Filsafat Ilmu Ibn Khaldun dan Relevansinya terhadap Literasi Sosial Umat Islam

Sumber Gambar :

Aceng Murtado*

Pendahuluan

Literasi merupakan fondasi utama bagi tumbuhnya peradaban yang berkelanjutan. Dalam sejarah Islam, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah iqra’ (bacalah), yang menandai pentingnya membaca sebagai pintu utama menuju pengetahuan. Peradaban Islam klasik dikenal sebagai salah satu yang paling literat dalam sejarah, tercermin dari kegiatan penerjemahan, penyalinan manuskrip, pendirian perpustakaan, dan berkembangnya madrasah sebagai institusi ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa membaca, menulis, dan memahami ilmu adalah unsur integral dalam pembentukan masyarakat Muslim yang maju (Nasr, 2006).

Namun, umat Islam kini menghadapi tantangan serius dalam budaya literasi. Data UNESCO dan survei nasional menunjukkan rendahnya minat baca di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia. Hal ini berdampak pada rendahnya kualitas akademik, pemahaman agama yang sempit, dan minimnya partisipasi kritis dalam kehidupan sosial. Lemahnya literasi sosial membuat umat rentan terhadap disinformasi, ekstremisme ideologis, dan stagnasi intelektual (Effendy, 2008; UNESCO, 2022).

Dalam situasi ini, pemikiran tokoh Muslim klasik seperti Ibn Khaldun (1332–1406 M) menjadi relevan untuk dikaji kembali. Dalam al-Muqaddimah, ia tidak hanya tampil sebagai sejarawan dan perintis sosiologi, tetapi juga sebagai pemikir epistemologi Islam. Ia menekankan keterkaitan antara ilmu, masyarakat, pendidikan, dan peradaban. Bagi Ibn Khaldun, ilmu bukan sekadar informasi, tetapi sarana memahami realitas sosial dan mendorong dinamika peradaban (Rosenthal, 1967; Hasyim, 2019)

Konsep Filsafat Ilmu dalam Pemikiran Ibn Khaldun

Ibn Khaldun merupakan salah satu tokoh paling penting dalam sejarah intelektual Islam. Lahir di Tunis pada tahun 1332 M (732 H), ia tumbuh dalam lingkungan keluarga terpelajar yang memiliki tradisi ilmiah yang kuat. Perjalanan hidupnya membentang luas dari dunia akademik hingga politik dan diplomasi. Karya monumentalnya, al-Muqaddimah, ditulis pada masa pensiunnya dari dunia politik, dan telah menjadikannya sebagai pelopor dalam bidang sosiologi, historiografi, dan filsafat sejarah. Tidak hanya itu, Ibn Khaldun juga dipandang sebagai tokoh yang memberikan sumbangan besar dalam membentuk kerangka epistemologis dalam peradaban Islam.

Dalam al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menunjukkan kedalaman pandangan filsafat ilmunya. Ia tidak hanya membahas ilmu sebagai kumpulan teori dan data, tetapi sebagai kekuatan sosial dan kultural yang membentuk dinamika kehidupan manusia. Ilmu diposisikan sebagai medium utama yang menjembatani manusia dengan realitas, baik realitas empiris maupun spiritual. Dalam konteks ini, Ibn Khaldun tidak hanya berbicara tentang pentingnya ilmu, tetapi juga menyusun kerangka filosofis dan metodologis tentang bagaimana ilmu seharusnya dipahami, dipelajari, dan dikembangkan.

Ilmu sebagai Instrumen Pemahaman Sosial dan Sejarah

Ibn Khaldun memandang ilmu (al-‘ilm) sebagai perangkat penting dalam memahami realitas sosial dan sejarah. Ia menolak pandangan sejarah sebagai sekadar kronologi peristiwa dan tokoh. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya melihat sejarah sebagai proses sosial yang memiliki hukum-hukum tertentu (sunan al-tarikh). Baginya, sejarah bukanlah cerita, tetapi analisis sebab-akibat yang harus dikaji secara rasional dan objektif.

