LEGAL STANDING PERPUSTAKAAN DAN LITERASI DIGITAL DI ERA DIGITALISASI DALAM ASPEK YURIDIS

Sumber Gambar :

LEGAL STANDING PERPUSTAKAAN DAN LITERASI DIGITAL DI ERA DIGITALISASI DALAM ASPEK YURIDIS

Penulis : Rizal Hidayat*

 

ABSTRAK

Perpusatakan dan Literasi sangatlah penting di dalam perkembangan zaman dari sejak kecil dibangku sekolah kita selalu dituntut untuk membaca dan menulis atau literasi, kalo dihitung dari SD sampai SMA 12 tahun bergelut dengan buku, ditambah lagi jenjang perguruan tinggi yang lamanya empat tahun jadi keseluruhannya 16 tahun dan seterusnya, menuntut ilmu itu tak ada batasannya sampai akhir hayat untuk bekal dunia dan akhirat yang namanya menuntut ilmu kalo menurut keyakinan penulis “Tolabul Ilmi Faridhotun Ala Kulli Muslim artinya Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR. Muslim).

Melihat pada kondisi konkrit ini salah satunya Sulihah, umur 48 tahun sebagai pembantu rumah tangga yang tidak bisa baca atau buta huruf yang mengakibatkan sulit untuk mengenal lingkungan. Pada saat itu sulihah bekerja pada majikan yang beberapa tahun jarang pulang, ketika ia setiap kali pulang kampung ke halamannya ia selalu dibantu oleh anak majikannya untuk dipesankan tiket sebab akibat sulihah buta huruf sehingga menyulitkan dirinya dalam bearktivitas.

Maka disitulah sangat penting peran penyelenggara Pemerintah non Kementrian dalam hal ini Perpustakaan untuk memberikan solusi giat dalam mengembangkan literasi dan gemar membaca yang disajikan dari buku-buku yang berkualitas dan dilakukan secara konvensional maupun secara literasi digital agar fleksibel dengan perkembangan zaman di era digitalisasi ini, lalu perpustakaan mestinya harus melakukan upaya untuk mendorong meningkatkan sumber daya manusia dalam elemen - elemen masyarakat yang tujuannya yakni mencerdaskan kehidupan bangsa  sesuai dengan amanat Undang-Undang 1945 dalam pembukaan alinea ke empat.

Kata Kunci : Legal Standing Perpustakaan, Literasi Digital.

 

PENDAHULUAN

Dewasa ini Perpustakaan jarang sekali dijumpai pelajar, mahasiswa, aktivis, maupun dari berbagai elemen-elemen masayarakat dan lainnya, begitu pula literasi sekarang mulai terasa berkurang dikalangan masayarakat sehingga minat literasi tendensius menurun padahal dari situlah awal perubahan hidup, kendati keadaan di era digitalisasi ini kurang mengunjungi perpustakaan dan kurang berliterasi hal itu sangat wajar sebab di era yang serba canggih ini digitalisasi ada di genggaman tangan seperti handphone, laptop, dan lainnya bisa di ekploitasi untuk literasi digital.

Ironisnya pada perkembagan zaman sekarang ini dikalangan anak-anak, kalangan remaja, kalangan tua, banyak peluang untuk membaca di perpustakaan maupun di handphone yang seharusnya di manfaatkan untuk menggali keilmuan, membaca, menulis, tetapi malah di pakai untuk hal-hal yang tak berfaedah contoh salah satunya bermain tiktok sambil joget-jogetan dengan pakaian yang menonjolkan aurat sambil menggibah, mencemooh, bahkan berpotensi mengakibatkan keresahan, ketertiban, menimbulkan perselisihan sesama saudara, fitnah, ujar kebencian dll, tentu itu merupakan pelangaran terhadap norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum, serta asas kepatutan.

Maka masyarakat ini harus sungguh-sungguh di akomodasi oleh pihak Penyelenggara Pemerintah non Kementrian dalam hal ini Perpusatakaan harus melakukan secara intens ke arah literasi dan gemar membaca menjadikannya sebagai budaya, hobi kesehari - hariannya dengan pembimbing-pembimbing dari penyelenggara Pemerintah Cq  Perpusatakan secara hirarki serta diberikan buku-buku yang berkualitas. Agar setiap elemen masyarakat itu terlihat perkembangan potensi dan minat bakatnya untuk bisa dijadikan sebagai bibit atau cikal bakal generasi bangsa yang baik secara hard skill maupun soft skill nya dari situlah menurut pendapat penulis awal perubahaan yang tepat untuk progres bangsa dan negara kedepannya.  mengingat amanat konstitusi dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.” Artinya bahwa melindungi, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa atau rakyat yakni suatu kewajiban bagi pihak Penyelenggara Pemerintah Cq Lembaga Non Kementerian Perpustakaan secara hirarki untuk intens melakukan peningkatan literasi dan gemar membaca terhadap elemen - elemen masyarakat.

