Lemahnya Budaya Baca Kita
Sumber Gambar :Lemahnya
Budaya Baca Kita
Oleh
Edih*
Akhir-akhir ini kita
sering mendengar istilah literasi, dimana-mana diselengarakan kegiatan yang berhubungan dengan lterasi.
Sebetulnya apa sih literasi. Secara
sederhana literasi berarti kemampuan dan
keterampilan individu dalam membaca,
menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlain
tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari hari.
Harus diakui bahwa budaya literasi masyarakat kita sangat
menghawatirkan, dibanding dengan bangsa lain seperti Amerika, Eropa termasuk
dikawasan Asia Tenggara sendiri. Masyarakat kita masih kalah jauh dengan
kebiasaan membaca masyarakat Singapura, Jepang bahkan Malaysia. Penulis yakin dengan istilah “Buku Adalah Jendela
Ilmu”, karena dengan membaca seseorang akan menjadi lebih banyak ilmu yang
didapat, yang pada akhirnya akan menjadi bekal bagi kehidupannya. Sebuah bangsa
yang cinta baca maka secara otomatis akan membawa bangsa tersebut lebih cepat maju dalam berbagai sisi kehidupan
dibanding dengan masyarakat yang tidak suka baca.
Penduduk Indonesia yang
lebih dari 80% adalah muslim, mestinya
sadar bahwa ajaran agamanya mewajibkan baik laki-laki maupun perempuan untuk
membaca atau menuntut ilmu. Lihat misalnya surat pertama Al-Qur’an yang
diturunkan yaitu surat al Alaq ayat 1 sampai 5 yang diawali dengan “bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu”.
Indonesia adalah Negara
yang minat dan kebiasaan membaca buku penduduknya rendah. Demikian hasil riset
UNESCO tahun 2012 yang menempatkan Indonesia dipringkat ke 60 dari 61 negara
didunia dalam Indeks Tingkat Literasi
PSA (Programme for Internationla Student)
yang melakukan penelitian serupa dengan
hasil dari 72 negara, Indonesia menduduki peringkat ke 64
dalam tingkat literasi penduduknya.
Kedua riset itu
dilakukan beberapa tahun lalu. Adapun hasil penelitian terbaru oleh
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
pada tahun 2017 menyebutkan bahwa rata
rata orang Indonesia hanya membaca buku
3-4 kali perminggu dengan durasi membaca 30-59 menit, sedangkan jumlah buku
yang ditamatkan per tahun rata rata
hanya 5-buku.
Data tersebut
menggambarkan bahwa masyarakat kita
memang pada saat ini masih jauh dari kecintaan terhadap membaca, apalagi
menuliskannya dalam bentuk ide atau gagasan yang bisa memberikan inspirasi
kepada pembacanya. Jika kita baca buku sejarah, bagaimana minat baca dan
menulis para ulama terdahulu, sungguh malu rasanya, sebab membaca bagi mereka
adalah kegiatan yang sangat mulia, dengan membaca ia dapat mengetahui sesuatu
yang belum ia ketahui.
Selain itu orang yang
rajin membaca akan pandai dalam berbicara, karena tutur kata apa yang dia
sampaikan akan sangat sederhana, tidak berbelit belit dan mudah dipahami.
Karena dia sudah terbiasa dengan membaca kalimat yang sistematis, struktur dan kaya dengan perbendaharaan kata. Semua
akan sangat setuju dengan kalimat yang mengatakan bahwa kunci sukses menulis
adalah banyak membaca.
Dalam Ajaran agama kita
seperti penulis sebutkan diatas, perintah yang pertama kali diturunkan kepada
Nabi Muhammad adalah bukan solat dulu atau zakat dulu, tapi perintah untuk
membaca, Dalam sebuah tulisannya Ibnu Qoyyim berkata ‘ayat ini cukup menjadi
bukti kemuliaan ilmu, yaitu Allah memerintahkan Nabi-Nya agar meminta tambahan
ilmu pengetahuan.
