Literasi Keluarga : Hubungan Antara Perkembangan Emosi Anak Usia Dini Dengan Bahasa dan Membacakan Buku
Sumber Gambar :Literasi
Keluarga : Hubungan Antara Perkembangan Emosi Anak Usia Dini Dengan Bahasa dan
Membacakan Buku
Oleh
: Achi TM
*
Kenapa Harus Memahami
Perkembangan Bahasa Anak?
Barangkali
tidak semua orang tua menyadari bahwa membacakan buku memiliki pengaruh
terhadap perkembangan bahasa anak. Mengapa kita harus susah payah untuk
memerhatikan perkembangan bahasa anak-anak? Bukankah anak-anak akan tumbuh dan
berbicara/berbahasa secara alami? Tanpa diajari secara spesifik pun anak akan
bisa berbicara dan mengucapkan sesuatu.
Namun,
mari kita telaah lagi arti bahasa secara keseluruhan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Bahasa adalah sistem bunyi yang arbitrer yang digunakan
oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan
mengidentifikasikan diri.
Menurut
Wibowo (2001),
bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan
oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai
alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan
pikiran.
Walija (1996),
mengungkapkan definisi bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif
untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain. Sementara Syamsuddin (1986),
memberi dua pengertian bahasa. Pertama,
bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan
dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas
dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga
dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
Kebanyakan orang tua menganggap, anak baru bisa
berinteraksi atau berbahasa ketika sudah berusia 12 sampai 18 bulan. Padahal,
anak sudah bisa mengenali suara ibunya sejak di dalam kandungan. Sejak
pendengaran janin berkembang dengan sempurna.
Oleh
karena itu, para ahli menyarankan kepada Ibu hamil untuk sering mengajak janin
mereka berbicara. Membacakan ayat suci Al-Qur’an, mengucapkan kata-kata baik
dan positif bahkan kearifan budaya lokal senantiasa mengajarkan Ibu hamil untuk
menjaga sikap dan ucapan. Karena ucapan tersebut bisa didengar oleh janin dan
kelak akan memengaruhi emosi sosial dan prilaku janin ketika sudah bertumbuh
menjadi bayi dan anak-anak.
Secara
umum tahap perkembangan bahasa anak dibagi menjadi empat tahap yaitu tahap
pralinguistik dan tahap linguistik. Mari kita bahas satu per satu :
1.
Tahap
pralinguistik, pada tahap ini anak bayi belum bisa mengucapkan satu kata apa
pun. Namun mereka sudah berbahasa sejak lahir, berinteraksi dengan cara
menangis, menjerit dan tertawa pada usia 0 sampai 1 tahun. Saat anak bayi lapar
dan haus, ia akan menangis. Saat popoknya basah dan minta diganti, ia akan
menangis, saat terasa panas atau dingin, dia akan menangis. Jika tidak senang
dengan sesuatu ia akan menjerit dan menangis. Jika senang dengan sesuatu, dia
akan tertawa. Itulah bahasa yang dikuasai oleh anak di bawah usia 1 tahun.
2.
Tahap
lingustik, pada tahap ini anak sudah mulai mengucapkan kata-kata. Dimulai dari
usia 1 tahun – 2 tahun dan dalam tahap ini anak sudah mempunyai kosakata 50
sampai 100 kata.
3.
Tahap
Pengembangan Tata Bahasa yaitu anak yang berusia 3-5 tahun, atau pra sekolah.
Dalam tahap ini anak sudah mampu menyusun kata menjadi sebuah kalimat. Sejak
usia 4 tahun, anak sudah mempunyai 4000 sampai 600 kosakata yang dia ketahui
dan ucapkan.
4.
Tahap
Tata Basa, yaitu anak yang berusia 6 sampai 8 tahun sudah mulai bisa
menggabungkan beberapa kalimat sederhana dan kompleks.
Pernahkah kita melihat anak kita, anak didik di sekolah
atau anak-anak dalam lingkungan sekitar kita menangis tantrum di tengah jalan?
Tantrum di rumah? Menangis dan menjerit di usia 3 tahun, 4 tahun sampai 7
tahun? Bahkan ada yang sudah usia 9 tahun masih mengamuk dengan melempar barang
dan menjerit berlebihan dalam durasi lebih dari 30 menit? Hal tersebut terjadi
karena anak merasakan frustasi atau stres.