Konsepsi ini menjadikan ilmu sebagai alat transformasi sosial. Dengan ilmu, masyarakat mampu menafsirkan dinamika kebangkitan dan kejatuhan peradaban. Dalam konteks inilah Ibn Khaldun menjadi pionir pemikiran sosial Muslim yang memahami ilmu bukan sekadar sebagai kontemplasi teoritis, melainkan sebagai sarana kritis untuk memetakan realitas manusia dalam lingkup sejarah, budaya, dan politik (Rosenthal, 1967; Alatas, 2006).

Klasifikasi Ilmu: Naqliyah dan Aqliyah

Lebih jauh, Ibn Khaldun mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua kategori besar, yaitu ilmu naqliyah dan aqliyah. Ilmu naqliyah adalah ilmu yang bersumber dari wahyu dan otoritas agama, seperti ilmu tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, dan ilmu kalam. Ilmu ini sangat penting karena membentuk fondasi spiritual dan moral bagi umat Islam. Namun Ibn Khaldun juga memberi perhatian besar terhadap ilmu aqliyah, yaitu ilmu yang dikembangkan melalui daya pikir manusia seperti filsafat, logika, matematika, ilmu alam, dan kedokteran.

Berbeda dengan sebagian ulama pada zamannya yang bersikap curiga terhadap ilmu rasional, Ibn Khaldun menekankan bahwa kedua jenis ilmu tersebut harus berjalan beriringan. Keduanya berperan dalam membangun peradaban yang utuh dan seimbang. Ilmu naqliyah memberikan panduan moral dan nilai, sementara ilmu aqliyah memberikan kemampuan praktis dan rasional untuk mengelola kehidupan. Dalam pandangan ini, Ibn Khaldun sangat visioner karena sudah sejak abad ke-14 menyuarakan perlunya integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan rasional, suatu pendekatan yang kini menjadi agenda utama dalam studi-studi Islam interdisipliner (Al-Attas, 1984; Hasyim, 2019).

Relasi Ilmu dan Peradaban (Hadharah)

Salah satu gagasan kunci dalam filsafat ilmu Ibn Khaldun adalah bahwa ilmu pengetahuan memiliki hubungan yang erat dan saling mempengaruhi dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu masyarakat. Menurutnya, peradaban (hadharah) yang berkembang dengan baik akan selalu ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tingginya apresiasi terhadap literasi. Sebaliknya, peradaban yang runtuh biasanya ditandai oleh kemerosotan keilmuan dan hilangnya semangat untuk belajar dan menulis.

Dalam pengamatannya terhadap berbagai kerajaan Islam, Ibn Khaldun mencatat bahwa pusat-pusat ilmu seperti Baghdad, Kairo, dan Andalusia pernah menjadi mercusuar dunia karena tingginya aktivitas intelektual di dalamnya. Ketika dukungan terhadap ilmu merosot, baik karena kekacauan politik, kemerosotan ekonomi, atau korupsi moral, maka peradaban pun mulai melemah dan akhirnya runtuh. Oleh sebab itu, ilmu bukan hanya cermin dari kejayaan, tetapi juga menjadi syarat mutlak bagi keberlangsungan suatu masyarakat (Bagley, 1964).

Etika Ilmu dan Tradisi Keilmuan

Tak kalah penting, Ibn Khaldun juga membangun konsep etika ilmu yang sangat relevan dengan gerakan literasi kontemporer. Ia menekankan bahwa ilmu harus dipelajari dengan adab dan keikhlasan. Seorang penuntut ilmu harus menghormati guru, mengikuti silsilah keilmuan (sanad), dan menjaga integritas dalam proses pencarian ilmu. Belajar tidak boleh semata-mata untuk memperoleh kekuasaan, jabatan, atau kemegahan duniawi. Ilmu harus dikejar untuk membangun pemahaman dan memperbaiki keadaan masyarakat.

