Khazanah Peninggalan Literasi Ulama Banten
Sumber Gambar :Oleh Edih Sarto*
Masyarakat Banten memiliki sejarah literasi yang kaya dan panjang. Salah satu bentuk literasi yang berkembang adalah kecakapan membaca dan menulis telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, dari sejak zaman dahulu. Kemampuan literasi ini tentunya memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan masyarakat Banten.
Jika kita ingin bernostalgia dengan Sejarah Banten apalagi masa pra Islam, kita bisa melihat bagaimana para ahli sejarah seperti Hosein Djajadiningrat yang fokus mengamati kedatangan Islam di Nusantara, atau lebih jauh lagi ada Friederich tahun 1850 yang melakukan penelitian sejarah Banten dan berkesimpulan bahwa, kalau mau bicara sejarah Banten kita juga harus bicara keberadaan gunung Pulosari katanya, yang disebut juga dengan Gunung Keramat. Pasalnya beberapa Arca seperti Shiwa Maha Dewa, Durga, Betara Guru, Ganesha dan Brahma ditemukan didekat sumber cipanas di puncak gunung tersebut, yang berangka tahun 10 M.
Lebih lanjut Friederich mengatakan bahwa, arca-arca yang ditemukan di gunung Pulosari berbeda dengan model arca yang yang berada di Kerajaan Pajajaran, ini menunjukan bahwa sejarah gunung Pulosari lebih kuno dibanding dengan Kerajaan Sunda yang beribukota di Bogor. Begitupun dengan pendapat ahli sejarah Banten lainnya yaitu Claude Guillot yang memberi banyak petunjuk tentang sebuah ibu kota Kerajaan kuno yang telah ada sebelum zaman Pajajaran.
Diceritakan bahwa ada hal-hal yang dilakukam Hasanudin begitu tiba di Banten. Dia melakukan sejumlah upacara di tiga gunung. Yaitu Gunung Karang, Gunung Aseupan dan Gunung Pulosari. Dari jejak-jejak literasi yang ditinggalkan bahwa dia tinggal di gunung ini selama sepuluh tahun bersama delapan ratus santri. Menurut para peneliti selama sepuluh tahun itu Hasanudin melakukan kegiatan dakwah. Gunung Pulosari menjadi pusat sasaran dakwah, karena di gunung ini masih ada turunan penguasa Hindu lama yang Bernama Brahmana Kandali, dan gunung tersebut menjadi pusat upacara ritual keagamaan. Jadi jauh sebelum Islam masuk ajaran Hindu sudah lebih dulu ada yaitu sekitar awal abad ke 4.yang ditandai dengan kehadiran Kerajaan Kutai Kartanegara yang Rajanya Bernama Kundungga.
Baru setelah itu Islam masuk ke Nusantara, sekitar abad ke 7, dan Islam masuk ke Banten diperkirakan awal abad ke 16. Tentu saja setelah beberapa daerah di Jawa sudah lebih dulu Islam seperti Gersik, Demak dan Kediri. Islam tersebar melalui dua jalur utama, yaitu jalur perdagangan dan jalur dakwah. Jalur perdagangan adalah jalur yang dilalui oleh para pedagang Muslim dari Arab, Persia, India, dan Malaka, yang datang ke Banten untuk berdagang dan menetap. Mereka membawa serta ajaran Islam dan mengajarkannya kepada penduduk setempat.
Sedangkan Jalur dakwah adalah jalur yang dilalui oleh para ulama dan wali dari Jawa, yang datang ke Banten untuk menyebarkan Islam dan mendirikan pesantren. Mereka juga membantu para pedagang Muslim dalam menghadapi tantangan dari penguasa Hindu-Buddha dan penjajah Eropa. Salah satu tokoh penting dalam jalur dakwah adalah Sunan Gunung Jati, yang merupakan salah satu dari Wali Songo yang menyebarkan Islam di Jawa. Sunan Gunung Jati lahir di Pasai, Aceh, pada tahun 1448. Ia belajar agama dari Syekh Ibrahim As-Samarkandi di Samarkand (Uzbekistan), kemudian kembali ke Aceh dan menikahi putri Sultan Malikussaleh. Pada tahun 1479, Sunan Gunung Jati berangkat ke Jawa untuk berdakwah. Ia singgah di Demak dan berguru kepada Sunan Ampel. Ia kemudian mendirikan pesantren di Cirebon dan menjadi raja pertama Kerajaan Cirebon. Ia juga membantu Fatahillah (atau Faletehan), seorang panglima perang dari Demak, dalam menaklukkan Sunda Kelapa (Jakarta) dari Portugis pada tahun 1527.