Ada banyak faktor yang membuat anak menjadi stres yaitu
karena tidak bisa mengekspresikan keinginan mereka dan anak tidak mampu
mengutarakan apa yang dirasakan dan dipikirkan. Sementara orang tua tidak
memahami apa yang anak inginkan, rasakan dan pikirkan. Sehingga terciptalah
situasi anak marah karena stres dan orang tua seringkali juga marah karena tak
mampu menanggapi sinyal bahasa sang anak.
Contoh sederhana adalah misal seorang anak berusia 2
tahun dan mulai merasa lapar, ia tidak mampu mengekspresikan rasa lapar itu
dengan berbicara : “Mama aku lapar.” Atau “Mama aku mau makan.” Sementara orang
tua lupa menyediakan bahan makanan untuk anak. Maka yang terjadi adalah anak
menangis, menjerit dan mulai rewel.
Kenapa anak tidak bisa mengutarakan keinginannya untuk
makan? Jawabannya adalah karena ketidakmampuan untuk menggunakan bahasa yang
baik. Mungkin anak sudah bisa bicara, anak sudah mengucapkan banyak hal dan
mampu menirukan orang dewasa bicara. Tapi pola pikir anak dalam berbahasa,
tidak bekerja. Anak yang memiliki kemampuan yang kurang dalam berbahasa akan
kesulitan mengutarakan keinginan aku lapar, aku haus, aku ingin ini, aku ingin
itu, aku tidak suka begini, aku tidak suka begitu. Mereka akan cenderung meniru
sikap orang dewasa dalam bereaksi terhadap sesuatu. Jika orang dewasa tidak
mengajarkan anak mengekspresikan lapar atau haus, maka anak pun tidak akan
mampu melakukan hal itu.
Komunikasi
dan Emosi
Ada dua kemampuan dalam berkomunikasi yaitu melalui
bahasa reseptif dan bahasa asertif. Mari kita bahas satu per satu :
1. Bahasa
reseptif adalah kemampuan anak untuk menerima bahasa secara lisan melalui
pendengaran atau secara tulisan melalui bahan bacaan (buku). Sebelum seorang
anak mampu menguasai bahasa asertif, mereka harus mampu dulu memahami bahasa
reseptif. Tentu saja dengan banyak rangsangan pemberian kata, tatanan kalimat,
dan lain sebagainya. Bagaimana cara anak membangun bahasa reseptif? Yaitu
dengan bercerita atau membacakan anak-anak buku.
2. Bahasa
asertif, berkebalikan dengan reseptif yang menerima, asertif adalah keluar atau
mengeluarkan hasil bahasa yang ia terima. Kemampuan untuk mengungkapkan
keinginan dan kebutuhan serta mengutarakan apa yang ide, pikiran dan pendapat
dengan bahasa verbal atau non verbal.
Beberapa fungsi bahasa reseptif bagi anak yaitu untuk
mengikuti petunjuk atau arahan, memahami gestur atau bahasa tubuh, mampu
memahami apa yang dibaca, mampu menjawab pertanyaan, dan memahami sebuah
cerita. Misalkan di rumah atau sekolah, kita mengajari anak untuk membuang
sampah pada tong sampah. Jika berulang kali kita mengatakan hal tersebut
melalui verbal atau gambar tapi anak tidak juga paham, tetap membuang sampah
sembarangan, berarti anak belum mampu menguasai bahasa reseptif. Sehingga tidak
mampu mengikuti petunjuk.
Fungsi bahasa asertif adalah mengeluarkan gagasan,
keinginan, isi pikiran dan kebutuhan. Dalam kasus yang saya paparkan
sebelumnya, anak yang tidak memiliki kemampuan bahasa reseptif yang baik akan
menganggu kemampuan bahasa asertif. Sehingga dua hal ini akan saling
berhubungan satu sama lain.
