Literasi Keagamaan : Moderasi Beragama dalam Perspektif Multikultural

Sumber Gambar :

Oleh: Aceng Murtado*

Latar Belakang

Banten dikenal sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keberagaman agama dan budaya yang cukup tinggi. Sejarah panjang Kesultanan Banten menjadikan Islam sebagai agama mayoritas di wilayah ini, namun keberadaan komunitas agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu tetap memiliki ruang dalam kehidupan sosial. Selain itu, keberagaman etnis seperti Sunda, Jawa, Betawi, dan Tionghoa semakin memperkaya dinamika sosial di Banten. Keberagaman ini menjadi aset berharga dalam membangun harmoni sosial, tetapi juga menghadirkan tantangan dalam menjaga toleransi dan menghindari konflik berbasis identitas (Azra, 2005).

Dalam konteks ini, moderasi beragama menjadi konsep penting untuk menjaga keseimbangan antara keyakinan individu dan keterbukaan terhadap perbedaan. Moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan praktik keagamaan yang tidak ekstrem, baik dalam bentuk radikalisme maupun liberalisme yang berlebihan. Prinsip ini diperlukan agar masyarakat Banten dapat hidup berdampingan dalam keragaman tanpa prasangka atau diskriminasi (Kementerian Agama RI, 2021). Namun, masih terdapat tantangan dalam mengimplementasikan moderasi beragama, seperti eksklusivisme kelompok tertentu, minimnya pemahaman terhadap agama lain, serta pengaruh media sosial yang sering kali memperkuat narasi intoleransi (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2019).

Salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk membangun toleransi di tengah keberagaman adalah melalui literasi keagamaan. Literasi keagamaan tidak hanya berfokus pada pemahaman ajaran agama sendiri, tetapi juga pada keterbukaan untuk memahami keberagaman agama lain dengan sikap saling menghormati. Dengan meningkatkan literasi keagamaan, masyarakat dapat memahami bahwa setiap agama pada dasarnya mengajarkan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan kebersamaan (UNESCO, 2017).

Di Banten, literasi keagamaan dapat diperkuat melalui berbagai program pendidikan dan dialog lintas agama. Perguruan tinggi seperti UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten telah mengembangkan program Moderasi Beragama yang memberikan pemahaman Islam yang inklusif kepada mahasiswa dan masyarakat. Selain itu, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Banten aktif mengadakan dialog antaragama untuk memperkuat hubungan sosial di antara pemeluk agama yang berbeda. Di tingkat komunitas, para tokoh agama juga memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat tentang pentingnya hidup dalam keberagaman dengan penuh toleransi (FKUB Banten, 2022).

Dengan memperkuat literasi keagamaan, masyarakat Banten dapat lebih memahami bahwa perbedaan agama bukanlah penghalang untuk hidup harmonis. Membangun toleransi di Banten melalui literasi keagamaan menjadi langkah strategis dalam mewujudkan kehidupan beragama yang damai dan harmonis di tengah masyarakat yang multikultural.

Konsep Moderasi Beragama dalam Perspektif Multikultural

Moderasi beragama adalah sikap yang mengedepankan keseimbangan dalam beragama, menghindari ekstremisme, dan menghargai keberagaman (Kementerian Agama RI, 2021). Dalam masyarakat multikultural seperti di Indonesia, termasuk di Banten, moderasi beragama menjadi penting untuk menjaga keharmonisan sosial dan mencegah konflik berbasis perbedaan agama atau budaya (FKUB Banten, 2022).

Secara umum, moderasi beragama dapat dipahami sebagai cara pandang dan praktik beragama yang menekankan toleransi, inklusivitas, dan keseimbangan. Kementerian Agama RI (2021) mendefinisikannya sebagai sikap keberagamaan yang mengambil jalan tengah, tidak condong pada ekstrem kanan yang cenderung radikal, maupun ekstrem kiri yang terlalu liberal. Sikap moderat ini memungkinkan individu untuk tetap berpegang teguh pada keyakinannya, namun tetap menghormati dan menghargai keberadaan agama serta keyakinan lain (Wahid, 2015).