Lebih lanjut, Ibn Khaldun juga menekankan pentingnya habitual learning dan pengulangan (mudarasah) dalam proses pendidikan. Ia mengkritik sistem pendidikan yang hanya mengejar hafalan tanpa pemahaman. Menurutnya, ilmu hanya akan bermanfaat jika dipelajari secara mendalam, sistematis, dan aplikatif. Ia bahkan memperingatkan bahaya dari penyalahgunaan ilmu oleh orang yang belum matang secara intelektual dan moral, karena dapat merusak masyarakat (Ibn Khaldun, 2002).

Pengertian Literasi Sosial

            Literasi sosial merupakan suatu bentuk kecakapan yang melampaui sekadar kemampuan membaca dan menulis dalam pengertian teknis. Literasi sosial mencakup keterampilan individu dalam memahami, menafsirkan, serta menanggapi berbagai informasi dan simbol yang muncul dalam lingkungan sosial dan budaya. Dalam literasi sosial, kemampuan membaca tidak hanya diarahkan pada teks, tetapi juga pada konteks, yakni bagaimana seseorang bisa membaca realitas sosial, memahami nilai-nilai dalam masyarakat, menangkap dinamika antar kelompok, dan merespons persoalan sosial secara reflektif dan etis.

Dengan kata lain, literasi sosial menuntut kecakapan dalam menggunakan informasi sebagai alat untuk membentuk sikap sosial yang konstruktif dan solutif. Menurut Freire (1970), pendidikan literatif yang bermakna adalah pendidikan yang membuat manusia mampu membaca dunia (reading the word and the world), bukan hanya huruf demi huruf. Dalam konteks modern, literasi sosial menjadi semakin penting karena arus informasi yang cepat dan kompleks seringkali menuntut pemahaman kritis agar masyarakat tidak terjebak dalam disinformasi, intoleransi, atau sikap pasif terhadap ketidakadilan sosial.

Literasi Sosial dalam Perspektif Islam

Konsep literasi dalam Islam berakar kuat dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yakni QS. Al-‘Alaq: 1–5:  "Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq..."  "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan..."

Ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca secara literal, melainkan juga seruan transformatif untuk memahami alam, sejarah, dan kehidupan dengan kesadaran spiritual. Membaca dalam Islam bukan hanya aktivitas intelektual, tetapi juga ibadah, karena dilakukan dalam rangka mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Maka, literasi dalam Islam memiliki dimensi ganda, epistemologis dan teologis.

Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, aktivitas membaca, menulis, dan mengajar merupakan bagian integral dari etos peradaban. Para ulama seperti al-Ghazali, Ibn Taimiyah, hingga Ibn Khaldun menganggap ilmu sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan spiritual. Membaca bukan hanya demi diri sendiri, tetapi juga demi kemaslahatan umat. Oleh sebab itu, literasi sosial dalam Islam adalah kemampuan umat untuk memahami ajaran Islam secara kontekstual, menjawab tantangan zaman, dan mendorong terwujudnya masyarakat yang adil, berpengetahuan, dan berakhlak.

Literasi sosial juga tampak dalam ajaran amar ma’ruf nahi munkar, yang menuntut umat Islam untuk peka terhadap fenomena sosial dan aktif dalam mengarahkan masyarakat menuju kebaikan. Hal ini tentu hanya bisa dilakukan apabila umat memiliki kemampuan membaca dan menganalisis persoalan sosial dengan baik. Dalam konteks ini, membaca menjadi aktivitas sosial, bukan sekadar personal.

Keterkaitan antara Literasi Sosial dan Pembangunan Peradaban Umat

Dalam sejarah Islam, peradaban berkembang ketika budaya baca dan tradisi literasi mendapatkan tempat terhormat dalam masyarakat. Masa keemasan Islam (abad ke-8 hingga 13 M) ditandai dengan munculnya pusat-pusat ilmu seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad, perpustakaan Cordoba di Andalusia, dan lembaga-lembaga pendidikan di Kairo dan Damaskus. Semua itu tumbuh karena adanya kesadaran kolektif tentang pentingnya membaca, menulis, mendiskusikan, dan menyebarkan ilmu pengetahuan.