Upaya untuk meningkatkan budaya literasi, gemar membaca buku, dalam meningkatkan sumber daya manusia yang berkompeten dan berkulitas untuk bisa berintegrasi serta menumbuhkan konteks interaksi sosial yang baik dalam berbangsa dan bernegara, mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang tercantum didalam falsafah Pancasila sebagai warisan dari para pendiri bangsa, karena pada hakikatnya keberhasilan suatu bangsa dilihat dari perkembangan literasi, gemar membaca buku oleh karena itu Perpusatakaan harus mengakomodasi dan memberikan kesempatan terhadap  elemen-elemen masyarakat.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode normatif. dari fakta-fakta dilapangan dicari permasalahan yang muncul dalam literasi dan gemar membaca pada elemen-elemen masyarakat belakangan ini bukannya meningkat akan tetapi menurun Literasi dan Gemar membaca pada elemen-elemen masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah.

Metode penelitian yang digunakan pada saat ini mengacu pada Argumentasi Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa harus adanya keselarasan antara hukum yang tertulis (Law in The Book) dengan hukum yang ada didalam lapangan (Law in The Action). Dengan menggunakan metode ini penulis akan menguraiakan terkait masalah-masalah hukum yang ada pada fakta-fakta dilapangan dengan menyesuaikan hukum yang tertulis dan berlaku.

Membahas seputar permasalahan hukum yang ada kemudian  dilakukan secara metode pendekatan keadaan dan secara normatif yuridis. kemudian dari beberapa sumber-sumber hukum yang menurut teori dan asas-asas hukum sehingga bisa memberikan solusi-solusi yang dapat menyelesaikan masalah-masalah hukum.

Kemudian penulis akan memberikan solusi yang dimana solusi itu tidak bertentangan dengan hukum yang yang berlaku sehingga dapat memberikan jawaban setidak - tidaknya bisa menjawab permasalahan hukum yang ada didalam problemtika literasi dan gemar membaca, yang dimana selama ini pada fakta-fakta konkret mengenai melemahnya literasi dan gemar membaca dari berbagai elemen - elemen masyarakat yang kurang konsekuen dengan Undang-Undang No 43 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2014 Tentang Perpustakaan.

Sehingga elemen - elemen masyarakat yang dalam kategorinya buta aksara atau buta huruf pun harus mendapat perlindungan hukum dan tidak ada perbedaan siapa pun dimata hukum berdasarkan asas hukum yang ada di indonesia Equality Before Of The Law atau Semua Orang sama di Mata Hukum serta berdasarakan Pasal 27 Undang - Undang Dasar 1945 menegaskan “ Segala warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan serta wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahannya tanpa terkecuali.’’

Maka jangan sampai di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini mendiskreditkan terhadap individu - individu atau kelompok - kelompok buta aksara atau buta huruf, pihak penyelenggara Pemerintah non Kementerian dalam hal ini Perpustakaan harus bertanggung jawab terhadap elemen - elemen masyarakat yang masih buta aksara atau buta huruf baik anak-anak, remaja, orang tua, maupun orang tua usia berkelanjutan harus di berikan pemahaman literasi dan gemar membaca tanpa mengurangi rasa semangat dari amanat Falasafah Pancasila dan Undang-Undang 1945 serta nilai-nilai luhur para pendiri bangsa serta Norma - Norma Hukum, Asas - Asas Hukum, maupun Hukum kebiasaan yang hidup dalam masyarakat.

Legal Standing Perpustakaan

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan menyatakan bahwa “Perpustakaan adalah Institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka” kemudian pada ayat 2 menegaskan “ Koleksi Perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah dan di layankan” dari penjelasaan diatas jelas bahwa eksistensi Perpustakaan hadir untuk memenuhi pendidikan, penelitian, pelestarian informasi yang di layankan maksudnya untuk mengembangkan Literasi dan Minat Baca serta menginformasikan koleksi karya tulis, karya cetak, karya rekam secara profesional yang harus disalurkan dan di layankan ke warga masyarakat Indonesia khususnya dibidang pendidikan.