Dalam konteks masyarakat multikultural, moderasi beragama menjadi landasan utama dalam membangun kehidupan sosial yang harmonis. Masyarakat dengan latar belakang agama, etnis, dan budaya yang beragam perlu memiliki prinsip-prinsip moderasi agar interaksi sosial tidak menimbulkan konflik (Abu-Nimer, 2001). Prinsip-prinsip moderasi beragama dalam masyarakat multikultural meliputi toleransi, keadilan, keseimbangan (wasathiyah), dialog antaragama, serta mengutamakan nilai kemanusiaan (UNESCO, 2017).

Toleransi dalam hal ini bukan berarti menghilangkan identitas keagamaan masing-masing individu, melainkan menciptakan ruang yang memungkinkan setiap orang menjalankan keyakinannya dengan damai (Kementerian Agama RI, 2019). Prinsip keadilan juga harus dijunjung tinggi, di mana semua kelompok agama memiliki hak yang sama dalam menjalankan ajaran agamanya tanpa diskriminasi. Selain itu, keseimbangan dalam beragama sangat ditekankan agar tidak muncul sikap ekstrem yang merugikan kehidupan sosial (Wahid, 2015).

Moderasi Beragama dalam Perspektif Islam dan Agama Lainnya

Dalam Islam, moderasi beragama dikenal dengan konsep wasathiyah, yang berarti keseimbangan. Al-Qur’an menegaskan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan (umat yang pertengahan), yang tidak cenderung ke arah ekstremisme maupun kelonggaran berlebihan (QS. Al-Baqarah: 143). Konsep ini juga ditekankan dalam berbagai hadis Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan pentingnya sikap moderat dalam beragama (Kementerian Agama RI, 2019).

Sikap moderasi juga ditemukan dalam berbagai agama lain. Dalam Kristen, ajaran kasih dan perdamaian menjadi inti dari sikap moderat. Yesus Kristus mengajarkan kasih kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan agama (Vatican Council II, 1965). Dalam ajaran Hindu, konsep moderasi muncul dalam ajaran Ahimsa (tidak menyakiti) serta keseimbangan hidup yang dijelaskan dalam Bhagavad Gita (UNESCO, 2017). Sementara dalam ajaran Buddha, konsep moderasi dikenal dengan Majjhima Patipada atau jalan tengah, yang mengajarkan keseimbangan dalam menjalani kehidupan spiritual dan duniawi (Yao, 2000). Begitu pula dalam ajaran Konghucu, konsep Zhong Yong menekankan keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan sosial (Yao, 2000).

Dari berbagai perspektif agama, dapat disimpulkan bahwa moderasi beragama bukanlah konsep yang asing, melainkan nilai universal yang dapat diterapkan dalam kehidupan sosial. Semua agama pada dasarnya mengajarkan keseimbangan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan (Abu-Nimer, 2001). Dengan menerapkan moderasi beragama, masyarakat dapat menghindari sikap ekstrem yang berpotensi memicu konflik serta membangun lingkungan sosial yang lebih damai dan harmonis (FKUB Banten, 2022).

Sebagai upaya nyata dalam membangun moderasi beragama, diperlukan penguatan literasi keagamaan yang inklusif serta dialog antaragama yang terbuka. Masyarakat perlu dididik untuk memahami nilai-nilai agama secara mendalam dan kontekstual sehingga dapat menjalankan ajaran agamanya dengan penuh kesadaran dan keterbukaan terhadap keberagaman (UNESCO, 2017). Dengan demikian, moderasi beragama dapat menjadi kunci dalam menjaga persatuan dan kesatuan dalam masyarakat yang multikultural (Kementerian Agama RI, 2021).

Kondisi Toleransi dan Multikulturalisme di Banten

  1. Sejarah Keberagaman Agama dan Budaya di Banten

Provinsi Banten memiliki sejarah panjang sebagai wilayah yang kaya akan keberagaman agama dan budaya. Sejak zaman Kesultanan Banten pada abad ke-16, daerah ini telah menjadi pusat perdagangan yang menjalin hubungan dengan berbagai bangsa, termasuk Arab, Persia, Tiongkok, dan Eropa (Syaifuddin, 2018). Interaksi ini tidak hanya membawa pengaruh dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam aspek sosial dan keagamaan.

