Gen Z Siap Kuasai Dunia Informasi : Anak 9 Tahun Jago Riset

Sumber Gambar :

Oleh: Nasywa Azarine Maheswari*

Anak Zaman Sekarang dan Dunia Riset

Di era digital saat ini, generasi Z atau yang sering disebut dengan Gen Z sangat dikenal dengan generasi yang paling melek teknologi dan informasi dalam sejarah. Sejak kecil, mereka sudah terbiasa dengan smartphone, internet, media sosial dan berbagai paltform digital lainnya. Gen Z hidup di lingkup yang serba digital, cepat dan instan, sehingga mereka tumbuh menjadi individu yang lebih adaptif terhadap perubahan informasi dan teknologi yang terus berkembang. Bahkan, anak usia 9 tahun saat ini sudah mahir melakukan riset sederhana berkat kemudahan akses informasi di era digital (Rodliyah, 2024).

            Kunci utama bagi Gen Z untuk berkembang di dunia modern adalah literasi informasi. Meskipun mereka cekatan dalam mencari data dan informasi melalui internet, tidak menutup kemungkinan informasi yang didapatkan akurat dan relevan. Di sinilah literasi informasi berperan dalam mengajarkan anak untuk berpikir kritis, memilah dan mengevaluasi informasi secara bijak (Fitri & Prasetyawan, 2020). Tanpa keterampilan ini, Generasi Z bisa saja terjebak dalam arus informasi yang salah atau tidak kredibel.

            Kemampuan riset anak di era digital bukan hanya sekedar mencari jawaban di Google. Lebih dari itu, mereka dituntut untuk memahami proses riset, mulai dari mengidentifikasi masalah, mencari sumber yang kredibel, hingga menyusun laporan atau presentasi. Penelitian baru menunjukkan bahwa penggunaan teknologi berbasis AI bahkan semakin memperkuat kemampuan riset digital anak-anak sejak usia dini (Noviyanti et al., 2023).

            Fenomena anak 9 tahun yang mampu melakukan riset sederhana menggunakan AI disebut dalam podcast Escape Eps. 22 pada Channel YouTube Raymond Chin yang dijelaskan oleh narasumber Michelle Santoso yang menceritakan bagaimana anaknya menggunakan ChatGPT untuk mencari jawaban atas rasa keingintahuannya. Meskipun anak usia 9 tahun belum mengerti dengan bahasa ChatGPT, si kecil merumuskan pertanyaan, permintaan atau prompt yang memanfaatkan kecanggihan AI (ChatGPT) dalam proses belajarnya. Sekilas, ini tampak sebagai lompatan luar biasa dalam kemampuan riset digital anak zaman sekarang. Namun, perlu digarisbawahi, algoritma dari platform seperti ChatGPT atau platform digital lainnya masih memiliki keterbatasan dalam menyesuaikan konteks bahasa anak-anak, sehingga tetap dibutuhkan pendampingan dan verifikasi dari orang dewasa.

            Cerita ini memang inspiratif, tapi kita tidak bisa menelannnya mentah-mentah begitu saja. Dalam konteks akademik, riset didefinisikan lebih dari dari sekedar bertanya dan mendapat jawaban dari mesin. Literasi informasi menuntut proses kritis, evaluasi sumber, serta kemampuan menyusun argumen yang logis. Tanpa arahan yang bijak, anak bisa saja mengandalkan AI secara pasif dan hanya mengonsumsi informasi tanpa memahami pola pikir yang benar (Fitri & Prasetyawan, 2020).

            Lebih dari itu, penggunaan AI pada usia dini perlu ditinjau oleh orang tua dari aspek etis dan pedagogis. Studi Noviyanti et al., (2023) menyatakan pembelajaran berbasis AI dapat mendukung proses pendidikan anak usia dini, tetapi tetap memerlukan kurikulum yang terstruktur dan guru yang melek teknologi. Jika tidak, anak-anak bisa cepat terbiasa dengan jawaban instan tanpa melalui proses berpikir kritis yang seharusnya menjadi pondasi penting dalam pendidikan.

            Oleh karena itu, fenomena seperti ini seharusnya menjadi pengingat bagi orang tua, guru dan pembuat kebijakan untuk mulai membekali Gen Z dengan literasi informasi yang kuat sejak dini. Mereka memang memiliki kecerdasan digital yang tinggi, namun tanpa dasar literasi yang tepat, potensiitu bisa salah arah. Dunia informasi tidak hanya tentang seberapa cepat akses, tetapi juga keterampilan dalam memilah, memahami, dan mengolah informasi menjadi pengetahuan yang bermakna.