Maka tidak heran
misalnya para ulama seperti Ibnul Jauzi pernah membaca 200.000 jilid buku, dan
beliau berkata ‘aku tidak pernah kenyang membaca buku jika menemukan buku yang
belum pernah aku lihat maka seolah- olah aku mendapatkan harta karun. Aku pernah
melihat katalog buku buku wakaf di Madrasah An-Nidhamiyah yang terdiri dari
6000 jilid buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah Al Humaidi, Abdul
Wahab bin Nashir dan yang terakhir Abu Muhammad Bin Khasyyah. Aku pernah
membaca 200.000 jilid buku lebih dan sampai sekarang aku masih terus mencari
ilmu. Sementara itu Imam Muhammad bin Ya’kub Fairuz Abadi pernah berkata ‘Aku
telah membeli berbagai buku seharga 50.000 misqal emas ‘ (ukuran 1 misqal =
4,25 gram emas).
Tidak kalah
membanggakan ulama asal Banten yaitu Syech Muhammad Nawawi Al Jawi Al Bantani
yang lahir pada tahun 1230 Hijriyah atau 1815 Masehi, beliau menulis kitab
sebanyak 115 buah, yang terdiri dari kitab Tasauf, Tauhid, Fikih dan lain-lain.
Menurut seorang orientalis Belanda yang bernama Snouck Hurgronje, dalam
tulisannya mengatakan bahwa kehidupan Syech Nawawi dihabiskan dengan membaca
buku, mengajar dan menulis. Dan kitab kitab yang beliau tulis menjadi rujukan
para pelajar tentang keislaman diseluruh dunia. Pertanyaannya adalah, apakah
kita sebagai orang Banten sudah mewarisi tradisi literasi Syech Nawawi?
Ternyata, masyarakat kita tidak mewakili kecintaan terhadap membaca dan
menulis.
Masyarakat kita bahkan
masih tetap kental dengan budaya lisan dan budaya dengar, yang pada gilirannya
sudah barang tentu akan menjadi hambatan utama di dalam membangun masyarakat
yang berperadaban tinggi, dimana semangat membaca dapat dijadikan sebagai
aktivitas hidup yang membanggakan.
Fakta “ketinggalannya
kita dari bangsa-bangsa di dunia” ditunjukkan dengan masih bertenggernya
Indonesia di Peringkat 107 dunia dalam Human Development Index UNDP (United Nation Development Program) pada
tahun 2007-2008 sehingga negera ini tergolong dalam Negara dengan Pembangunan sumber
daya manusia (SDM) Menengah (Medium Human
Development). Ini berarti peningkatan kualitas SDM mutlak dilakukan bila
ingin sejajar atau bahkan lebih baik dari negara-negara maju lainnya.
Sudah menjadi
pengetahuan umum lambannya kemajuan bangsa ini adalah akibat rendahnya minat baca dan menulis. Kondisi
memprihatinkan ini secara tepat digambarkan oleh budayawan Taufiq Ismail, beliau berkata bahwa bangsa ini memiliki 2
kekurangan mendasar, yaitu hilangnya budaya baca dan mengarang. Indonesia
tertinggal 59 tahun dibanding negara lain dalam hal membaca buku di sekolah dan
pelajaran mengarang. “Di masa AMS (sekolah setingkat SMA di masa Belanda)
seorang anak didik diwajibkan membaca 25 buah buku dalam tiga tahun dan menulis
36 karangan dalam setahun. Sekarang, anak SMA hanya diwajibkan menulis satu
buah karangan dalam setahun dan membaca buku tidak ada,” ungkapnya.
Rendahnya minat baca
masyarakat kita juga bisa dilihat dari
menurunya oplah Koran baik yang berskala nasional seperti koran Kompas,
Republika, Media Indonesia maupun Koran lokal, seperti Radar Banten, Kabar
Banten dan lain lain. Penurunan dari 4,5 juta eksemplar menjadi 3,5 juta
eksemplar, hal ini terjadi bukan hanya dikarenakan rendahnya minat baca, tapi
digantikan oleh keberadaan HP, yang bisa memberikan informasi secara praktis
dan mudah. Sementara itu ketersediaan buku buku di Indonesia juga sangat
terbatas. Terus terang penulis suka kesulitan dalam mencari buku buku disekitar
wilayah provinsi Banten meskipun di tempat-tempat yang dekat dengan kampus yang
idealnya banyak terdapat banyak buku dari berbagai disiplin ilmu, tapi nyatanya
tidak ada satu toko bukupun di provinsi ini yang cukup lengkap, penulis hanya
bisa dapatkan buku buku tersebut di perpustaakaan Pemerintah Daerah Provinsi
Banten, diperpustakaan ini penulis bisa dapatkan bahan bahan bacaan terutama
buku sejarah sesuai dengan mata pelajaran yang penulis ampu. Langkanya toko
buku yang lengkap adalah indikasi bahwa bisnis buku di provinsi ini tidak
menguntungkan karena minat masyarakat terhadap buku sangat memprihatinkan.
