Iqra’ dan Tradisi Keilmuan Islam : Dari Wahyu Pertama hingga Peradaban Modern
Sumber Gambar :Oleh: Revi Setiawan*
Pendahuluan
Islam sangat menekankan pentingnya membaca dan menuntut ilmu sebagai sarana utama dalam membangun peradaban. Perintah membaca (Iqra’) yang terdapat dalam wahyu pertama menunjukkan bahwa ilmu memiliki kedudukan istimewa dalam ajaran Islam. Membaca tidak hanya dipahami sebagai aktivitas literasi biasa, tetapi juga sebagai jalan untuk memahami ayat-ayat Allah, baik yang tertulis dalam kitab suci maupun yang tersebar dalam semesta.
Firman Allah dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1-5 menjadi dasar bagi perintah pencarian ilmu yang terus berkembang dalam sejarah Islam. Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira menegaskan bahwa ilmu harus dikaitkan dengan ketauhidan dan keimanan kepada Allah. Rasulullah SAW sebagai penerima wahyu pertama kemudian menanamkan nilai-nilai keilmuan kepada para sahabat, yang kemudian menjadi tradisi intelektual yang berkembang pesat dalam sejarah peradaban Islam.
Penulisan artikel ini bertujuan untuk menelusuri bagaimana perintah Iqra’ (bacalah) mempengaruhi perkembangan ilmu dalam dunia Islam, bagaimana umat Islam merespons perintah ini dalam sejarah peradaban, serta bagaimana warisan intelektual ini masih relevan dalam konteks dunia modern.
Perintah Iqra’ dalam Wahyu Pertama
Wahyu pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW saat beliau sedang bertafakur di Gua Hira. Malaikat Jibril menyampaikan perintah Allah dengan kata Iqra’ yang berarti "bacalah!" (QS. Al-‘Alaq: 1). Nabi Muhammad SAW yang pada saat itu belum bisa membaca, menjawab bahwa ia tidak dapat membaca. Perintah Iqra’ diulang tiga kali, yang menandakan betapa pentingnya aktivitas membaca dalam Islam (Shihab, 2011).
Peristiwa ini menandai dimulainya kenabian Muhammad SAW dan awal dari transformasi besar dalam sejarah peradaban manusia. Dalam konteks sejarah Islam, wahyu ini tidak hanya menjadi awal dari ajaran Islam, tetapi juga menjadi dasar utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan budaya intelektual di dunia Muslim.
Tafsir QS. Al-‘Alaq ayat 1-5 dan Maknanya dalam Islam yang berbunyi: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Tafsir dari ayat ini menunjukkan beberapa makna utama: Pertama. Pentingnya membaca dan ilmu pengetahuan, perintah Iqra’ menunjukkan bahwa Islam sangat menekankan budaya membaca dan menuntut ilmu sebagai kewajiban bagi setiap Muslim dan membaca dalam ayat ini tidak hanya berarti membaca teks tertulis, tetapi juga membaca tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta (Shihab, 2011). Kedua, Hubungan antara ilmu dan tauhid. Ilmu dalam Islam tidak boleh dipisahkan dari tauhid. Perintah membaca dalam ayat ini dikaitkan dengan menyebut nama Allah, yang menunjukkan bahwa ilmu harus digunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya (Nasr, 1987). Ketiga, Allah sebagai sumber ilmu. Ayat ini menegaskan bahwa segala ilmu berasal dari Allah dan diberikan kepada manusia melalui kalam (pena), yang merupakan simbol utama dalam penyebaran ilmu pengetahuan (Al-Faruqi, 1982).
Hubungan Membaca dengan Pencarian Ilmu dan Penguatan Keimanan
Perintah Iqra’ dalam QS. Al-‘Alaq menegaskan bahwa membaca adalah jalan menuju ilmu pengetahuan, dan ilmu yang benar akan memperkuat keimanan seseorang. Dalam Islam, ilmu tidak hanya dianggap sebagai alat untuk memahami dunia, tetapi juga sebagai sarana untuk semakin mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah (Nasr, 1987).
Dalam sejarah Islam, para ulama dan cendekiawan Muslim menjadikan membaca dan menulis sebagai aktivitas utama dalam menuntut ilmu. Tradisi keilmuan Islam melahirkan berbagai pusat studi besar seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad dan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, yang menjadi tempat berkembangnya berbagai disiplin ilmu, dari tafsir hingga astronomi. Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya ilmu dengan sabdanya: "Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim, No. 2699).
Hadits ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu bukan hanya untuk kepentingan duniawi, tetapi juga bagian dari ibadah yang memiliki balasan di akhirat. Oleh karena itu, membaca dalam Islam bukan sekadar aktivitas akademik, tetapi juga merupakan bagian dari ibadah dan penguatan keimanan kepada Allah.