Pemikiran Ibn Khaldun sangat relevan dalam menggambarkan relasi ini. Menurutnya, ilmu dan peradaban adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Tanpa budaya ilmu, masyarakat akan kembali pada kondisi badawah (primitif) dan kehilangan struktur sosial yang kompleks dan beradab. Sebaliknya, literasi sosial yang tinggi memungkinkan masyarakat membentuk institusi, mengelola sumber daya, dan menata kehidupan secara teratur dan berkeadilan (Ibn Khaldun, 2002).

Dalam masyarakat kontemporer, tantangan bagi umat Islam bukan lagi sekadar buta huruf secara teknis, melainkan buta huruf secara sosial—yakni ketidakmampuan membaca realitas dengan benar. Rendahnya minat baca, dominasi budaya instan, serta persebaran hoaks dan narasi kebencian menjadi gejala yang menunjukkan lemahnya literasi sosial. Maka, untuk membangun kembali kekuatan peradaban Islam, perlu dilakukan revitalisasi literasi sosial yang berbasis pada nilai-nilai keislaman dan pandangan filosofis yang mendalam seperti yang ditawarkan oleh Ibn Khaldun.

Literasi sosial, jika diletakkan dalam kerangka ini, bukan hanya wacana pendidikan, tetapi strategi peradaban. Ia membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga sadar secara sosial dan bertanggung jawab secara moral. Inilah makna literasi dalam Islam yang tidak berhenti pada “iqra’” tetapi berlanjut hingga “wa rabbukal akram” bahwa membaca dilakukan dalam bimbingan nilai dan ketuhanan.

Relevansi Gagasan Ibn Khaldun Terhadap Literasi Sosial Umat Islam

Pemikiran Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah menunjukkan bahwa ilmu bukan hanya sarana individual untuk mencapai pengetahuan, tetapi juga alat untuk memahami dan menata kehidupan sosial. Ia menegaskan bahwa ilmu harus memiliki kegunaan sosial—yakni dapat menjelaskan dinamika kehidupan masyarakat, menjawab tantangan zaman, dan menjadi panduan bagi pengelolaan peradaban.

Dalam pandangan Ibn Khaldun, ilmu pengetahuan memiliki dimensi historis dan sosiologis. Ia memandang sejarah bukan sekadar kumpulan data masa lalu, tetapi sebagai proses yang dapat dianalisis secara ilmiah. Dengan metode kritis dan analisis sebab-akibat, ia menunjukkan bahwa kebangkitan dan kejatuhan suatu masyarakat atau peradaban memiliki hukum-hukum yang bisa dipahami dan diprediksi. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan (terutama ilmu sosial) menjadi penting sebagai instrumen untuk membaca realitas historis dan sosial. Literasi yang dimaksud bukan hanya dalam bentuk membaca teks, tetapi membaca perubahan zaman dan gejala sosial.

Literasi sebagai Alat Memahami Dinamika Sosial, Asabiyyah dan Peradaban

Salah satu konsep kunci Ibn Khaldun adalah ‘asabiyyah—solidaritas sosial yang menjadi fondasi awal bagi munculnya peradaban. Menurut Ibn Khaldun, masyarakat yang memiliki ‘asabiyyah kuat biasanya akan membentuk kekuatan politik dan peradaban yang besar. Namun ketika semangat solidaritas melemah akibat kemewahan, kezaliman, atau kehilangan etos keilmuan, maka peradaban itu akan mulai melemah dan akhirnya runtuh.

Dalam kerangka ini, literasi sosial menjadi kunci dalam menjaga ‘asabiyyah dan keberlangsungan peradaban. Masyarakat yang literat adalah masyarakat yang sadar terhadap kondisi sosialnya, memiliki kemampuan berpikir kritis, dan mampu menanggapi perubahan zaman dengan bijak. Literasi sosial memungkinkan masyarakat untuk tidak hanya hidup dalam alur sejarah, tetapi juga mengambil peran aktif dalam membentuk arah sejarah tersebut (Alatas, 2006).