Jika kita bandingkan
dengan negara lain, Indonesia yang jumlah penduduknya sekitar 220 juta jiwa hanya
mampu menerbitkan 10.000 judul buku baru
pertahun. Vietnam dengan 80 juta jiwa
menerbitkan 15.000 judul buku baru pertahun, Malaysia yang penduduknya
hanya 26 juta jiwa mampu menerbitkan
buku baru sebanyak 10.000 judul buku baru pertahun.
Jika kondisi ini terus
dibiarkan, selamanya bangsa ini akan ketinggalan, hanya menjadi bangsa
pecundang dan tidak akan pernah dapat hidup sejajar dengan bangsa maju lainnya.
Lantas, bagaimana membuat bangsa Indonesia memiliki budaya membaca dan menulis?
Membangun Budaya Membaca
Membangun budaya atau
kebiasaan membaca, bukan perkara yang mudah. Bukan persoalan hanya menyediakan
buku-buku, majalah, fasilitas, gedung, dan ruangan, tetapi ada yang lebih
penting dari itu, yaitu membangun budaya baca, belajar dan menulis. Itu artinya
membangun pemikiran, prilaku, dan budaya dari generasi yang tidak suka membaca,
menjadi generasi yang cinta baca.
Melihat segala
realitas masyarakat, terutama masyarakat Banten yang “sumeh” membaca, dibutuhkan upaya upaya kongkrit dan strategis untuk
menciptakan masyarakat yang gemar membaca (reading
society), upaya upaya tersebut diantaranya adalah; Pertama: dibutuhkannya
komitmen Nasional yang dituangkan dalam sebuah kebijakan pemerintah (Political Will), atas budaya baca dan
tulis. Selama ini hampir tak pernah terdengar adanya langkah kongkrit dari
pemerintah untuk menciptakan reading society.
Kecuali di tahun 1986 terdapat gerakan Peningkatan Minat Baca (GPMB), namun
gerakan ini hanya tinggal angan-angan tanpa hasil yang nyata. Begitupun
Gubernur Banten Wahidin Halim waktu kampanye pemilihan Gubernur, beliau
berjanji akan membangun empat ribu buah perpustakaan diseluruh wilayah provinsi
Banten, lagi-lagi ini seperti illusi.
Untuk persoalan budaya
baca, tidak ada salahnya kita belajar dari negeri Matahari Terbit, Jepang.
Negeri ini terbukti sukses menerapkan kebiasaan baca sejak usia dini, melalui
gerakan “20 minute Reading of Mother and
Child”. Gerakan ini meniscayakan seorang ibu untuk membacakan anaknya
sebuah buku, yang dipinjam dari perpustakaan umum atau sekolah 20 menit sebelum
anaknya pergi tidur. Berbeda dengan di Indonesia kalau anaknya susah tidur
diceritakan dongeng-dongeng horor yang nantinya membuat anak menjadi penakut
dan berfikir irrasional.
Jepang akhirnya
menjadi kekuatan baru di dunia, selain Amerika dan Negara maju lainnya. Sudah
saatnya kita mulai merubah tradisi tutur menjadi budaya tulis. Tidak gampang
memang melakukan perubahan secara revolusioner, apalagi saat ini anak-anak kita
sudah masuk ke era digital. Kita langsung melompat dari tradisi mendongeng ke tradisi menonton,
sebelum terbiasa dengan tradisi membaca dan menulis. Maka tidak heran jika
masyarakat kita terutama anak anak merasa asing dengan yang namanya buku.
Kedua. Membuat sebanyak mungkin perpustakaan,
pengadaannya mulai dari pusat kota, daerah bahkan ke peloksok peloksok pedesaan.
Mulai dari perguruan tinggi, SLTA, SMP, SD sampai ke TK. Begitupun dengan
kepemilikinya, mulai dari perpustakaan pemerintah, sampai swasta atau mandiri.