Iqra’ dan Tradisi Keilmuan Islam
Sejak awal penyebaran Islam, Rasulullah Saw telah memberikan perhatian besar terhadap budaya membaca dan menulis di kalangan para sahabat. Salah satu langkah awal yang diambil adalah mendorong para sahabat yang telah memiliki keterampilan membaca dan menulis untuk mengajarkannya kepada mereka yang belum bisa. Bahkan, dalam Perang Badar, Rasulullah Saw membebaskan tawanan perang dengan syarat mereka harus mengajarkan membaca dan menulis kepada kaum Muslimin (Azra, 2004).
Pada masa awal Islam, lembaga pendidikan seperti Kuttab dan masjid menjadi pusat pembelajaran utama bagi masyarakat Muslim. Kuttab adalah sekolah dasar tempat anak-anak belajar membaca, menulis, serta dasar-dasar ilmu agama. Sementara itu, masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan diskusi ilmiah, di mana para sahabat dan ulama berkumpul untuk belajar berbagai cabang ilmu (Nasution, 1995).
Islam juga memberikan dorongan besar terhadap ilmu pengetahuan dan penelitian. Rasulullah SAW sering menekankan pentingnya menuntut ilmu, sebagaimana sabdanya: "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim" (HR. Ibnu Majah, No. 224). Ajaran Islam tidak hanya menekankan ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu duniawi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia.
Keemasan Ilmu Pengetahuan dalam Peradaban Islam
Masa kejayaan Islam, yang berlangsung dari abad ke-8 hingga ke-14, merupakan periode di mana umat Islam mencapai puncak dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa ini, dunia Islam menjadi pusat intelektual dunia, dengan berkembangnya berbagai cabang ilmu seperti kedokteran, matematika, astronomi, dan filsafat.
Salah satu pusat keilmuan terbesar pada masa itu adalah Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan berkembang pesat di bawah kepemimpinan Al-Ma'mun. Baitul Hikmah berfungsi sebagai perpustakaan, pusat penerjemahan, serta lembaga penelitian yang menarik banyak ilmuwan dari berbagai wilayah (Nasr, 1987). Selain itu, Dar al-‘Ilm di Kairo dan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko juga menjadi pusat keilmuan yang penting dalam peradaban Islam.
Beberapa ilmuwan Muslim tersebut yang memberikan kontribusi besar dalam berbagai disiplin ilmu antara lain: pertama, Al-Farabi, filsuf Muslim yang dikenal sebagai Guru Kedua setelah Aristoteles, mengembangkan teori politik dan filsafat. Kedua, Ibnu Sina (Avicenna), yang karyanya Al-Qanun fi al-Tibb menjadi referensi utama dalam bidang kedokteran selama berabad-abad di dunia Islam dan Eropa. Ketiga, Al-Khawarizmi, bapak aljabar, yang mengembangkan konsep dasar dalam matematika yang masih digunakan hingga saat ini. Keempat, Ibnu Khaldun, pelopor sosiologi dan historiografi, yang dalam karyanya Muqaddimah menekankan pentingnya analisis sosial dalam memahami sejarah (Nasr, 1987).
Peradaban Islam pada masa keemasan menunjukkan bahwa Islam sangat mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan intelektual umat Muslim.
Tantangan dan Kemunduran Tradisi Keilmuan Islam
Setelah mencapai puncaknya, tradisi keilmuan Islam mulai mengalami kemunduran karena berbagai faktor. Salah satu penyebab utama adalah kolonialisme yang melemahkan struktur pendidikan Islam dan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Muslim (Azra, 2004).
Stagnasi intelektual dalam dunia Islam juga menjadi faktor lain yang menyebabkan kemunduran. Banyak umat Islam yang mulai mengabaikan tradisi berpikir kritis dan lebih mengandalkan taklid, yaitu menerima pendapat ulama terdahulu tanpa mempertimbangkan perkembangan zaman (Rahman, 1982).
Penurunan budaya membaca dan riset dalam masyarakat Muslim juga menjadi tantangan besar. Jika pada masa keemasan Islam umat Muslim memiliki ribuan manuskrip dan perpustakaan yang luas, saat ini minat baca di banyak negara Muslim masih tergolong rendah. Hingga akhirnya, dunia Barat berhasil melanjutkan tradisi keilmuan dengan membangun sistem pendidikan yang lebih maju dan berbasis riset.
