Gotong Royong Meningkatkan Minat Baca di Banten
Sumber Gambar :Gotong Royong Meningkatkan Minat Baca di Banten
Oleh:
Munawir Syahidi*
Minat baca masyarakat Banten belum dapat dikatakan berhasil maksimal, walaupun tidak dipungkiri ada sedikit perkembangan menuju pada perubahan yang lebih baik. Semua pihak bahu membahu untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Mulai dari lembaga formal sampai lembaga non formal. Lembaga formal seperti institusi pendidikan melalui perpustakaan sekolah, perpustakaan desa dan Perpustakaan di perguruan tinggi. Sementara untuk lembaga non formal seperti Taman Bacaan Masyarakat dan komunitas-komunitas literasi.
Dalam
hal ini terlebih dahulu kita akan membicarakan tentang korelasi minat baca
siswa dan perpustakaan sekolah. Seperti yang kita fahami bersama perpustakaan
adalah jantungnya sekolah, perpustakaan desa adalah jantungnya masyarakat desa,
perpustakaan daerah dan perpustakaan nasional juga menjadi jantungnya
peradaban.
Dimasa
lalu Bait al-Hikmah didirikan pada 830 Masehi oleh khalifah Dinasti Abbasiyah,
al-Makmun. Sejarawan
Amerika keturunan Arab, Philip K Hitti, mengatakan, Bait al-Hikmah sebagai
kombinasi antara perpustakaan, akademi, dan biro penerjemah yang menjadi
lembaga pendidikan paling penting setelah perpustakaan Alexandria yang berdiri
1.100 tahun sebelumnya. Perpustakaan ini menjadi tempat menimba ilmu bagi siapa
saja, termasuk komunitas Kristen Eropa selama Abad Pertengahan.
Sementara
di Spanyol, perpustakaan paling terkenal pada masa kejayaan Islam adalah
perpustakaan kebanggaan Khalifah al-Hakam II al-Mustansir (961-976) di Kordoba.
Al-Hakam yang juga seorang cendekiawan membeli buku ke Alexandria, Damaskus,
dan Baghdad, serta mempekerjakan dalam jumlah besar ahli-ahli kaligrafi dan
penjilid buku. Perpustakaan miliknya memiliki koleksi lebih dari 400 ribu buku
dengan 44 volume katalog. Dan banyak lagi perpustakaan-perpustakaan yang
menjadi sumber peradaban dan kemajuan.
Sekarang
perpustakaan juga ada di berbagai institusi pendidikan, bahkan perpustakaan
desa juga menjadi salah satu yang didorong oleh pemerintah melalui pembelanjaan
pada dana desa. Artinya desa diberikan peran untuk meningkatkan SDM melalui
literasi. Karena peningkatan SDM Unggul mustahil bisa dilakukan tanpa
meningkatkan kualitas membaca masyarakatnya.
Pengelolaan
perpustakaan sekolah
atau madrasah nampaknya masih jauh dari harapan, hanya beberapa sekolah saja
yang telah bertransformasi menuju arah yang lebih baik. Selebihnya,
perpustakaan sekolah masih berkutat pada peminjaman buku paket, pun dengan buku
paket yang masih terbatas dan tidak mencukupi untuk seluruh siswa karena
keterbatasan anggaran. Selain itu, karena beberapa tahun ini sering ganti
kurikulum pendidikan akhirnya buku paket koleksi di perpustakaan sekolah
menjadi tidak bertambah dan tidak lagi terpakai.
Perpustakaan
sekolah jarang memiliki buku penunjang yang cukup untuk anak-anak, buku-buku
bacaan yang cocok untuk anak-anak. Misalnya di tingkat SD bacaan anak-anak
yang seusia mereka, bahkan ada beberapa sekolah dasar yang ruang
perpustakaannya tidak memiliki koleksi buku. Tidak pernah dibuka dan yang pasti
tidak ada pengunjung. Jangankan inovasi dari perpustakaan, pustakawannya saja
tidak ada, biasanya pustakawan di sekolah adalah mereka yang tidak memiliki
pengetahuan lebih tentang kepustakaan.
Honorer yang bisa jadi merangkap sebagai pesuruh sekolah, karena dianggapnya
penjaga perpustakaan (bukan pustakawan) tugasnya hanya membereskan dan
merapikan buku. Apa korelasinya? Akhirnya anak-anak jauh dari buku, jauh dari
membaca buku dan juga jauh dari pengetahuan yang bersumber dari buku. Beberapa
upaya sebenarnya sudah dilakukan seperti di Pandeglang, dari DPAD Kabupaten
Pandeglang yang melakukan kunjungan rutin ke sekolah-sekolah, membawa mobil
perpustakaan, dengan tujuan yang sama mendekatkan anak-anak pada bahan bacaan,
dan biasanya disambut dengan antusiasme anak-anak, bayangkan kalau perpustakaan
disekolahnya menyediakn bahan bacaan yang menarik anak-anak, atau memiliki
medoa digital yang disenangi anak-anak maka kota bisa berharap anak-anak Banten
akan maju dikemudian hari dengan literasi. Itu di tingkat Sekolah Dasar dengan
berbagai permasalahannya.
Ditingkat
SLTP nasib perpustakaannya hampir sama dengan perpustakaan di Sekolah Dasar,
anak-anak yang seharusnya dekat dengan bacaan, sebagai upaya untuk membentuk
karakter, akhirnya lebih dekat dengan gawai, yang disadari atau tidak gawai dan
kontennya turut membentuk karakter anak-anak kita.