Dan akan lebih baik lagi jika perpustakaan pemerintah maupun swasta yang mandiri ini jika jejaringnya diintegrasikan
dengan pengembangan bentuk bentuk aplikasi model perpustakaan modern yang
berbasis digital, seperti pembentukan e-library yang menyediakan bacaan, artikel,
buku hingga jurnal dalam bentuk online yang bisa diakses kapan saja dimana saja
dan oleh siapa saja.
Ketiga, tersedianya buku murah. Seperti yang
kita tahu harga buku di Indonesia tergolong mahal, maka tak heran jika tidak
ada sebahagian orang yang ingin memiliki buku Cuma bisa gigit jari karena tidak
mampu beli. Jikapun bisa pada umumnya para mahasiswa seperti yang penulis alami
memfoto copy buku yang akan dibaca karena memang harganya tidak terjangkau,
tapi tindakan seperti ini adalah illegal dan melanggar hukum. Maka jalan
keluarnya pemerintah dituntut untuk bisa menyediakan buku murah yang bisa di
akses oleh tiap lapisan masyarakat baik dengan cara memberikan subsidi ataupun kebijakan lainnya.
Factor lainnya yang tidak boleh dilupakan
adalah factor kesejahteraan dan pendidikan masyarakat. Jika ekonomi sebuah
masyarakat lemah atau miskin, maka sulit untuk mengajak mereka membaca, hal
yang paling menarik buat nereka adalah bagaimana bisa bekerja dan bisa
mendapatkan upah demi kelangsungan hidup, bukan dengan membaca buku. Membaca
bagi golongan masyarakat seperti ini tergolong mewah, dan tidak terlalu
penting.
Hal ini sejalan dengan yang dirilis UNESCO
dalam laporannya (Literacy for Live, 2005), bahwa, minat baca masyarakat yang
tinggal dinegara Negara miskin cenderung rendah.
Begitu pula dengan
tingkat pendidikan. Tingginya pendidikan yang diperoleh seseorang memiliki
pengaruh yang sangat besar bagi meningkatnya minat baca. Logikanya adalah
semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kesadaran akan
pentingnya informasi, ilmu dan pengetahuan. Ketiga hal tersebut dapat diperoleh
melalui kegiatan membaca.
Membaca menurut Nadeak
(2005) adalah sebuah aktifitas kreatif, saat membaca seseorang berdialog dengan
dirinya sendiri, dengan tokoh yang terdapat dalam bacaan, saling mengasah
intelektual dengan pengarang dalam bayang- bayang rasa ingin tahu, terciptanya
sanggahan kritis untuk meluruskan kegelisahan dan menjaring gagasan baru.
Dengan membaca, seseorang secara intelektual berguru kepada warisan pengarang
masa lampau untuk membentuk dunianya pada masa yang akan datang
Membaca adalah
kegiatan menafsir makna dari kata yang tidak hanya konvensional, tapi juga
makna yang belum terkatakan., seuatu yang tersirat. Sejumlah tanda tanda
pemahaman diperlukan, sebagai sarana
untuk menggali sesuatu yang tersirat. Yang pada giliranya
melahirkan pemahaman baru dan menindai
simpul-simpul pemahaman.
Untuk memiliki budaya
membaca tentu saja tidak semudah membalikan telapak tangan. Ada pepatah yang
mengatakan we first make our habits, than
our habits make us. Sebuah watak akan muncul, jika kita membentuk kebiasaan
terlebih dahulu. Artinya bila kita ingin masyarakat memiliki kegemaran membaca
maka membaca harus dibiasakan sejak dini. Seperti sebuah investasi, hasilnya
baru akan terlihat setelah lima atau sepuluh tahun kedepan. Namun jaminan
generasi pembelajar, pembaca, penulis yang cerdas dan siap dengan masa depan
yang penuh dengan tantangan akan kita miliki. Dengan demikian bangsa Indonesia
akan diisi oleh manusia manusia yang kreatif dan berdaya saing tinggi. Dan ini
adalah modal untuk menjadi sebuah bangsa yang maju.
*Guru Madrasah Aliyah Mathla’ul Anwar Kepuh,
Cinangka Kab. Serang