Revitalisasi Budaya Membaca dan Keilmuan dalam Islam
Menghidupkan kembali tradisi keilmuan Islam di era modern merupakan tantangan sekaligus peluang bagi umat Islam dalam menghadapi perkembangan global. Tradisi keilmuan yang pernah berkembang pesat pada masa keemasan Islam perlu direvitalisasi agar tetap relevan dalam menjawab kebutuhan zaman. Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai upaya perlu dilakukan, terutama dalam memperkuat sistem pendidikan Islam, meningkatkan budaya literasi, serta memanfaatkan teknologi sebagai sarana penyebaran ilmu.
Salah satu langkah utama dalam membangkitkan kembali tradisi keilmuan Islam adalah memperkuat sistem pendidikan Islam yang berbasis riset dan inovasi. Lembaga pendidikan Islam harus berperan aktif dalam menanamkan budaya literasi dan mendorong generasi muda untuk terlibat dalam penelitian ilmiah. Menurut Al-Attas (1980), pendidikan dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk memperoleh keterampilan duniawi, tetapi juga membentuk karakter dan akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam harus mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum agar mampu menghasilkan ilmuwan Muslim yang unggul dalam berbagai bidang.
Selain itu, peran perpustakaan dan penerbitan buku Islam juga sangat penting dalam meningkatkan minat baca di kalangan umat Islam. Digitalisasi dan kemudahan akses terhadap sumber bacaan melalui internet dapat dimanfaatkan untuk mendukung perkembangan tradisi keilmuan Islam di era globalisasi (Nasution, 1995). Menurut Yusuf Qaradawi (1991), penyebaran ilmu pengetahuan dalam Islam harus disertai dengan pemahaman yang kritis terhadap teks-teks klasik dan modern agar umat Islam mampu menghadapi tantangan intelektual yang muncul dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks ini, perintah Iqra’ tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman. Membaca dan mencari ilmu merupakan bagian dari kewajiban agama yang dapat memperkuat posisi umat Islam dalam menghadapi perkembangan dunia modern. Menurut Fazlur Rahman (1984), Islam menekankan pentingnya akal dan ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk memahami wahyu dan realitas kehidupan. Oleh karena itu, umat Islam harus terus meningkatkan tradisi keilmuan dengan membaca, meneliti, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin.
Lebih lanjut, perkembangan teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan tradisi keilmuan Islam. Platform daring, jurnal ilmiah berbasis open-access, dan kursus pendidikan online dapat menjadi sarana efektif dalam menyebarkan ilmu dan memperluas akses terhadap pengetahuan. Menurut Esposito (2001), modernisasi dalam Islam harus mencakup aspek intelektual dan pendidikan agar umat Islam dapat bersaing dalam peradaban global tanpa kehilangan identitas keislaman mereka.
Dengan demikian, untuk menghidupkan kembali tradisi keilmuan Islam di era modern, umat Islam perlu memperkuat sistem pendidikan berbasis riset, meningkatkan budaya literasi, mendukung penerbitan dan digitalisasi buku Islam, serta memanfaatkan teknologi sebagai sarana penyebaran ilmu. Dengan upaya tersebut, diharapkan tradisi keilmuan Islam dapat kembali menjadi pilar utama dalam membangun peradaban yang maju dan berdaya saing tinggi.
Kesimpulan Dan Rekomendasi
Pentingnya membaca dalam Islam telah ditekankan sejak wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. Tradisi keilmuan Islam yang berkembang sejak masa Rasulullah Saw hingga era keemasan peradaban Islam menunjukkan bahwa umat Islam memiliki sejarah panjang dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Namun, tantangan modern seperti menurunnya budaya membaca dan melemahnya tradisi riset harus segera diatasi dengan berbagai upaya revitalisasi pendidikan Islam. Umat Islam perlu kembali kepada semangat Iqra’, menjadikan membaca dan menuntut ilmu sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Diharapkan, dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya ilmu, umat Islam dapat kembali memainkan peran strategis dalam perkembangan peradaban dunia.
*Mahasiswa Pascasarjana Universitas Mathla’ul Anwar Banten
Referensi
- 1. Al-Attas, S. M. N. (1980). The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC.
- 2. Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Herndon: International Institute of Islamic Thought.
- 3. Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya' Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
- 4. Azra, A. (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Prenada Media.
- 5. Esposito, J. L. (2001). Islam and the West: The Future of Dialogue and Conflict. Oxford: Oxford University Press.
- 6. Nasr, S. H. (1987). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
- 7. Nasution, H. (1995). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: Paramadina.
- 8. Qardawi, Y. (1991). Prioritas Gerakan Islam dalam Tahap Kebangkitan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
- 9 Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
- 10. Rahman, F. (1984). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
- 11. Shihab, M. Q. (2011). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an. Jakarta: Lentera Hati.