Di
Tingkat SLTA, sekolah negeri, mungkin ada sedikit perbedaan, walaupun
masalahnya tetap sama, kekurangan buku penunjang untuk siswanya, sehingga tidak
mungkin mereka hanya mempelajari buku paket sebagai sumber utama belajar itu,
jauh dari karya sastra, menyebabkan anak-anak jauh dari buku. Karena beberapa alasan
anak-anak sebelum mereka mempelajari hal yang ilmiah mereka harus di picu oleh
bacaan-bacan sastra yang akan merangsang mereka untuk dekat dengan bahan
bacaan, membiasakan mereka menjadi pembaca yang tentu saja nanti diharapkan
akan menjadi penulis.
Perpustakaan
sekolah, di tingkat SLTA saya pikir masih menjadi pekerjaan rumah bersama semua
pemangku kebijakan, karena perpustakaan sekolah di tingkat SLTA akan menjadi
gerbang terakhir anak-anak generasi penerus bangsa yang nantinya akan memasuki
dunia masyarakat, mengapa gerbang terakhir? Karena yang melanjutkan ke
perguruan tinggi tidak sebanyak yang diinginkan, anak-anak akan semakin jauh
dari bacaan sementara ketika mereka terjun ke masyarakat dan dunia kerja mereka
sangat membutuhkan keahlian yang juga ditunjang oleh bahan bacaan. Jika saja perpustakaan SLTA dapat memberikan
ruang yang lebih luas untuk belajar maka setidaknya lulusan SLTA akan memiliki
cadangan keahlian yang mereka baca dari buku-buku. Meningkatkan minat baca
harus dibarengi dengan peningkatan sarana dan prasarana di perpustakaan.
Apalagi
jika bicara tentang literasi untuk kesejahteraan. Maka perpustakaan sekolah
adalah tombak utama untuk mewujudkan itu semua. Jika perpustakaan hanya menjadi
tempat menyimpan buku-buku paket maka generasi kita belum siap menghadapi
jaman. Walaupun usaha untuk meningkatkan minat
baca terus diupayakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kerasipan Provinsi
Banten baik yang dilaksanakan dengan peningkatan kualitas pelayanan di
perpustakaan dan bahkan ‘Blusukan” sampai ke pelosok Banten untuk menyebarkan
virus membaca di Banten.
Terlepas dari
itu semua, peningkatan minat baca di Banten harus memakai teori Ki Hajar Dewantara dengan menggunakan
tri pusat pendidikan, pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan
masyarakat.
Meningkatkan
minat baca nampaknya juga harus memenuhi ketiga unsur tersebut, jika di atas
berbicara tentang perpustakaan sekolah dengan berbagai persoalan dan usaha
menanggulanginya, maka mari kita masuk pada Pendidikan keluarga, bagaimana
peningkatan minat baca juga harus dimulai dari rumah atau dari keluarga,
keluarga memiliki peranan penting karena karakter anak-anak bermula dari
keluarga. Apa yang bisa dilakukan di rumah? bisa memulainya dengan membuat
pojok baca di rumah, menyisihkan uang untuk membeli buku, dan membuat sesi
membaca buku Bersama atau membicakan tema tertentu yang bersumber pada bahan
bacaan, sesekali belikan hadiah berupa buku. Dengan demikian pembiasaan membaca
bisa dimulai.
Unsur berikutnya
adalah unsur masyarakat, di masyarakat butuh sentuhan yang lebih banyak, bahkan
lebih banyak dari lembaga formal seperti sekolah yang sudah terprogram dengan
pendanaan yang bisa ditingkatkan dan tergantung dari niat baik pemangku
kebijakan. Sedangkan di masyarakat selain juga butuh sentuhan dari para
pemangku kebijakan juga butuh menyentuh masyarakatnya secara utuh, maka
keberadaan perpustakaan desa yang dikelola desa harus didorong dengan sumber
daya manusia yang cukup, karena jika hanya mendirikan bangunan perpustakaan dan
mengaanggarkan pembelian buku maka nasib perpustakaan tersebut hanya akan
menjadi ruang mati yang tidak bermanfaat, dan terkesan hanya menghabiskan
anggaran, butuh evaluasi bersama. Di Taman Bacaan Masyarakat, upaya -upaya yang
dilakukan sesuai dengan kemampuan TBM tersebut juga memerlukan energi besar
untuk terus bertahan ditengah tantangan eksternal yang terus meningkat. maka
selain perpustakaan sekolah, perpustakaan desa yang kegiatannya bisa
dianggarkan dari dana desa itu, keberadaan taman bacaan masyarakat juga perlu
diperhatikan oleh para pemangku kebijakan sebagai sebuah upaya bersama untuk
meningkatkan minat baca di masyarakat.
Jika ketiga
unsur itu dapat dilaksanakan bersama-sama maka lambat laun minat baca di
masyarakat akan meningkat, selain itu perlu konsistensi yang luar biasa agar
peningkaan minat baca terus menunjukan perubahan kearah yang lebih baik. Dan
bukan hanya sekedar ceremonial belaka.
Akhirnya mari
kita bahu-membahu meningkatkan minat baca di Banten dengan melakukan yang dapat
anda lakukan baik sebagai pemangku kebijakan pada sebuah lembaga, kepala
keluarga, tokoh masyarakat atau bahkan sebagai masyarakat biasa, kita semua
tetap dapat berkontribusi untuk berpartisipasi dalam meningkatkan minat baca.
Mari gotong royong meningkatkan minat
baca masyarakat.