Setelah berhasil merebut Sunda Kelapa, Sunan Gunung Jati dan Fatahillah melanjutkan perjuangan mereka ke arah barat. Mereka menyerang Banten Lama, ibu kota Kerajaan Pajajaran, yang dipimpin oleh Prabu Surawisesa. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Islam dan pasukan Hindu-Buddha. Akhirnya, pada tahun 1527, Banten Lama jatuh ke tangan pasukan Islam.Sunan Gunung Jati kemudian menobatkan Hasanuddin (putra Fatahillah) sebagai raja pertama Kesultanan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin. Sunan Gunung Jati sendiri kembali ke Cirebon dan wafat pada tahun 1568. Makamnya berada di Gunung Jati, Cirebon.
Masuknya Islam ke Banten membawa perubahan signifikan dalam sejarah literasi. Islam membawa bersama sistem tulisan Arab dan Al-Qur'an sebagai teks utama. Seiring dengan masuknya Islam, pusat-pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam, seperti pesantren, menjadi penting dalam pengembangan literasi. Al-Qur'an dan literatur Islam menjadi fokus utama pendidikan dan membentuk dasar literasi di masyarakat.
Setelah Islam mengakar, masyarakat Banten mengalami perkembangan dalam bidang sastra dan kesusasteraan. Puisi, cerita rakyat, dan kisah-kisah Islami menjadi bagian integral dari literasi masyarakat. Naskah-naskah klasik Islam dan sastra lokal berkembang dan menjadi bagian warisan literasi yang kaya di Banten.
Perubahan sosial dan politik di Banten, terutama selama masa pertumbuhan Kesultanan Banten, memengaruhi perkembangan literasi. Peningkatan kompleksitas pemerintahan, administrasi, dan perdagangan melibatkan peningkatan dalam keahlian literasi di kalangan elit pemerintahan dan pedagang. Ketika kontak dengan bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda semakin meningkat, literasi di Banten juga mengalami perubahan. Hubungan dagang membawa masuk buku-buku dan literatur Eropa yang memperkaya literasi lokal. Namun, kontak ini juga membawa tantangan baru, seperti imperialisme budaya dan perubahan dalam struktur sosial.
Salah satu bukti dari pentingnya literasi dalam masyarakat Banten, adalah adanya karya sastra yang ditulis oleh para ulama Banten pada masa itu. Karya-karya sastra ini tidak hanya berisi ajaran agama Islam, tetapi juga berbagai macam cerita dan legenda yang merupakan warisan budaya masyarakat Banten. Buku-buku yang ditulis oleh para ulama tersebut tersebar luas di masyarakat sehingga membantu dalam penyebaran pengetahuan dan nilai-nilai yang mereka bawa.
Banten memiliki sejarah panjang dalam penyebaran Islam. Perjalanan para ulama Banten ketika belajar di Mekah mencerminkan komitmen mereka untuk mendalami ajaran Islam dan membawa pengetahuan tersebut kembali ke tanah air. Berikut adalah sebuah cerita yang menggambarkan perjalanan para ulama Banten saat belajar di Mekah:
Pada abad ke-17, sekelompok ulama dari Banten bertekad untuk mengejar ilmu agama Islam di kota suci Mekah. Mereka berangkat dengan semangat penuh, meninggalkan kenyamanan tanah air mereka untuk menempuh perjalanan panjang menuju pusat keilmuan Islam. Mereka berguru kepada ulama-ulama terkemuka, mendalami ilmu tafsir, hadis, fiqh, dan berbagai cabang ilmu agama. Tak hanya menuntut ilmu, para ulama Banten juga menjalani kehidupan sosial yang sederhana dan penuh ibadah. Mereka hidup di sekitar Ka'bah, menghabiskan waktu malam hari dengan khusyuk di masjid, dan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan amal di Mekah.