Ketika anak bertumbuh semakin besar, jika kemampuan
berbahasanya tidak ditingkatkan maka akan berpengaruh kepada cara anak
menyikapi sebuah kejadian. Contoh sederhana : Jika di rumah, anak dicekoki
dengan bahasa kasar sebagai bahasa reseptif anak, maka bahasa asertif yang
keluar juga kasar. Orang tua yang marah mengucapkan kata kasar, membentak dan
berteriak, akan membentuk anak melakukan hal yang sama.
Dalam pola berpikir anak, jika saya merasa marah, kesal,
frustasi, maka yang harus saya lakukan adalah marah, membentak, menjerit,
melempar barang. Maka inilah yang mengacaukan kemampuan anak mengelola emosi
dengan baik dan benar.
Syamsuddin (1990:69) mengemukakan bahwa
emosi merupakan suatu suasana yang kompleks dan getaran jiwa. Perasaan atau
getaran jiwa yang timbul berupa perasaan yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan. La Freniere
(Mashar 2011:124) mempertegas bahwa kemampuan anak usia dini telah
mampu belajar untuk memberi nama emosi pada diri dan orang lain, mengacu pada
pengalaman yang telah lalu untuk menidentifikasi pengalaman emosi yang akan
datang, dan mendiskusikan peristiwa atau penyebab dan konsekuensi dari emosi.
Anak adalah peniru dan pola ini berkembang di kepalanya.
Marah, menangis dan menjerit adalah salah satu jalan melampiaskan rasa kesal,
sedih, kecewa, lapar, panas, tidak nyaman dan lain sebagainya. Sementara marah,
menangis dan menjerit adalah tahap pralinguistik yang dialami oleh anak usia
0-1 tahun. Seyogyanya jika sudah berusia 6 tahun ke atas, apalagi sudah dewasa,
anak akan mampu mengelola rasa dengan kemampuan komunikasi yang baik.
Kemampuan komunikasi yang baik akan didapatkan dari
kemampuan bahasa yang baik. Anak yang memiliki bahasa reseptif yang baik akan
lebih mudah diajak berbicara jika segala sesuatu tidak sesuai dengan
keinginannya atau jika dia mendapat perasaan yang tidak nyaman dalam dirinya.
Misalkan dia ingin menonton di ponsel tapi kita tidak
mengijinkan, dia akan kecewa dan marah kemudian membanting barang. Maka kita
bisa dengan mudah menjelaskan baik-baik, “Kalau barangnya dibanting nanti
rusak. Bagaimana kalau bermain mobil dulu? Main ponselnya besok lagi, ya,
sayang.” Kemudian anak diajak untuk bersepakat kapan boleh main ponsel, kapan
tidak boleh main ponsel lagi. Tentu saja, diskusi dengan anak usia dini akan
berhasil apabila kita memberikan stimulasi bahasa reseptif yang baik kepada
mereka.
Validasi perasaan mereka dengan mengatakan, “Oh kamu
kecewa, ya, kamu marah? Mama paham kamu marah karena dilarang menonton. Pasti
tidak nyaman, ya, marah. Yuk keluarkan marahnya dengan mengatur napas.”
Memvalidasi perasaan adalah mengakui bahwa kita memiliki
perasaan tersebut. Entah emosi positif atau emosi negatif. Memvalidasi bukan
berarti kita membenarkan rasa marah, rasa takut dan rasa lainnya yang muncul.
Akan tetapi mengakui perasaan akan membuat anak mampu untuk mengenali kondisi
ketidaknyamanan dirinya sehingga dia akan mencari jalan keluar untuk
menyalurkan emosi tersebut. Tentu sebagai orang tua kita harus membantu
menyalurkan emosi dengan cara yang baik dan tidak merugikan diri sendiri maupun
orang lain. Sebagaimana Rasulullah SAW mengajarkan umatnya agar duduk ketika
marah, berbaring, atau mengambil air wudhu.
Jika kita tidak memvalidasi emosi anak makan akan terjadi
pembatalan emosi yang bisa diartikan sebagai respon yang tidak sesuai dengan
emosi yang dirasakan dan gagak menunjukkan emosi atau perasaan yang dapat
dipaham (Witkowski, 2017). Salah satu efek buruk pembatalan emosdi adalah
perasaan sulit menerima diri, tidak percaya diri, tidak memiliki self esteem yang baik. Tentu saja,
pembatalan emosi akan membuat seseorang kesulitan untuk mengatur emosinya.