Kemudian Pasal 5 ayat 1 UU No.43 Tahun 2007 menyebutkan “Masyarakat mempunyai hak yang sama” pada huruf a “memperoleh layanan serta memanfaatkaan dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan” berdasarkan fakta hukum pada tanggal 25 Januari 2023, di Balai Desa Gambirmanis, permasalahannya yang Pertama Perpustakaan Desa belum mempunyai bangunan tersendiri yang memisahkan rak buku dengan pelayanan. Kedua, bahan pustaka belum dikelola dengan maksimal salah satunya belum mendapatkan inventarisasi buku dan label. pada permasalahan yang kedua itu titik permasalahnnya ada pada Sumber Daya Manusia (SDM) Desa, sebab mereka minimnya ilmu pengetahuan mengenai manajemen perpustakaan akibat kurangnnya penyuluhan dari penyelenggara Pemerintah non Kementrian dalam hal ini Perpustakaan secara hirarki. Ketiga, ekistensi Perpustakan di Desa tidak terpublikasi dengan baik sehingga tidak semua warga masyarakat mengetahui adanya Perpustakaan Desa, bagi penulis hal itu sangat prihatin dan menyayangkan pihak Perpustakaan kurang maksimal dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai salah satu unsur penyelenggara Pemerintah.

Jadi suatu hal yang wajar sampai sekarang masyarakat Indonesia tingkat literasi dan minat bacanya masih jauh dengan apa yang ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat 1 Huruf a UU No.43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, masyarakat belum benar-benar merasakan hak yang sama dari institusi perpusatakaan, sebab beberapa faktor tadi yang menjadi penyebab permasalahannya. Kemudian selanjutnya dijelaskan dalam  Pasal 7 Ayat 1 Huruf b UU No. 43 Tahun 2007 menyebutkan “Menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan Perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat” kemudian pada Huruf c menyebutkan pula bahwa “Menjamin ketersediaan layanan Perpustakaan secara merata di tanah air.” Faktanya tidak seperti itu,  Serta masih kurang selaras dengan Pasal 38 ayat 1 dan ayat 2. Pada fakta - fakta diatas yang penulis uraikan diatas bahwa Perpustakaan secara hirarki belum konsekuen dalam melaksanakan kewajibannya yang diatur berdasarkan Pasal 7 Huruf a, Huruf b, Huruf c dan Huruf f Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 Juncto Pasal 77 Huruf a, Huruf b, Huruf c, Huruf d  Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan.

Literasi Digital di Era Digitalisasi

Literasi ialah kemampuan menulis dan membaca dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sedangkan menurut Lucia Ratih Kusumadewi (Dosen Universitas Indonesia) bahwa literasi dikaitkan dengan kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca atau ditulis, selain itu dalam hal ini literasi sebaiknya dibangun atas dasar apa yang dikatakan Paulo Freire “Conscientisation” yaitu proses belajar yang bertujuan melahirkan “kesadaran kritis” individual atau kelompok yang bersifat otonom, memanusiakan, dan memerdekakan, artinya, literasi menyangkut pula sebuah proses penanaman metode berfikir yang dapat bermanfaat bagi pembangunan manusia.

Belakangan ini melihat fakta-fakta dan data yang konkret buta aksara atau buta huruf di Indonesia tahun 2017 yang lalu Mendikbud pada 8 September 2017 mencatat 27% atau 3,4 juta orang yang buta aksara atau buta huruf kemudian melihat pada sumber data Badan Pusat Satatistik (BPS) 4,50% atau 11,5 juta orang yang buta aksara atau buta huruf jadi perbedaanya sumber data dari Kemendikbud dengan Badan Pusat Statistik (BPS) empat kali lipat lebih besar.

Kemudian melihat pada data Persentase buta huruf di Indonesia sejak tahun 2013 (6,08%), 2014 (4,88%), 2015 (4,78%), 2016 (5,62%), 2017 (4,50%), dalam lima tahun terahir itu total penurunanya sekitar 1,5% saja,  kendati buta aksara atau buta huruf di Indonesia menurun, melihat pada fakta - fakta literasi di tanah air ini peringkat ke- 60 dari 61 negara dibawah negara Boswana dibawah Indonesia ada Thailand berdasarkan tingkat penelitian The World’s Most Literatur Study Tahun 2016  tolak ukur penelitian ini dilihat dari minat baca akses warga terhadap komputer, akses surat kabar akses perpustakaan dan sistem pendidikan di setiap negara.