Setelah bertahun-tahun belajar dan beribadah, para ulama Banten memutuskan untuk kembali ke tanah air mereka. Namun, kepulangan mereka tidak hanya sebagai individu yang kaya ilmu, melainkan juga sebagai duta Islam yang membawa visi dan pemahaman yang mendalam. Mereka berjuang untuk menyebarkan ilmu dan nilai-nilai Islam di Banten, membangun pesantren, masjid, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk meneruskan warisan pengetahuan yang mereka peroleh di Mekah.
Perjalanan para ulama Banten di Mekah mencerminkan dedikasi mereka terhadap ilmu agama dan tekad untuk menyebarkan ajaran Islam di tanah air. Warisan keilmuan dan spiritualitas yang mereka bawa pulang menjadi landasan bagi perkembangan Islam di Banten dan membentuk watak masyarakatnya.
Beberapa bukti peninggalan literasi para ulama yang bisa disebutkan disini seperti :
- Syekh Nawawi al-Bantani (1631-1678) : Kitab al-Hidayah al-Kubra: Karya ini merupakan salah satu kitab fikih terkemuka yang membahas berbagai aspek kehidupan sehari-hari dengan pendekatan fikih yang kokoh.
- Syekh Abdul Muhyi (1609-1673) : Tafsir al-Mazhari: Sebuah tafsir Al-Quran yang dihasilkan oleh Syekh Abdul Muhyi, memberikan pemahaman mendalam terhadap ayat-ayat Al-Quran dengan konteks waktu dan tempat pada masa itu.
- Syekh Yusuf al-Makassari (1626-1699) : Tafsir al-Qurthubi: Merupakan tafsir Al-Quran yang ditulis oleh Syekh Yusuf al-Makassari, memberikan penjelasan tafsir yang mendalam dan ilmiah.
- Syekh Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (wafat 1675): Risalah al-Tarjamah: Sebuah risalah yang membahas berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik dengan pendekatan Islam.
- Syekh Hasanuddin (1642-1717) : Kitab al-Fath al-Rabbani: Sebuah kumpulan khutbah dan ceramah yang memberikan petunjuk tentang kehidupan beragama dan moralitas.
- Syekh Ahmad Qushashi (1673-1742): Risalah Tafsir al-Ibriz: Sebuah risalah tafsir yang memberikan penekanan pada aspek-aspek spiritual dan mendalamkan pemahaman terhadap Al-Quran.
- Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1668-1722): Risalah al-Nashihah: Sebuah risalah nasihat moral dan spiritual yang ditulis untuk memandu umat Islam dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari.
- Syekh Abdul Haq (1631-1703): Risalah al-Tawhid: Sebuah risalah yang membahas konsep tauhid (keesaan Allah) dan ajaran-ajaran pokok Islam lainnya, memberikan pemahaman yang kokoh dan mendalam.
- Syekh Abdul Fattah al-Banten (1641-1709): Tafsir al-Baydawi al-Mazhari: Sebuah tafsir Al-Quran yang menggabungkan pendekatan ilmiah dan spiritual, memberikan penjelasan komprehensif terhadap berbagai ayat Al-Quran.
- Syekh Abdul Qadir al-Banten (1649-1719): Kitab al-Tafsir al-Jalalain: Sebuah karya yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan metode Tafsir al-Jalalain, memberikan pemahaman yang jelas dan ringkas.
- Syekh Muhammad al-Amin al-Banten (1670-1734): Syair Perjuangan Melawan Penjajah: Seorang penyair ulung, Syekh Muhammad al-Amin menciptakan syair-syair yang memotivasi perlawanan terhadap penjajah dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan keberanian.