Dengan kata lain, Ibn Khaldun meletakkan literasi sebagai dasar peradaban. Membaca sejarah, memahami hukum-hukum sosial, dan menumbuhkan kesadaran kolektif adalah fondasi utama untuk menjaga keutuhan masyarakat dan menghindari siklus kehancuran peradaban yang ia gambarkan secara tajam dalam Muqaddimah.

Pentingnya Transmisi Ilmu: Guru, Lembaga, dan Dokumentasi

Dalam analisis Ibn Khaldun, keberlangsungan ilmu dalam masyarakat sangat bergantung pada mekanisme transmisi keilmuan yang kuat. Ia menekankan peran penting guru (mu’allim), lembaga pendidikan (madrasah, jami’), serta dokumentasi dalam bentuk kitab dan diwan al-‘ilm (catatan resmi keilmuan dan administrasi).

Ibn Khaldun menyebutkan bahwa pengajaran tidak bisa dilepaskan dari tradisi dan adab. Seorang murid harus berguru kepada orang yang memiliki sanad keilmuan yang jelas, dan belajar tidak hanya dari teks tetapi juga dari laku hidup para guru. Ia sangat menekankan pentingnya belajar melalui proses bertahap, mulai dari dasar hingga mendalam, serta tidak melewatkan adab sebagai fondasi keberkahan ilmu.

Lembaga pendidikan, menurutnya, adalah pusat peradaban yang harus didukung oleh negara dan masyarakat. Ketika negara mulai mengabaikan pengembangan lembaga keilmuan, maka kemerosotan peradaban tinggal menunggu waktu. Demikian pula pentingnya dokumentasi keilmuan dalam bentuk kitab—yang menurut Ibn Khaldun bukan sekadar untuk arsip, tetapi sebagai sarana memelihara ilmu lintas generasi. Hal ini memperlihatkan bahwa budaya tulis (kitabah) adalah salah satu indikator utama keberlangsungan budaya ilmu (Ibn Khaldun, 2002).

Kritik terhadap Stagnasi Ilmu dan Kemunduran Literasi

Ibn Khaldun juga menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi dunia Islam pada zamannya, yang menurutnya telah mengalami stagnasi ilmu. Ia menyayangkan dominasi pendekatan skolastik yang hanya mementingkan hafalan dan pengulangan, tanpa adanya pembaruan metodologi atau relevansi sosial. Ia mengkritik para ulama yang hanya sibuk dengan perdebatan teologis tanpa kontribusi nyata terhadap perbaikan masyarakat.

Kritik ini sangat relevan untuk konteks modern, di mana banyak masyarakat Muslim masih menghadapi krisis literasi sosial. Kemunduran budaya baca, minimnya produksi karya ilmiah, serta lemahnya minat terhadap ilmu pengetahuan sosial menjadi tantangan besar bagi umat Islam dalam menghadapi era globalisasi. Padahal, seperti dikatakan Ibn Khaldun, ketika masyarakat tidak lagi menghidupkan budaya ilmu, maka mereka akan menjadi pasif dan tertinggal dalam percaturan peradaban.

Oleh karena itu, pemikiran Ibn Khaldun mengajak umat Islam untuk kembali meneguhkan posisi ilmu sebagai kekuatan peradaban, dan menghidupkan kembali tradisi literasi sebagai gerakan sosial, bukan sekadar aktivitas akademik individual.

Pemikiran Ibn Khaldun dalam Gerakan Literasi Keislaman

Pemikiran Ibn Khaldun menjadi sangat relevan dalam upaya menghidupkan kembali gerakan literasi keislaman di era modern. Ibn Khaldun meletakkan ilmu sebagai basis struktur sosial dan pembangunan peradaban. Dalam konteks hari ini, prinsip tersebut dapat menjadi dasar filosofis bagi kampanye literasi Islam yakni upaya mengembalikan budaya membaca, menulis, dan berpikir kritis sebagai bagian integral dari identitas umat.