Tumpukan-tumpukan emosi yang tidak dikelola dengan baik akan membentuk
kemarahan-kemarahan yang sewaktu-waktu bisa meledak karena hal yang sepele.
Stimulasi
Bahasa Yang Baik Melalui Bercerita
Bayangkan jika anak terus bertumbuh tanpa mendapatkan
asupan bahasa yang baik melalui kata, cerita dan membaca, anak akan tetap
kesulitan mengutarakan keinginannya dan jika tumbuh remaja, mereka akan menjadi
pemberontak. Salah satu penyebab kenakalan remaja seperti merokok, miras,
narkoba, tawuran, dan pacaran di luar batas adalah karena ketidakmampuan mereka
untuk mengeluarkan isi hati dan pikiran.
Saat hormon bergejolak yang memberikan perubahan pada
fisik dan perilaku, anak-anak butuh tempat untuk mengutarakan perasaan
ketidaknyamanan mereka atas perubahan tersebut. Akan tetapi mereka yang tidak
mampu mengutarakan emosi dengan bahasa yang baik akan mencari pelarian untuk
menenangkan kegelisahan dan kegundahan yang terjadi akibat perubahan hormon.
Inilah yang membuat remaja akhirnya memilih jalan pintas dengan perilaku
menyimpang seperti yang disebutkan di atas.
Sebaliknya anak remaja yang sejak usia dini mendapatkan
ransangan berbahasa reseptif dan asertif yang baik akan mampu mengutarakan
perasaannya dengan baik. Tentu saja hal ini akan berkaitan erat dengan literasi
keluarga yang diterapkan sejak dini.
Dalam sebuah studi yang dimuat di jurnal Child Development mengatakan bahwa
kemampuan balita dalam menggunakan kata-kata dengan kemampuan mereka dalam mengelola
mengelola kemarahan.
Penelitian tersebut diikuti oleh 120 anak dari usia 18
bulan hinga 4 tahun. Anak-anak tersebut mendapatkan berbagai tes untuk
mengetahui kemampuan bahasa mereka. Setelah itu mereka mendapatkan tugas tugas
yang membuat mereka frustasi. Anak-anak ini diberikan hadiah dan diminta
menunggu selama delapan menit untuk membuka hadiah tersebut sampai ibu mereka
selesai bekerja.
Anak-anak yang memiliki kemampuan berbahasa dengan baik
mampu mengelola emosinya dengan baik. Anak-anak cenderung tidak sabar dan
menunggu akan membuat mereka frustasi. Tapi anak yang mampu berbahasa dengan
baik bisa menghadapi situasi frustasi tersebut dengan bertanya kepada ibu
mereka, kapan ibu akan selesai bekerja? Sehingga ibu memberikan jawaban yang
menenangkan anak. Selain itu, anak yang
berbahasa dengan baik akan mampu berbicara sendiri dengan mengembangkan imajinasi
mereka, untuk mengatasi rasa frustasi karena harus menunggu.
"Kemampuan berbahasa yang lebih baik dapat membantu
anak-anak untuk melakukan verbalisasi daripada menggunakan emosi untuk
menyampaikan kebutuhan. Selain itu, kemampuan berbahasa yang baik juga
memungkinkan anak untuk menggunakan imajinasi mereka untuk menyibukkan diri
sementara bertahan menunggu frustasi," kata peneliti Pamela Cole, seorang
profesor psikologi di Pennsylvania State University.
Teori
Hendri mengatakan bahwa
otak manusia memiliki dua belahan (hemisfer), yakni belahan otak kiri dan belahan otak kanan. Otak kiri lebih berfungsi dalam hal yang
berhubungan dengan logika, matematika, angka-angka, bahasa, dan tulisan dalam hal
mengingat otak kiri cenderung memiliki ingatan jangka pendek. Otak kanan berfungsi dalam perkembangan emosi,
kreativitas, musik, imajinasi, dan fantasi atau daya khayal, dalam proses
mengingat otak kanan
memiliki ingatan jangka panjang.