Kesultanan Banten yang didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin pada tahun 1552 dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di Nusantara. Namun, di samping dominasi Islam, agama-agama lain seperti Hindu, Buddha, Konghucu, dan Kristen juga berkembang di Banten seiring dengan datangnya para pedagang dan imigran dari berbagai daerah (Tjandrasasmita, 2009). Bukti keberagaman ini dapat dilihat dari keberadaan berbagai tempat ibadah di Banten, seperti Masjid Agung Banten, Klenteng Avalokitesvara di Serang, dan gereja-gereja yang telah berdiri sejak zaman kolonial Belanda (Widodo, 2015).

Seiring berjalannya waktu, pluralitas masyarakat Banten semakin terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai komunitas etnis seperti Suku Baduy, Jawa, Sunda, Tionghoa, dan Arab hidup berdampingan dengan adat dan tradisi masing-masing. Harmoni antarbudaya ini menjadi fondasi bagi kehidupan masyarakat yang toleran dan inklusif (Iskandar, 2020).

  1. Dinamika Hubungan Antarumat Beragama di Banten

Hubungan antarumat beragama di Banten secara umum berlangsung harmonis. Masyarakatnya dikenal memiliki sikap terbuka dan menghargai keberagaman. Hal ini tercermin dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan yang melibatkan lintas agama, seperti perayaan Maulid Nabi yang dihadiri oleh umat non-Muslim, serta perayaan Imlek yang turut dirayakan oleh masyarakat dari berbagai latar belakang (Nasution, 2022).

Namun, dalam beberapa kasus, ketegangan antar umat beragama juga pernah terjadi. Misalnya, kasus sengketa pendirian rumah ibadah di beberapa daerah yang mencerminkan tantangan dalam membangun toleransi secara berkelanjutan (FKUB Banten, 2021). Untuk mengatasi hal ini, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Banten bersama pemerintah daerah telah menginisiasi berbagai dialog lintas agama guna memperkuat moderasi beragama dan menjaga keharmonisan sosial (Kementerian Agama RI, 2022).

Peran pesantren, tokoh agama, dan organisasi masyarakat sangat signifikan dalam menjaga hubungan harmonis antarumat beragama di Banten. Pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama Islam, tetapi juga turut serta dalam membangun nilai-nilai kebangsaan dan toleransi (Rohman, 2019). Selain itu, tradisi lokal seperti ngariung (berkumpul untuk berdiskusi) menjadi salah satu cara masyarakat Banten dalam menyelesaikan perbedaan dan menjaga keharmonisan sosial (Iskandar, 2020).

  1. Tantangan dan Potensi dalam Menjaga Kerukunan.

Meskipun secara umum toleransi di Banten terjaga dengan baik, tetap terdapat berbagai tantangan dalam mempertahankan kerukunan antarumat beragama. Salah satu tantangan utama adalah maraknya penyebaran paham radikal dan eksklusivisme agama, terutama di kalangan generasi muda (Zulkarnaen, 2021). Arus globalisasi dan kemajuan teknologi informasi juga membawa tantangan baru, di mana ujaran kebencian dan hoaks bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) semakin mudah menyebar melalui media sosial (Kementerian Agama RI, 2021).

Di sisi lain, Banten memiliki potensi besar dalam memperkuat toleransi dan moderasi beragama. Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah, dan universitas Islam dapat menjadi agen utama dalam membangun literasi keagamaan yang inklusif (Rohman, 2019). Selain itu, tradisi budaya lokal yang menekankan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong juga dapat menjadi sarana efektif dalam memperkuat harmoni sosial (Iskandar, 2020).

Melalui penguatan dialog antaragama, pendidikan yang inklusif, serta peran aktif dari semua elemen masyarakat, toleransi dan multikulturalisme di Banten dapat terus dipertahankan. Dengan demikian, provinsi ini dapat menjadi contoh nyata bagaimana keberagaman dapat menjadi kekuatan dalam membangun masyarakat yang damai, adil, dan harmonis.