Teknologi Membantu Literasi Informasi

Dalam dunia pendidikan, pemanfaatan teknologi bukan lagi bahan pelengkap dalam pembelajaran, tetapi menjadi kebutuhan utama. Berbagai riset membuktikan bahwa teknologi, khususnya artificial intelligence (AI) dapat menjadi alat bantu yang efektif untuk meningkatkan kemampuan belajar dan literasi informasi anak. Gen Z yang lahir, tumbuh dan berkembang di tengah teknologi memiliki peluang besar untuk memanfaatkan AI dalam mendukung proses pencarian, pengelolaan hingga penyampaian informasi yang baik, lebih cepat dan cerdas (Empati et al., 2024).

            AI mampu mempersonalisasi proses pembelajaran sesuai dengan gaya belajar dan tingkat pemahaman individu. Hal ini sangat relevan bagi anak usia sekolah dasar yang memiliki kemampuan berpikir yang masih berkembang. Dengan sistem adaptif, AI seperti chatbot edukatif dan pembelajaran berbasis aplikasi dapat menyajikan informasi yang sesuai dengan usia, minat dan pemahaman tingkat siswa. Dengan demikian, anak usia 9 tahun sekalipun bisa terbantu untuk memahami proses riset sederhana dengan pendekatan yang mereka pahami.

            Bukti lain yang mendukung efektivitas AI dalam pembelajaran datang dari pelatihan yang dilakukan pada guru-guru PAUD untuk mengunakan AI dalam mengembangkan pembelajaran. Pelatihan-pelatihan tersebut dapat meningkatkan kapasitas guru dalam menyusun pembelajaran yang lebih kreatif dan interaktif (Yudha et al., 2024). Anak-anak yang diajar dengan pendekatan ini menunjukkan peningkatan minat belajar dan pemahaman terhadap informasi yang disampaikan.

            Hal-hal tersebut menegaskan bahwa teknologi seperti AI bukan hanya sebagai alat bantu belajar, tetapi dapat menumbuhkan pola pikir yang kritis dan analis yang membangun keterampilan literasi informasi sejak dini. Ketika pendidik dibekali dengan pelatihan yang tepat dalam penggunaan teknologi, mereka mampu merancang metode pembelajaran yang lebih attractive, interaktif dan sesuai dengan kebutuhan dan gaya anak-anak. Dengan begitu, minat belajar akan meningkat dan kemampuan anak untuk memahami, menyaring, mengonsumsi dan mengelola informasi akan semakin terasah secara mandiri. Pendekatan seperti ini akan membuat mereka (Gen Z) tidak hanya menjadi pengguna informasi, tetapi juga produsen dari pengetahuan yang reflektif dan bertanggung jawab.

            Lebih jauh, penguasaan literasi informasi berbasis teknologi sejak usia sekolah dasar menjadi investasi penting untuk masa depan anak. Generasi yang dibesarkan dengan kemampuan riset digital yang kuat akan lebih siap untuk menghadapi tantangan dunia digital yang didominasi dengan hoax, overload information dan kecepatan perubahan dalam dunia informasi. Oleh karena itu, integrasi teknologi dalam pendidikan perlu terus dikembangkan, tidak hanya melalui kurikulum yang adaptif, tetapi juga melalui pelatihan pendidik secara berkelanjutan. Dengan cara ini, literasi informasi akan benar-benar menjadi pondasi utama bagi Generasi Z untuk menjadi agen perubahan di era informasi.

Masa Depan Literasi Ada di Tangan Generasi Z

Dalam podcast Escape episode 22 pada menit ke 25, Michelle Santoso menyebut bahwa anaknya yang berusia 9 tahun mampu melakukan riset secara mandiri menggunakan AI seperti ChatGPT, meskipun generasi ini memiliki keterbatasan algoritma yang membuat mereka ke distract dengan hal lain, hal ini merupakan cerminan awal bahwa Gen Z memiliki kemampuan adaptif yang luar biasa terhadap teknologi informasi. Mereka tumbuh dalam lingkungan digital yang memungkinkan akses instan ke berbagai sumber data, mulai dari mesin pencari, chatbot seperti ChatGPT, hingga media sosial berbasis pengetahuan. Ini bukan hanya soal kecepatan akses informasi, tetapi bagaimana mereka mulai belajar mengenali, mengolah dan menyajikan data secara kritis sejak usia sangat dini (Rodliyah, 2024).