Masih menurut pendapat teori Hendri, salah satu stimulasi
yang baik efektif dalam penanaman sosial emosional kepada anak adalah dengan
bercerita. Karena pada tahap ini, anak masih mengalami masa-masa keemasan,
memiliki daya ingat yang tinggi. Oleh karena itu, anak harus senantiasa
diberikan stimulasi-stimulasi yang positif agar membentuk persepsi baik terhadap
dirinya.
Buku
Adalah Sumber Cerita Yang Mudah Didapat
Salah satu cara untuk memberikan stimulasi cerita yang
baik adalah dengan membacakan buku cerita. Jika orang tua tidak memiliki
kemampuan menciptakan cerita yang memiliki nilai bahasa yang baik, orang tua
bisa membacakan anak-anak buku. Dengan dibacakan cerita, anak memaksimalkan
audionya, dengan melihat buku, anak memaksimalkan visualnya. Audio dan visual
adalah pintu masuk dalam memproses bahasa. Apa yang didengar dan dilihat akan
terekam di dalam kepala anak usia dini.
Tentu saja tidak sembarangan buku bisa dibacakan untuk
anak-anak. Yang pertama harus diperhatikan adalah isi cerita. Isi cerita dalam
buku anak yang dibacakan harus memiliki nilai-nilai agama dan moral. Yang kedua
adalah memiliki jalan cerita yang menarik, tidak memperlihatkan unsur
pornografi pada anak usia dini dan unsur kekerasan. Yang ketiga, tentu saja
setelah dua poin di atas dilewati, buku yang dipilih untuk dibacakan adalah
buku yang sesuai dengan perjenjangan usia anak dan bisa menyenangkan anak.
Jika kita membacakan novel Laskar Pelangi, misalnya,
kepada anak usia dini tentu mereka tidak akan memahami hal tersebut. Karena
secara konsep berpikir, mereka belum mampu menerima kalimat-kalimat majemuk dan
kata-kata yang sulit dimengerti. Oleh karena itu, bacakan buku yang memiliki
kalimat-kalimat pendek dan kosakata yang mudah dikenali dalam keseharian
anak-anak.
Syarat lainnya adalah, buku bacaan anak harus memiliki
gambar yang menarik sebagai pancingan untuk meningkatkan kesenangan membaca
anak-anak. Badan Bahasa Kemdikbud telah membuat perjenjangan untuk buku
anak-anak. Untuk anak usia dini di usia 0-7 tahun, maka disebut buku jenjang
pembaca dini. Dalam jenjang ini, gambar memiliki porsi yang lebih banyak
daripada teks.
Mari kita bentuk dan kuatkan literasi keluarga di
masyarakat. Dengan menciptakan perpustakaan kecil di rumah. Mulai mengoleksi
buku bacaan anak sehingga anak-anak bisa memilih ingin membaca buku apa saja.
Anak-anak juga akan akrab dengan buku yang tentu kelak akan membantu minat baca
mereka.
Membaca buku akan meningkatkan rasa ingin tahu anak
terhadap sesuatu sehingga kelak memudahkan anak untuk belajar serta memahami
pelajaran tersebut. Kelak ketika mereka tumbuh dewasa, mereka akan mampu untuk
memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Tentu saja diharapkan, anak-anak
generasi selanjutnya akan menjadi generasi yang lebih baik dalam mengelola
emosi mereka. Sehingga semoga di masa depan, angka kriminalitas akan berkurang
karena literasi anak saat ini sudah ditanamkan sejak usia dini.
Anak yang memahami literasi baca tulis akan mampu
menguasai literasi bermasyarakat. Karena untuk bisa bermasyarakat yang baik dan
nyaman, dibutuhkan kemampuan mengelola emosi yang baik sehingga kelak mampu
membentuk tatanan sosial yang baik.
*Achi TM
Penulis 44 buku, penulis skenario film, dan Instruktur
Literasi Nasional di Kantor Bahasa Banten. Sejak tahun 2009, Achi TM dan suami
mengelola Taman Bacaan Masyarakat bernama Rumah Pena Talenta di Kota Tangerang.
Pada tahun 2019, Achi TM menekuni dunia pendidikan anak usia dini dengan
berkuliah kembali di FKIP PG-PAUD Universitas Muhammadiyah Tangerang.