Peran Literasi Keagamaan dalam Membangun Toleransi

1.Pengertian dan Urgensi Literasi Keagamaan. Literasi keagamaan merujuk pada kemampuan individu dalam memahami, menginterpretasikan, dan mengaplikasikan ajaran agama dengan cara yang inklusif dan kontekstual. Menurut Kementerian Agama RI (2021), literasi keagamaan tidak hanya sekadar pemahaman terhadap teks-teks suci, tetapi juga mencakup wawasan tentang keberagaman agama, sejarah perkembangan keyakinan, serta keterampilan dalam berdialog dan bekerja sama dengan pemeluk agama lain.

Urgensi literasi keagamaan semakin meningkat di tengah kompleksitas kehidupan yang diwarnai oleh keberagaman agama dan budaya. Dalam konteks kehidupan masyarakat seperti di Banten, literasi keagamaan berperan dalam membangun sikap moderat, mencegah intoleransi, serta memperkuat nilai-nilai kebersamaan (Iskandar, 2020). Tanpa pemahaman yang baik terhadap ajaran agama sendiri dan agama lain, potensi munculnya konflik berbasis keagamaan akan semakin besar.

Selain itu, literasi keagamaan juga berfungsi sebagai alat untuk menangkal radikalisme dan ekstremisme. Studi yang dilakukan oleh Zulkarnaen (2021) menunjukkan bahwa minimnya pemahaman agama yang komprehensif sering kali menjadi faktor utama dalam munculnya sikap eksklusif dan intoleran. Oleh karena itu, literasi keagamaan yang moderat dan kontekstual menjadi strategi efektif dalam membangun masyarakat yang damai dan harmonis.

2.Implementasi Literasi Keagamaan dalam Pendidikan dan Masyarakat. Upaya meningkatkan literasi keagamaan dapat dilakukan melalui berbagai sektor, terutama dalam pendidikan formal dan nonformal. Dalam sistem pendidikan formal, literasi keagamaan telah diintegrasikan dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) serta mata pelajaran lainnya yang berkaitan dengan nilai-nilai kebangsaan dan toleransi (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020). Beberapa sekolah dan madrasah di Banten telah mengembangkan metode pembelajaran yang mendorong pemahaman lintas agama, seperti program kunjungan ke rumah ibadah dan diskusi antarumat beragama (Rohman, 2019).

Di lingkungan pesantren, literasi keagamaan diterapkan melalui pendekatan yang lebih kontekstual. Banyak pesantren di Banten yang mengajarkan kitab-kitab klasik Islam (kitab kuning) dengan pendekatan moderat yang menekankan nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin (Islam sebagai rahmat bagi semesta alam) (Iskandar, 2020). Misalnya, Pondok Pesantren Salafiyah di daerah Lebak mengajarkan tafsir Al-Qur’an dan fiqih dengan perspektif yang menekankan keseimbangan antara teks dan konteks, sehingga para santri memiliki pemahaman yang lebih luas terhadap realitas sosial (Rohman, 2019).

Selain di lingkungan pendidikan, literasi keagamaan juga diperkuat melalui berbagai inisiatif masyarakat, seperti kajian keagamaan lintas iman, seminar, serta pelatihan bagi para tokoh agama dan pemuda. FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Banten, misalnya, secara rutin mengadakan dialog lintas agama untuk membangun pemahaman yang lebih baik antar komunitas beragama (FKUB Banten, 2021).

3.Studi Kasus: Penerapan Literasi Keagamaan di Banten. Salah satu contoh nyata penerapan literasi keagamaan di Banten adalah program "Pesantren Toleransi" yang digagas oleh FKUB Banten. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman keagamaan yang inklusif di kalangan santri dan mahasiswa. Dalam program ini, para peserta diberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip moderasi beragama, sejarah keberagaman di Indonesia, serta keterampilan berdialog dengan pemeluk agama lain (FKUB Banten, 2021).

Selain itu, di Kabupaten Lebak terdapat inisiatif dari komunitas lokal yang mengadakan forum diskusi lintas agama bernama "Ngariung Toleransi." Forum ini melibatkan pemuka agama dari Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha yang berdiskusi mengenai isu-isu sosial dan keagamaan dengan pendekatan yang inklusif (Iskandar, 2020). Program ini telah membantu menciptakan suasana harmonis di masyarakat serta menjadi model yang dapat diterapkan di daerah lain.