- Syekh Ibrahim al-Bajuri (1675-1748): Risalah al-Muqaddimah al-Jazariyyah: Sebuah risalah yang membahas ilmu tajwid, memberikan panduan praktis dalam membaca Al-Quran dengan baik dan benar.
- Syekh Muhammad Zain al-Banten (1685-1753): Kitab al-Tafsir al-Mazhari: Sebuah tafsir Al-Quran yang menggabungkan pemahaman hukum Islam dan konteks sosial pada masa Kesultanan Banten.
Nama nama ulama yang penulis sebutkan diatas, rata rata menulis kitab lebih dari tiga buah bahkan Syeikh Nawawi Al-Bantani memiliki karya tulis lebih dari seratus buah dan baru beberapa kitab yang sudah diterjemaahkan kedalam Bahasa Indonesia. Dan sampai hari ini kitab kitab beliau masih menjadi rujukan bagi para pelajar dirasah Islamiyah diseluruh dunia.
Karya-karya ulama Banten pada masa Kesultanan mencerminkan keberagaman tema yang melibatkan berbagai aspek kehidupan, seperti agama, moralitas, tafsir Al-Quran, dan resistensi terhadap penjajah. Karya-karya ini tidak hanya memiliki nilai intelektual, tetapi juga memiliki dampak mendalam pada pembentukan budaya dan identitas masyarakat Banten serta Indonesia secara keseluruhan.
Dengan adanya literasi yang sudah berkembang sejak zaman dahulu, masyarakat Banten pada masa itu mampu berkembang dalam berbagai bidang, baik dari segi pengetahuan maupun budaya. Peningkatan literasi ini juga membantu mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Para ulama dan intelektual Banten yang memiliki pengetahuan luas dan kemampuan dalam menulis turut serta dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu.
Selain itu, terdapat karya sastra yang berbentuk novel, sandiwara dan lainnya karya orang Eropa yang terkait dengan Banten, diantaranya adalah:
- Drama Love for Love kaya Willian Congreve (1670 – 1729) dalam kisah drama ini ada seorang anak muda yang berkehidupan boros, sampai ayahnya enggan untuk memberinya uang lagi, walau hanya sepintas disebut nama Banten dalam Drama ini, yang di asosiasikan sebagai sebuah tempat yang Makmur.
- The Court of King Bantam (1698) novel karya Aphra Jhonson Behn. Novel ini menceritakan ada seorang peserta pesta yang sombong dan sangat mengimginkan sanjungan dan pujian dari peserta pesta dengan menghambur hamburkan uangnya, setelah pesta usai orang orang memanggilnya dengan nama Raja Bantam (Banten) jadi Banten di Eropa sebagai tempat yang sangat Makmur.
- La Princessa de Java (1739) novel yang dirulis oleh Medeleine de Gomez, menceritakan kisah seorang pemuda dari sepanyol yang terdampar di Banten bernama Diego yang diselamatkan oleh masyarakat kemudian dia berteman baik dengan salah seorang sultan Banten dan keduanya mencintai seorang gadis yang sama.
- Agon Sulthan Van Bantam (1769). Ditulis oleh Onno Zwier Van Haren. Cerita sandiwara ini berisi lima babak dan menceritakan tentang perebutan kekuasaan sesama keluarga kesultanan Banten. Pesan yang disampaikan oleh sandiwara tersebut adalah, penulis cerita mengkritik kompeni Belanda yang tidak merasa hormat sedikitpun kepada masyarakat atau kesultanan Banten, sehingga mereka di adu domba untuk kepentingan kompeni Belanda.
Secara kesimpulannya, literasi masyarakat Banten sejak jaman dulu telah memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan masyarakat. Kecakapan membaca dan menulis ini membantu mereka dalam meningkatkan pengetahuan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus menghargai dan melestarikan literasi dalam masyarakat, sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dijaga dan disebarkan.
*penulis adalah Mahasiswa S2 Program Pendidikan Agama Islam Uiversitas Mathlalul Anwar Banten