KH. AHMAD AMINUDDIN IBRAHIM, KIAI MODERAT YANG MENCINTAI KAMPUNG HALAMAN
Sumber Gambar :KH. AHMAD AMINUDDIN IBRAHIM,
KIAI MODERAT YANG MENCINTAI KAMPUNG HALAMAN
Oleh Atih Ardiansyah*
“Ketika saya hendak berangkat mengambil Master Sosiologi di Flinders University, Australia, ayahanda tidak berpanjang kalam. Satu saja yang beliau sampaikan: ‘Di sana jangan mabuk!’”
Nisa Alwis, putri (Alm.) KH. Ahmad Aminuddin Abdullah, begitu terkesan dengan pesan tersebut. Itu bukan pesan yang terlontar begitu saja. Diksi ‘mabuk’ yang disampaikan oleh pendiri Pondok Modern Darul Iman, Kadupandak, Banjar, Pandeglang itu tak melulu soal minuman khamr saja. Segala yang membikin mabuk dan ‘hilang akal’ memang sesuatu yang berbahaya. Termasuk dalam beragama.
KH. Ahmad Aminuddin Abdullah memang sosok yang moderat. Meskipun beliau lulusan Universitas Madinah, Saudi Arabia, yang secara geografis dan kelembagaan berafiliasi secara langsung dengan faham Wahabi, beliau tidak mabuk. Beliau tidak kaku sehingga ini dan itu menjadi bid’ah di matanya. Beliau justru menghargai kekayaan budaya nusantara sebagai potensi dan warisan yang harus dijaga dan dikembangkan.
Sikap moderat Kiai yang lahir pada 3 Juli 1949 dari pasangan (Alm.) KH Ibrahim dan (Alm.) Ibu Hj. Dones ini, terkait dengan pengalaman beliau sebelum berangkat ke Madinah, sebagai kader aktif Nahdlatul Ulama (NU) di tingkat pusat, dan sudah berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Sehingga beliau memiliki pertimbangan yang bijak melihat ajaran Islam sebagai konsep, dan keluwesannya dalam mengaplikasikan di berbagai konteks kehidupan.
“Pemikiran moderat ayahanda dapat terlihat dari bagaimana ia mendukung kuliah putra-putrinya di jurusan apa saja sesuai pilihan. Beliau tidak keberatan anaknya kuliah jurusan filsafat, jurusan musik, karawitan, aktif di klub teater, pecinta alam, mempelajari bahasa Perancis, gemar melukis dan lain-lain. Sama halnya dengan bagaimana beliau mendukung anak-anaknya yang lain untuk kuliah di Timur Tengah seperti Mesir, Saudi, Tunisia dan Libya.”
Ngindung Ka Waktu Ngabapa Ka Jaman
Meski berlatar belakang pondok salaf, lagi-lagi ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten (2002-2006, 2006-2010) ini tidak mabuk. Beliau begitu terkesan dengan konsep pesantren modern. Pondok Terpadu Darul Iman yang didirikan dan diasuhnya sejak tahun 1991 sampai dengan wafatnya pada 15 Desember 2015 pun mengadopsi gaya modern. Bahkan semua putra-putrinya, selepas SD semuanya masuk ke pesantren modern dengan harapan, ke depan, pengalaman putra-putrinya bisa menunjang perkembangan Darul Iman.
“Saya dan kakak ke Darunnajah, Jakarta. Adik saya, Holis, ke Ashidiqiyah, Jakarta. Eneng ke Almawaddah Gontor. Shalahuddin ke Al Amin, Madura. Ade ke Mantingan Gontor.”
Nisa Alwis menuturkan bahwa beliau adalah sosok pembelajar yang tidak mau ketinggalan zaman. Beliau sangat serius dan fokus dalam mengejar mimpinya. Saban malam, beliau tak pernah absen membaca kitab dan membuat catatan-catatan kecil. Itu hampir sama kerapnya dengan beliau belajar mengutak-atik program komputer seperti Microsoft Excel.
Sejak berkiprah sebagai pendakwah, KH. Ahmad Aminuddin Abdullah memiliki kecintaan pada Banten, terutama pada kampung halamannya yang masih tertinggal. Beliau bahkan menampik tawaran bekerja di tempat dan daerah lain bahkan di negeri tetangga yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Tak ada yang lebih menarik hatinya selain berkiprah untuk kampung halamannya. Memajukan bukan hanya di bidang pendidikan, tetapi juga ingin memajukan masyarakat secara mental, ekonomi dan kebudayaan.
“Pada pertengahan tahun 80-an beliau mungkin satu-satunya sarjana di kampung halaman kami. Kalau saat ini hampir di setiap rumah di kampung kami sudah ada sarjananya, itu buah dari pohon kesadaran yang dahulu beliau tanam dan rawat sehingga terus tumbuh sampai sekarang.” Tambah Nisa Alwis yang juga kerap menulis untuk media-media lokal di Banten dan juga media nasional.
Di balik kharisma, ketegasan sikap dan kelembutan tutur kata, Nisa Alwis mengenang ayahandanya sebagai sosok yang humoris dan easy going. “Beliau sering punya cerita lucu, atau bisa tertawa terpingkal-pingkal saat mendengar dan melihat anak cucunya melucu. Saat mulai sakit dan saya merawat ayahanda di rumah Serpong, beliau sangat relaks. Beliau merasa terhibur bahkan turut bernyanyi ketika kami sekeluarga melantunkan syair shalawat yang diiringi petikan gitar.”
Begitulah ulama, begitulah cendekia. Menjadi teladan, menjadi cerita baik saat dikenang.
*Dosen FISIP Untirta, Pendiri Cendekiawan Kampung