            Namun, kemampuan luar biasa ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan pendidikan literasi yang terstruktur dan lingkungan sosial yang mendukung. Tantangan terbesarnya adalah memastikan bahwa Generasi Z tidak hanya menjadi pengguna informasi yang pasif dan impulsif, tetapi dibekali keterampilan untuk menilai kredibilitas informasi, memahami konteks dan menyampaikan hasil temuan secara etis (Lisia Miranda, 2024). Peran orang tua, guru dan institusi pendidikan menjadi sangat krusial dalam membentuk kebiasaan riset yang sehat dan bertanggung jawab di tengah gempuran informasi digital yang tak terbendung.

            Anak usia 9 tahun yang sudah mampu melakukan riset menjadi bukti bahwa Gen Z punya kesiapan luar biasa dalam menghadapi era informasi. Dengan dukungan teknologi seperti AI, mereka belajar lebih cepat, kritis dan adaptif. Mereka bukan sekedar pengguna informasi, tetapi juga calon dari pencipta pengetahuan. Jika dibimbing dengan literasi informasi dan etika digital yang kuat, Generasi Z akan menjadi generasi pemimpin di masa depan yang dapat menguasai, menyaring dan menciptakan informasi secara bertanggung jawab.

Kesimpulan

Anak usia 9 tahun yang mampu melakukan riset menjadi bukti konkret bahwa Gen Z tengah berada di jalur yang tepat untuk menguasai dunia informasi. Keterampilan mereka dalam mengakses, memilah, mengevaluasi, dan memahami informasi menunjukkan bahwa batas usia dalam dunia riset kini semakin fleksibel berkat dukungan teknologi dan literasi digital sejak dini. Hal ini mencerminkan perubahan besar dalam pola belajar yang lebih dinamis dan berbasis kebutuhan generasi masa kini.

            Dengan literasi informasi yang ditanamkan sejak dini serta pemanfaatan teknologi seperti AI, Generasi Z ini menunjukkan kesiapan sebagai pencipta informasi. Mereka bergerak cepat, belajar mandiri, dan mampu membentuk pemahaman kritis terhadap dunia digital yang kompleks. Maka, potensi anak-anak ini bukan lagi sekadar gambaran masa depan, tapi juga mereka adalah wajah nyata dari masa depan itu sendiri.

*Mahasiswa UIN SMH Banten. 231390017.nasywaazarine@uinbanten.ac.id

Daftar Pustaka

1. Empati, J., Sinaga, N. E., Dealova, M. M., & Nediva, V. (2024). Pengaruh Penggunaan Artificial Intelligence Terhadap Pendidikan Anak Usia Sekolah : Tinjauan Literatur

2. Fitri, R. N., & Prasetyawan, Y. Y. (2020). Literasi informasi generasi x, y, dan z dalam penyusunan karya tulis ilmiah Universitas Diponegoro. Jurnal Kajian Informasi & Perpustakaan, 8(1), 21. https://doi.org/10.24198/jkip.v8i1.23233

3. Lisia Miranda. (2024). Pentingnya Penguatan Pendidikan Karakter pada Anak Sekolah Dasar di Era Digital. Atmosfer: Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, Seni, Budaya, Dan Sosial Humaniora, 2(2), 228–234. https://doi.org/10.59024/atmosfer.v2i2.805

4. Noviyanti, A. I., Hidayanto, N. E., & Wijaya, P. R. (2023). Pembelajaran Berbasis AI (Artificial Intelligence) untuk Anak Usia Dini. JECIE (Journal of Early Childhood and Inclusive Education), 7(1), 150–155. https://doi.org/10.31537/jecie.v7i1.1514

5. Rodliyah, U. (2024). Strategi Peningkatan Kemampuan Literasi Informasi Generasi Z. … Ilmu Perpustakaan, Informasi Dan Kearsipan, 10(1), 77–90. https://doi.org/10.14710/lenpust.v10i1.57381

6. Yudha, R. P., Aisyah, S., Ngili, A. E., Hetraria, T. S., Rumsiti, T., Kurniawati, R. D., & Nurfida, N. (2024). Pengembangan Profesionalisme Guru PAUD Melalui Pelatihan Penggunaan AI (Artificial Intelligence) dalam Pembelajaran Anak Usia Dini. Jurnal Pengabdian Masyarakat Bangsa, 2(3), 542–548. https://doi.org/10.59837/jpmba.v2i3.861.


Share this Post