Implementasi Kurikulum Merdeka: Perpustakaan Sekolah Bisa Apa?

Sumber Gambar :

Implementasi Kurikulum Merdeka: Perpustakaan Sekolah Bisa Apa?

Oleh: Mahbudin, S.Pd.I, M.Pd* 

Struktur kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah Indonesia harus berfokus pada pengembangan kompetensi esensial, seperti literasi, numerasi, dan karakter.

(Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbudristek, 2021) 

Mulai tahun ajaran 2022–2023, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi mengajak seluruh satuan pendidikan di Indonesia untuk menerapkan Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini digadang-gadang sebagai upaya pemulihan ketertinggalan pembelajaran (Learning Loss) akibat pandemi Covid-19, dan agar satuan pendidikan lebih berfokus pada kompetensi inti yaitu literasi, numerasi dan karakter.

Regulasi tentang Implementasi Kurikulum Merdeka ini tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Republik Indonesia Nomor: 262/M/2022 tentang Perubahan atas Keputusan Mendikbudristek Nomor 56­­­/M/2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran.

Implementasi Kurikulum Merdeka dilakukan secara bertahap dengan mekanisme pendaftaran. Satuan pendidikan yang sudah siap, disilakan mendaftar untuk diverifikasi dan jika lolos akan ditunjuk sebagai sekolah pelaksana Kurikulum Merdeka. Kemudian setelah melalui tahapan evaluasi dan perbaikan, Kurikulum Merdeka baru akan diberlakukan secara nasional mulai tahun 2024.

Tulisan ini tidak bermaksud membuat deskripsi detail tentang Kurikulum Merdeka, namun lebih pada menyoroti hal-hal fundamental dalam Kurikulum Merdeka yang terkait langsung maupun tidak dengan peran perpustakaan sekolah.   

Dalam visinya, Kemendikbudristek menuliskan “Mendukung visi dan misi Presiden untuk mewujudkan Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya pelajar Pancasila ....” Implementasi Kurikulum Merdeka juga merupakan realisasi dari visi tersebut. Dalam skala makro, struktur Kurikulum Merdeka terbagi menjadi dua kegiatan utama: pertama, pembelajaran intrakurikuler; dan kedua projek penguatan profil pelajar pancasila.  

Kegiatan pembelajaran intrakurikuler untuk setiap mata pelajaran mengacu pada Capaian Pembelajaran (CP) yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 008/h/kr/2022 Tentang Capaian pembelajaran pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah Pada Kurikulum Merdeka.

Kegiatan pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka didorong untuk mengembangkan soft skill dan karakter profil pelajar Pancasila terutama melalui pembelajaran Project Based Learning atau model pembelajaran lainnya yang mengharuskan lebih banyak  siswa sebagai subjek dalam pembelajaran (students centered learning). Selain berfokus pada pengembangan karakter, pembelajaran juga menitikberatkan pada pengembangan aspek kompetensi esensial, yaitu literasi dan numerasi. Inilah dua kompetensi kunci agar seseorang dapat mengembangkan kapasitas dirinya dan berkontribusi produktif dalam masyarakat.

Dalam Buku Panduan “Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Implikasinya pada Pembelajaran” terbitan Kemendikbudristek (2020), literasi membaca didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks tertulis untuk mengembangkan kapasitas individu sebagai warga negara Indonesia dan warga dunia serta untuk dapat berkontribusi secara produktif kepada masyarakat.

Sedangkan literasi numerasi diartikan sebagai kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai jenis konteks yang relevan untuk individu sebagai warga Indonesia dan waga dunia. Melalui penguasaan kompetensi literasi dan numerasi, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan berpikir logis-sistematis, keterampilan bernalar menggunakan konsep dan pengetahuan yang telah dipelajari, serta keterampilan memilah serta mengolah informasi untuk dapat mengembangkan dirinya dan memiliki peran solutif dalam lingkungannya.

 Sedangkan projek penguatan profil pelajar Pancasila merupakan kegiatan kokurikuler berbasis projek yang dirancang untuk menguatkan upaya pencapaian kompetensi dan karakter sesuai dengan profil pelajar Pancasila sebagaimana yang diamanatkan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Dalam manual Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila terbitan Kemendikbudristek (2022) disebutkan bahwa profil pelajar Pancasila adalah karakter dan kemampuan yang dibangun dalam keseharian dan dihidupkan dalam diri setiap individu peserta didik melalui budaya satuan pendidikan, pembelajaran intrakurikuler, projek penguatan profil pelajar Pancasila, dan ekstrakurikuler.