Gerakan literasi keislaman bukan semata menggiatkan umat untuk membaca teks keagamaan secara tekstual, melainkan mengembangkan pemahaman kontekstual dan reflektif terhadap wahyu, sejarah, dan dinamika sosial kontemporer. Dalam Muqaddimah, Ibn Khaldun menekankan pentingnya menghubungkan ilmu dengan realitas kehidupan (Ibn Khaldun, 2002). Hal ini mendorong para aktivis literasi keislaman untuk tidak hanya mengajarkan kitab, tetapi juga membekali umat dengan kemampuan membaca zaman dan berpikir solutif terhadap permasalahan sosial.

Reaktualisasi pemikiran Ibn Khaldun juga bisa memandu kurikulum pesantren dan sekolah Islam untuk lebih menyeimbangkan antara ‘ulum naqliyah (ilmu-ilmu keagamaan) dan ‘ulum aqliyah (ilmu-ilmu rasional/sosial), sehingga gerakan literasi Islam menjadi transformasional, bukan sekadar simbolik.

Relevansi bagi Pembaharuan Pendidikan Islam

Dalam konteks pembaharuan pendidikan Islam, Ibn Khaldun mengajukan tiga hal penting yang bisa dijadikan pijakan: (1) pentingnya adab sebelum ilmu; (2) urgensi membangun kurikulum yang bertahap dan holistik; dan (3) penguatan fungsi sosial pendidikan. Ia mengkritik sistem pendidikan zamannya yang terlalu menekankan hafalan, minim diskusi kritis, dan tercerabut dari konteks sosial umat (Alatas, 2006).

Hari ini, banyak lembaga pendidikan Islam menghadapi tantangan serupa—yakni kurikulum yang kaku, minim koneksi dengan persoalan masyarakat, dan ketimpangan akses literasi. Konsep Ibn Khaldun bisa menjadi model pendidikan yang integratif antara spiritualitas, ilmu sosial, dan pembangunan karakter.

Dengan menanamkan prinsip bahwa ilmu harus membuahkan amal dan reformasi sosial, pendidikan Islam akan kembali menjadi motor perubahan masyarakat. Pendidikan semacam ini akan melahirkan insan literat: cendekiawan yang mampu menulis, berdiskusi, serta berperan aktif dalam pembentukan masyarakat madani.

Pengembangan Perpustakaan dan Akses terhadap Pengetahuan

Salah satu aspek penting dari literasi sosial adalah ketersediaan dan keterjangkauan sumber ilmu. Dalam hal ini, Ibn Khaldun memberi perhatian besar pada dokumentasi dan transmisi keilmuan, yang dalam konteks kekinian dapat diwujudkan dalam pengembangan perpustakaan dan sistem informasi berbasis digital.

Dalam Muqaddimah, ia menyebut pentingnya kutub (kitab) dan diwan al-‘ilm (register keilmuan) sebagai fondasi peradaban. Hal ini menegaskan bahwa dokumentasi ilmu bukan sekadar pelestarian, tetapi juga instrumen pembelajaran lintas generasi (Ibn Khaldun, 2002). Oleh sebab itu, perpustakaan tidak boleh diposisikan sekadar tempat menyimpan buku, tetapi sebagai pusat kebudayaan dan partisipasi intelektual umat.

Pengembangan perpustakaan Islam modern harus diarahkan pada dua sisi yaitu peningkatan kualitas koleksi dan kemudahan akses. Ini mencakup digitalisasi naskah klasik, integrasi perpustakaan dengan sistem pendidikan Islam, serta penyediaan ruang diskusi dan literasi terbuka bagi publik. Gagasan Ibn Khaldun tentang pentingnya dokumentasi dan transmisi keilmuan menjadi sangat relevan untuk mendesain ulang sistem perpustakaan sebagai pusat kebangkitan intelektual umat.

Literasi sebagai Modal Sosial dan Jalan Peradaban

Lebih jauh lagi, Ibn Khaldun meletakkan ilmu sebagai modal sosial dalam pembangunan peradaban. Literasi tidak hanya memperkaya individu, tetapi juga memperkuat jaringan sosial melalui penguatan asabiyyah—yakni kesadaran kolektif dan solidaritas. Dalam masyarakat modern yang terfragmentasi oleh individualisme, literasi bisa menjadi alat untuk membangun ruang bersama di mana ide, nilai, dan pemikiran dipertukarkan secara sehat.