Melemahnya literasi dan gemar membaca di Indonesia mengakibatkan Sumber Daya Manusia (SDM) tak berkualitas atau tak bermutu sehingga daya saing di berbagai bidang tatanan negara terkena dampaknya dalam persaingan globalisasi apalagi di era digitalisasi ini, kemungkinan bisa jadi Indonesia beberapa tahun kedepan akan dijajah oleh tekhnologi yang super canggih kedepannya, akan tetapi Indonesia masih bisa melakukan perubahan - perubahan secara berkala dengan memanfaatkan lembaga Pemerintah non Kementerian dalam hal ini Perpustakaan secara hirarki dengan harapan ada peningkatan literasi dan gemar membaca terhadapa elemen - elemen masyarakat yang tujuannya bangsa Indonesia bisa berasing di era digitalisasi ini secara global.

Sebenarnya semangat elemen - elemen masyarakat itu ada, akan tetapi harus dilakukan sentuhan agar passion literasi dan gemar membaca itu semangatnya muncul dalam dirinya masing-masing, tidak hanya itu sarana dan prasana serta infrastrukutur teknologi komunikasi informasi yang lainnya harus bisa mengakomodasi mendukung keadaan masyarakat pada pedesaan peloksok yang kurang terjangkau dalam mengikuti kegiatan literasi dan gemar membaca. sudah saatnya Perpustakaan menciptakan Literasi Digital yang bisa diakses di handphone untuk bisa literasi secara virtual tak hanya itu, juga memberikan referensi-referensi yang berkualitas, menjual buku-buku original dan berkualitas daripada elemen-elemen masyarakat membeli buku di marketplace yang belum tentu menjamin original atau tidaknya. Sekiranya menurut penulis jika itu dilakukan secara intens jelas akan membawakan perubahaan ke arah yang mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan individu - individu maupun kelompok - kelompok yang masih berada dalam kategori buta aksara atau buta huruf yang mengakibatkan sulitnya dalam beradaptasi di era digitalisasi ini.

Penyebab Literasi di Indonesia rendah, menurut Chairil Abidin (Dosen Universitas Indonesia) bahwa ada empat faktor yang menyebabkan tingkat Literasi Indonesia rendah diantaranya yakni :

-       Gizi buruk, melihat kebelakngan ini gizi buruk di Indonesia tahun 2013 mencapai 17,8% dan tubuh pendek (Stunting) naik menjadi 36,8%

-       Kualitas Pendidikan bahwa kualitas guru di indomesia masih rendah dariapada apa yang diharapkan, hasil uji komptensi belakangan ini pada tahun 2015 rata-rata 53,02%

-       Infrastruktur Pendidikan, di tanah air ini infrastruktur pendidikan masih kurang menjangkau seperti listrik, akses terhadap internet, teknologi komunikasi informasi.

-       Rendahnya Minat baca, bahwa menurut Chairil Abidin dulu sebelum kemerdekaan pelajar diwajibkan membaca 25 judul buku.

Solusi meningkatkan Literasi di Indonesia ialah meningkatkan masalah gizi buruk sedini mungkin, merekrut dan meningkatkan kualitas guru, membangun dan meningkatkan infrastruktur pendidikan, memasukan kembali buku bacaan wajib kedalam kurikulum untuk meningkatkan Literasi dan minat baca pada elemen-elemen masyarakat.

Menurut Lukman Solihin (Peneliti Kemendibud) bahwa ada tiga hal yang menunjukan akses terhadap buku sulit di Indonesia, yang pertama adalah jumlah Perpustakaan Sekolah yang baru memenuhi sekitar 61,45% dari 147.503 sekolah, lalu Perpustakaan Desa 30% dari 77.95 Desa / Kelurahaan tetapi Perpustakaan hanya 20% saja padahal Pemerintah sudah meningkatkan  biaya operasional sekolah dari 5% ke 20% untuk pengembangan Perpustakaan tapi dana habis untuk membeli buku pelajaran saja dan akibatnya itu bisa berpengaruh pada minat baca anak sebab buku-buku yang tersedia tak bervariatif, begitu pula Perpustakaan Desa pun hanya terealisasi 30% saja.