Singkat cerita, tantangan hidup di abad 21 mensyaratkan setiap individu memiliki kompetensi inti literasi membaca dan numerasi serta berperilaku sesuai nilai-nilai pelajar Pancasila yaitu, beriman, bertakwa keda Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; mandiri; bernalar kritis, kreatif; bergotong royong; berkebinekaan global.

Satu hal yang menarik dari Implementasi Kurikulum Merdeka ini adalah bahwa pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi meyakini bahwa kompetensi literasi adalah kunci dasar agar dapat belajar efektif dan berkontribusi positif di masyarkat.  Dengan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) ini, perpustakaan sekolah memiliki peran semakin strategis di satuan pendidikan sebagai bagian integral dalam pembelajaran. Ada beberapa peran strategis perpustakaan sekolah yang dapat dilakukan dalam mendukung IKM. 

Pertama, optimaliasi Gerakaran Literasi Sekolah (GLS). Pemerintah melalui Kemendikbudristek telah menginisiasi Gerakan Literasi Nasional (GLN)  dengan melibatkan berbagai pihak, baik di lingkungan internal Kemendikbud maupun di lingkungan eksternal Kemendikbud. GLN merupakan sebuah gerakan kebangsaan, yang digerakkan oleh setiap elemen kemasyarakat sehingga dalam pelaksanaannya GLN memerlukan kerja sama seluruh elemen bangsa yang mencakup pejabat daerah, tokoh masyarakat, penerbit, komunitas literasi, dan sebagainya agar apa yang sudah dirancang dapat sejalan dengan arah yang diinginkan. GLN terbagi dalam 3 (tiga) objek garapan yaitu: Gerakan Literasi Keluarga, Gerakan Literasi Sekolah, dan Gerakan Literasi Masyarakat.

Gerakan Literasi Sekolah merupakan upaya untuk menyinergikan semua potensi yang ada di sekolah untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan membudayakan literasi bagi semua warga sekolah. Secara lebih luas, Gerakan LIterasi Sekolah ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan budaya literasi pada ekosistem pendidikan mulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam rangka pembelajaran sepanjang hayat sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup. Perpustakaan sekolah adalah leading sector suksesnya GLS. Di sekolah penulis, program GLS diberi nama Reading Time. Program Reading Time merupakan sebuah uapaya membangun budaya membaca dan juga sebagai promosi perpustakaan sekolah yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2015 silam. Setiap hari Kamis, mulai pukul 07.00 – 08.10 pagi seluruh siswa dan guru berkumpul di lingkungan strategis sekolah untuk membaca buku favorit. Buku yang dibaca selama kegiatan Reading Time adalah buku nonpelajaran yang paling disukai.  Melalui pembiasaan ini, siswa diharapkan menemukan buku bacaan yang menarik hatinya yang akan membuatnya mencintai membaca. Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu, mari jatuh cinta! (Najwa Shihab).

Kedua, perpustakaan sekolah harus mampu menjadi Library of Things. Istilah Library of Things merupakan plesetan dari konsep dunia digital: Internet of Things (IOT), yaitu jaringan internet yang terintegrasi ke beragai alat sehingga membentuk jaringan raksasa yang semakin memudahkan kebutuhan hidup manusia.Perpustakaan sekolah harus berupaya menjadi Library of Things yang mengakomodasi berbagai kebutuhan pemustaka.  Fungsi akomodatif perpustakaan terhadap kebutuhan pemustaka dapat terealisasi jika koleksi perpustakaan kaya dan variatif sehingga pemustaka benar-benar merasa terbantu.

Sayangnya, masih banyak perpustakaan sekolah di Banten yang koleksinya masih jauh dari cukup. Jangankan mendekati angka Standar Nasional Perpustakaan, untuk dapat dikakatan “lumayan” saja rasanya masih berat. Padahal, mekanisme pengembangan koleksi perpustakaan tidak melulu harus melalui pembelian. Dengan melaksanakan program silang layan dengan perpustakaan daerah, misalnya, perpustakaan sekolah sejatinya sudah dapat memberikan layanan yang cukup baik bagi pemustakanya.

Memang kita mengakui bahwa masalah kelengkapan koleksi bacaan perpustakaan masih menjadi masalah utama. Najwa Shihab, Duta Baca Indonesia 2016–2021 bahkan pernah bilang, “secara umum kita memang masih menghadapi problem tingkat literasi, namun itu bukan semata karena keengganan membaca, melainkan problem akses pada bacaan.”

Melalui momentum IKM ini, pustakawan dan kepala sekolah diharapkan menjadi lebih termotivasi untuk mengoptimalkan layanan perpustakaan sekolah. Semoga.

 

*Penulis adalah Kepala Perpustakaan MTsN 1 Pandeglang


Share this Post