Contoh lain adalah program Sekolah Damai yang diinisiasi oleh Kementerian Agama bekerja sama dengan beberapa sekolah di Banten. Program ini mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, anti-diskriminasi, dan penghargaan terhadap perbedaan melalui berbagai metode pembelajaran kreatif, seperti seni, musik, dan drama (Kementerian Agama RI, 2021).

Dari berbagai contoh di atas, terlihat bahwa literasi keagamaan bukan hanya sebatas pemahaman terhadap ajaran agama, tetapi juga bagaimana nilai-nilai tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sosial. Dengan semakin kuatnya literasi keagamaan yang inklusif, diharapkan toleransi antarumat beragama di Banten semakin kokoh dan menjadi model bagi daerah lain di Indonesia.

Strategi Penguatan Moderasi Beragama Melalui Literasi Keagamaan

1.Peran Lembaga Pendidikan, Pesantren, dan Perguruan Tinggi. Lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama sejak dini. Sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi berfungsi sebagai ruang intelektual yang dapat membentuk pemikiran inklusif dan toleran di kalangan peserta didik. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020), kurikulum pendidikan di Indonesia sudah mengakomodasi aspek moderasi beragama melalui pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).

Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam berbasis tradisional, juga memiliki peran penting dalam membentuk generasi yang moderat. Beberapa pesantren di Banten, seperti Pesantren Daar el-Qolam dan Pesantren La Tansa, telah mengembangkan program kajian lintas agama yang mengajarkan santri untuk memahami perspektif keagamaan yang lebih luas (Iskandar, 2020). Pendekatan ini membantu santri memiliki pemahaman yang lebih terbuka terhadap perbedaan serta menanamkan nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan mereka.

Perguruan tinggi, khususnya yang memiliki program studi keislaman seperti UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, berperan dalam mengembangkan kajian akademik terkait moderasi beragama. Studi yang dilakukan oleh Rohman (2019) menunjukkan bahwa mahasiswa yang terpapar wacana pluralisme dan moderasi beragama melalui mata kuliah, seminar, dan penelitian lebih cenderung memiliki sikap toleran terhadap perbedaan keyakinan.

2.Peran Tokoh Agama dan Masyarakat. Tokoh agama dan masyarakat memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk persepsi dan sikap keberagamaan di tengah masyarakat. Mereka dapat menjadi panutan dalam membangun kesadaran moderasi melalui ceramah, khutbah, dan diskusi keagamaan. FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Banten telah aktif mengadakan dialog lintas agama yang melibatkan ulama, pendeta, biksu, dan pemuka agama lainnya untuk membangun kesepahaman dan keharmonisan _ocial (FKUB Banten, 2021).

Selain itu, komunitas keagamaan seperti Mathlau’ul Anwar (MA), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di Banten juga aktif dalam menyebarkan ajaran Islam yang inklusif dan moderat. Kajian yang dilakukan oleh Nasution (2022) menunjukkan bahwa pengajian yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi ini sering kali mengangkat tema-tema yang berhubungan dengan toleransi, kebangsaan, dan nilai-nilai kemanusiaan universal.

3.Penggunaan Media dan Teknologi. Di era digital, media dan teknologi menjadi sarana efektif dalam menyebarkan pesan-pesan moderasi beragama. Platform media sosial seperti YouTube, Instagram, dan TikTok telah dimanfaatkan oleh berbagai tokoh agama untuk menyampaikan ceramah dan konten keagamaan yang menekankan pentingnya toleransi dan keberagaman. Misalnya, kanal YouTube milik Ustaz Abdul Somad dan KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) sering kali membahas pentingnya memahami agama secara kontekstual dan tidak tekstualis semata (Zulkarnaen, 2021).

Selain media sosial, pemerintah juga telah mengembangkan berbagai aplikasi dan situs web yang menyediakan bahan ajar dan kajian terkait moderasi beragama. Salah satu contoh adalah portal Rumah Moderasi Beragama yang dikelola oleh Kementerian Agama RI (2021). Portal ini menyediakan berbagai modul, artikel, dan video yang membahas tentang moderasi beragama dari perspektif akademik dan praktis.