Perkembangan di era digitalisasi sekarang justru berbalik arah  terasa meningkat sejak tahun 2015 sampai sekarang dari berbagai kalangan elemen-elemen masyarakat Indonesia, sebagian individu-individu atau kelompok-kelompok masih ada yang gemar membaca dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi melalui handphone, mengupdate kondisi-konidisi melalui media sosial atau medsos seperti facebook, twitter, instagram, menonton youtube, searching google dalam mencari ilmu pengetahuan secara global karena itu mudah diakses beda halnya dengan membeli buku yang berkualitas jarang sekali ditemui di pedesaan tetapi sayangnya infrastrukutur teknologi komunikasi informasi di pedesaan yang pelosok masih mengalami berbagai kendala sinyal, itu menjadi catatan yang signifikan bagi Penyelengara Pemenerintah non Kementrian dalam hal ini Perpustakaan secara hirarki untuk membangun infrastrukur di bidang teknologi komunikasi informasi.

Maka menurut pendapat penulis disitulah Perpustakaan secara hirarki harus hadir melakukan penyeluhan-penyeluhan secara intens ke masarakat khususnya masyarakat yang buta aksara atau buta huruf, mentransformasikan ilmu pengetahuan, mengakomodasi buku-buku yang berkualitas dan biaya ringan, serta referensi-referensi dari para ahli yang terkemuka di tingkat nasional maupun internasioal dan harus terbuka secara umum. Tak hanya itu Perpustakaan harus melihat pada perkembangan era digitalisasi ini secara global dengan memperhatikan masayarakat yang tidak mampu, jadi bagi masyarakat yang tidak mampu Literasi harus dilakukan secara konvensional kemudian bagi masyarakat yang sekiranya mampu mestinya Perpustakaan menciptakan Literasi secara Digital agar dalam kegiatan itu menyelaraskan dengan perkembangan era digitalisasi 5.0 sebab jika tak dilakukan maka masyarakat primitif akan tenggelam oleh perkembangan yang super canggih ini.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan :

1.    Legal Standing Perpustakaan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, Eksistensi Perpustakaan hadir untuk memenuhi pendidikan, penelitian, pelestarian informasi yang di layankan maksudnya untuk mengembangkan Literasi dan Minat Baca serta  pelayanan pada elemen-elemen masyarakat khususnya masyarakat yang kategori buta aksara atau buta huruf, diberikan pelayanan yang baik, diberikan bimbingan, serta dipublikasikan sebagaimana mestinya. Pasal 5 ayat 1 UU No.43 Tahun 2007, Masyarakat mempunyai hak yang sama, pada huruf a memperoleh layanan serta memanfaatkaan dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan. Pasal 7 Ayat 1 Huruf b UU No. 43 Tahun 2007 menyebutkan menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat, Huruf c disebutkan juga bahwa Menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di tanah air. Pasal 77 Huruf a, Huruf b, Huruf c, Huruf d  Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang - Undang No, 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. secara yuridis masyarat diberikan pelayanan yang baik, dibentuk menjadi cerdas dan mendapatkan hak yang sama serta mendapatkan fasilitas yang sama dan Perpustakaan mempunyai kewajiban terhadap tanggungjawab pelayanan dan pembimbingan terhadap masayarakat.

2.    Dewasa ini di era digitalisasi 5.0 sudah saatnya Perpustakaan menciptakan inovasi - inovasi Infrastruktur komunikasi informasi secara digital, sehingga membangun literasi yang dilakukan tidak hanya secara konvensional akan tetapi dilakukan juga dengan versi modern yaitu Literasi Digital selaras dengan perkembangan digitalisasi, serta membuat layanan e-commerce dan markerplace untuk menyediakan variatif kebutuhan masayarakat di bidang Perpustakaan.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Binas Bangsa. email : rizalhdyt175@gmail.com

 

REFERENSI

Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan.  Pasal 77 Huruf a, Huruf b, Huruf c, Huruf d  Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No, 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri 2005, Argumentasi Hukum, Yogyakarta: UGM Pers. Youtube NarasiTv Buka Data. m.kumparan.com, Artikel Inggar Dwi Oktafiani, Optimalisasi Ds. Gambirmanis edukasi Balai Desa. Badan Pusat Statistik (BPS). Data Mendikbud 8 September 2016/2017. Artikel Lucia R Kusumadewi (Dosen UI) Pengertian Literasi, Artikel Chairil Abidin (Dosen UI) Faktor Lemahnya Literasi Situs The Conversastion.com. 


Share this Post