Literasi yang dimaknai sebagai kebiasaan membaca dan menulis yang kritis dan kreatif berfungsi sebagai fondasi untuk membentuk warga yang aktif, sadar hak dan tanggung jawabnya, serta memiliki ketahanan budaya. Dalam kerangka Ibn Khaldun, masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang siap membangun hadharah (peradaban) karena telah memiliki nidzam (struktur sosial), ‘ilm (pengetahuan), dan akhlaq (etika).

Oleh karena itu, upaya menghidupkan budaya literasi bukan hanya proyek pendidikan, tetapi proyek peradaban. Jika umat Islam ingin bangkit dan berperan kembali di tengah peradaban global, maka langkah awalnya adalah membangun ummatan qari’ah yakni umat yang gemar membaca, berpikir, dan menulis dalam kerangka nilai-nilai Islam dan realitas zaman.

Penutup

Pemikiran Ibn Khaldun dalam Muqaddimah tidak hanya menjadi warisan historis, tetapi juga menawarkan pandangan filosofis yang relevan untuk menjawab tantangan literasi sosial umat Islam saat ini. Ia memandang ilmu dan budaya baca-tulis sebagai fondasi peradaban, serta menekankan pentingnya integrasi antara ilmu naqliyah dan aqliyah, antara rasionalitas dan adab, serta hubungan antara guru dan murid.

Konsepsi ilmu menurut Ibn Khaldun dapat dijadikan landasan dalam membangun budaya literasi yang kritis dan reflektif. Literasi, dalam pandangan Islam, bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi merupakan bentuk ibadah dan kesadaran sosial yang memperkuat peran manusia sebagai khalifah.

Karena itu, pemikiran Ibn Khaldun penting diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan Islam dan gerakan literasi umat. Upaya ini tidak hanya mendorong kemampuan membaca, tetapi juga membentuk kesadaran berpikir dan menulis secara kontekstual. Dengan begitu, umat Islam dapat tampil sebagai agen perubahan yang menulis sejarah, bukan sekadar membacanya.

*Akademisi Dan Peneliti Badan Riset Dan Inovasi Mathla’ul Anwar {Brima}

Referensi

  1. 1. Alatas, Syed Farid. (2006). Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology. London: Routledge.
  2. 2. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1984). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
  3. 3. Bagley, F. R. C. (1964). Ibn Khaldun and the Philosophy of History. London: George Allen & Unwin.
  4. 4. Effendy, Bahtiar. (2008). Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
  5. 5. Freire, Paulo. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
  6. 6. Hasyim, Syafiq. (2019). "Membaca Ulang Konsep Ilmu dalam Islam: Perspektif Epistemologi Ibn Khaldun." Jurnal Studi Islam, 15(2), 123–140.
  7. 7. Ibn Khaldun. (2002). Muqaddimah Ibn Khaldun, ed. Franz Rosenthal (terj. dari bahasa Arab). Princeton: Princeton University Press.
  8. 8. Nasr, Seyyed Hossein. (2006). Islamic Science: An Illustrated Study. Chicago: World Wisdom.
  9. 9. Nasution, Harun. (1992). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
  10. 20. Rosenthal, Franz. (1967). Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Leiden: Brill.
  11. 22. UNESCO. (2006). Literacy for Life: EFA Global Monitoring Report. Paris: UNESCO.
  12. 12. UNESCO. (2022). Global Education Monitoring Report. Paris: UNESCO Publishing.
  13. 13. Wahyuni, Sri. (2022). “Revitalisasi Literasi Islam di Era Digital.” Jurnal Literasi Islam,
  14. 14. Zarkasyi, Hamid Fahmy. (2011). Membangun Peradaban Islam: Perspektif Epistemologi Islam. Gontor: ISID Press.

Share this Post