat dan preferensi pengguna. Dengan
menawarkan saran bacaan yang relevan, aplikasi dapat membantu meningkatkan
minat pengguna dalam membaca dan mendorong mereka untuk menjelajahi topik-topik
baru.
ChatGPT menutup jawaban pertanyaan tersebut dengan paragraf penutup
sebagai berikut: Meskipun aplikasi kecerdasan buatan seperti ChatGPT dapat
memberikan manfaat dalam meningkatkan literasi, penting juga untuk diingat
bahwa interaksi manusia yang langsung dan pembelajaran melalui pengalaman nyata
juga tetap penting dalam pengembangan literasi yang holistik.
Menurut saya ini jawaban yang cukup “jujur” dari ChatGPT. Sebagai alat
ChatGPT tetaplah alat (tools).
Manusialah yang bertanggungjawab dalam penggunaannya. Misalnya saya termasuk
yang memandang kehadiran ChatGPT buat literasi dapat bermanfaat secara positif
jika digunakan dengan tepat.
Kritik dan resistensi terhadap ChatGPT sendiri misalnya karena kekhawatiran
terhadap plagiarisme yang tadi disebut sebenarnya karena pada dasarnya kita
sendirilah yang sudah parah tingkat plagiasinya. Dan melihat kasus-kasus yang
muncul terkait tindakan plagiarisme kekhawatiran itu pun sangat wajar. ChatGPT
bisa dipakai dalam tindakan-tindakan kurang etis.
Berarti masalahnya bukan di aplikasi kecerdasan artifisial generatif
semacam ChatGPT. Untuk menghindari plagiarisme misalnya kita harus menguatkan
ekosistem literasi ataupun akademik yang memang ketat terhadap
tindakan-tindakan yang melanggar etis tersebut. Menurut saya yang jauh lebih
penting adalah bagaimana memanfaatkan kehadiran aplikasi seperti ChatGPT untuk
semakin memudahkan kita dalam kegiatan berliterasi.
Maka buat sebagian kalangan, kekhawatiran terhadap kemunculan ChatGPT sekarang
seperti dahulu orang mengkhawatirkan kehadiran kalkulator. Kalkulator dianggap
dapat menghambat perkembangan berfikir numerik karena membuat anak malas
berhitung manual atau “ngotret”. Namun ternyata itu tidak terbukti demikian.
Dengan tetap mengajarkan anak sejak dini berhitung manual, kalkulator “hanyalah”
alat bantu tambahan.
Artinya secara teknis ChatGPT tetap bisa menjadi “teman” untuk
memberikan saran-saran praktis dalam kegiatan berliterasi. Saya sendiri
terkadang iseng-iseng mengajukan pertanyaan-pertanyaan misalnya terkait dengan
buku yang saya baca. Dengan respon yang diberikan oleh ChatGPT setidaknya akan
menguji kembali memori tentang buku yang dibaca tersebut. Dari respon tersebut
juga kita menguji juga kemampuan ChatGPT karena ChatGPT bukan tanpa kekurangan
sama sekali.
Kekurangan utama ChatGPT seperti diakui olehnya sendiri adalah
pembatasan rentang data termutakhir yang disediakan untuknya. Saat ini batas
terakhir ia hanya bisa “belajar” dari data yang tersedia sampai September 2021.
Artinya ada kemungkinan bias fakta dan data pada jawaban yang dihasilkannya.
ChatGPT juga cenderung menghasilkan jawaban yang terlalu meyakinkan. Ini dapat menyesatkan
jika tanpa verifikasi dan penelitian lebih lanjut. Artinya ketika kita memakai
ChatGPT untuk berdiskusi atau mencari argumen terkait topik tertentu daya
kritis dan konfirmasi data tetap mutlak diperlukan.
Adapun dalam kaitan tulis-menulis baik fiksi dan non-fiksi menurut saya
ChatGPT bisa menjadi pemantik yang baik. Seperti ketika saya menulis artikel
ini. Namun demikian tulisan tidak bisa mengandalkan sepenuhnya ChatGPT. Penulis
tetap harus memastikan keakuratan data dan faktanya. Apalagi pada jenis tulisan
nonfiksi yang mengandalkan imajinasi.
Beberapa penulis melaporkan hasil percobaannya menggunakan tools ChatGPT. Disebutkan bahwa ChatGPT
dapat membantu kerja-kerja kreatif kepenulisan meski belum sempurna. Misalnya penulis
Dadang Ari Murtono, seperti yang dikutip Majalah Tempo, mencoba membuat novel proyek
kolaborasi menggunakan tools
kecerdasan buatan semacam ChatGPT. Ia menyebut respon ChatGPT ihwal penokohan
bisa menyesuaian dengan apa yang disiapkan sejak awal. Tetapi alur penceritaan
yang ditawarkan cenderung mudah ditebak.
Sedangkan Akbar Rafsanjani, seorang penulis skenario film menggunakan
ChatGPT untuk mempersingkat proses pembuatan sinopsis film. Akbar meminta
ChatGPT membuat cerita tentang pernikahan dini pasangan suami-istri yang
melahirkan anak kontet. ChatGPT menawarkan naskah sinopsis yang mendekati
keinginannya. Akbar pun mengubahnya agar alur ceritanya menjadi lebih menarik.
Tetapi hasil percobaan saya sendiri ketika mencoba memantik ChatGPT
untuk membuat sebuah puisi, hasilnya masih jauh dari apa yang saya harapkan
dari sebuah puisi yang indah. Namun demikian ia mampu menangkap maksud tema
puisi yang saya harapkan. Puisinya masih kaku dengan jumlah larik menyerupai
baris-baris pantun, empat larik tiap baitnya. Ketika saya meminta ChatGPT
mengubah sudut pandang penulisnya, ia melakukannya dengan baik. Tetapi ketika
saya meminta agar ChatGPT membuat puisi yang lebih bebas ia tak beranjak dari
puisinya yang kaku.
Percobaan-percobaan untuk menghasilkan karya kreatif yang berkaitan
dengan literasi menggunakan ChatGPT tentu saja dengan semangat mempertinggi
produktivitas bukan sekadar untuk jalan pintas. ChatGPT jika diletakkan dalam posisinya
yang tepat sebagai alat bantu akan meningkatkan geliat aktivitas literasi alih-alih
mematikan kreativitas. ChatGPT hanyalah pemantik karena pada manusialah
sesungguhnya kemampuan berimajinasi.
Ini seperti diakui sendiri oleh ChatGPT, bahwa pada akhirnya interaksi
manusia yang langsung dan pembelajaran melalui pengalaman nyata juga tetap
penting dalam pengembangan literasi yang holistik
*Guru
di SMK Negeri 11 Pandeglang