Teknologi juga dimanfaatkan dalam bentuk seminar dan pelatihan berbasis daring yang melibatkan peserta dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Program seperti Webinar Moderasi Beragama yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama dan UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten telah berhasil menjangkau ribuan peserta dari seluruh Indonesia, memberikan wawasan mengenai bagaimana cara mengimplementasikan moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari (Kementerian Agama RI, 2021).

Kesimpulan

Moderasi beragama merupakan solusi yang efektif dalam menjaga harmoni di tengah masyarakat multikultural seperti di Banten. Dengan mengedepankan prinsip keseimbangan antara keyakinan dan toleransi, moderasi beragama dapat menjadi instrumen dalam mencegah konflik sosial dan memperkuat ikatan kebangsaan.

Literasi keagamaan berperan penting dalam membangun toleransi di Banten, terutama melalui pendidikan, peran tokoh agama, dan pemanfaatan media digital. Sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi telah memainkan peran kunci dalam mengajarkan nilai-nilai moderasi kepada generasi muda. Tokoh agama dan masyarakat turut berperan dalam menyebarkan pemahaman agama yang inklusif dan toleran, sementara media dan teknologi mempercepat penyebaran pesan-pesan moderasi kepada khalayak luas.

Melalui strategi yang komprehensif dan kolaboratif, moderasi beragama di Banten dapat terus diperkuat sehingga menjadi model bagi daerah lain dalam membangun masyarakat yang damai dan harmonis.

*Akademisi dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Mathlaul Anwar {BRIMA}

 

Referensi

  1. Abu-Nimer, M. (2001). Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory and Practice. Gainesville: University Press of Florida.
  2. Azra, A. (2005). Islam, Democracy and Multiculturalism in Southeast Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  3. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. (2019). Moderasi Beragama: Sebuah Ikhtiar Menjaga Keberagaman dan Keutuhan Bangsa. Jakarta: Kementerian Agama RI.
  4. FKUB Banten. (2021). Laporan Tahunan FKUB Banten: Upaya Memperkuat Toleransi Antarumat Beragama. Serang: FKUB Banten.
  5. Iskandar, A. (2020). Harmoni dalam Keberagaman: Tradisi Lokal dan Moderasi Beragama di Banten. Jakarta: LIPI Press.
  6. Kementerian Agama RI. (2021). Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.
  7. Kementerian Agama RI. (2021). Strategi Nasional Moderasi Beragama di Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI.
  8. Kementerian Agama RI. (2022). Dialog dan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.
  9. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Kurikulum Pendidikan Agama dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: Kemendikbud.
  10. Nasution, A. (2022). Pluralisme dan Toleransi di Indonesia: Studi Kasus Banten. Yogyakarta: UGM Press.
  11. Rohman, A. (2019). Peran Pesantren dalam Menanamkan Nilai-Nilai Toleransi dan Kebangsaan. Bandung: Mizan.
  12. Syaifuddin, A. (2018). Sejarah Kesultanan Banten: Peran dalam Perdagangan dan Penyebaran Islam. Jakarta: Gramedia.
  13. Tjandrasasmita, U. (2009). Perdagangan dan Penyebaran Islam di Banten: Kajian Arkeologi Sejarah. Jakarta: Komunitas Bambu.
  14. UNESCO. (2017). Religious Literacy in the Globalized World: A Guide for Educators. Paris: UNESCO Publishing.
  15. Vatican Council II. (1965). Nostra Aetate (Declaration on the Relation of the Church to Non-Christian Religions). Vatican City: Vatican Press.
  16. Wahid, Y. (2015). The Role of Religious Moderation in Strengthening Multiculturalism in Indonesia. Jakarta: Wahid Institute.
  17. Widodo, H. (2015). Relasi Agama dan Budaya di Banten: Kajian Sejarah dan Sosial. Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
  18. Yao, X. (2000). An Introduction to Confucianism. Cambridge: Cambridge University Press.
  19. Zulkarnaen, M. (2021). Radikalisme di Era Digital: Tantangan dan Solusi di Indonesia. Jakarta: Pustaka Harapan.

Share this Post