Literasi untuk Para Pewaris Peradaban

Sumber Gambar :

Literasi untuk Para Pewaris Peradaban

Nanda Ghaida Fauziyyah*

Istilah literasi budaya mulai diperkenalkan oleh seorang pendidik dan kritikus sastra berkebangsaan Amerika, E.D. Hirsch, pada tahun 1983¹. Menurutnya, literasi budaya adalah kemampuan untuk memahami dan menyikapi suatu kebudayaan. Literasi budaya merupakan kemampuan adaptasi yang diperlukan seseorang ketika berada dalam suatu kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu. Kemampuan ini merupakan bagian dari enam literasi dasar yang sangat penting untuk dimiliki sehingga menjadi salah satu fokus dari Gerakan Literasi Nasional di Indonesia.

Negara Kepulauan Republik Indoensia memiliki keragaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat, kepercayaan, hingga lapisan sosial yang dapat menjadi kekuatan bagi kemajuan bangsa Indonesia. Kebudayaan yang telah diwariskan secara turun temurun memiliki kekayaan nilai pengetahuan dan kebudayaan, meliputi teknik pertanian, kosmologi, astronomi, arsitektur, ragam ekspresi kesenian, hingga tata aturan hukum yang telah menjadi pondasi bagi peradaban-peradaban di Nusantara.

Tak terkecuali, di wilayah Banten yang peradabannya telah dikenal dunia sebagai pusat ajar bagi para resi dan bujangga di masa Kerajaan Sunda hingga menjadi salah satu pusat perdagangan jalur rempah dan penyebaran Islam di masa Kesultanan Banten. Rangkaian peristiwa historis yang telah terjadi membuat wilayah Banten memiliki corak budaya yang khas. Serat-serat budaya tersebut terjalin dari adanya pertemuan kebudayaan Sunda, Jawa, Bugis, Tionghoa, Lampung, hingga bangsa Kolonial. Salah satu produk dari kontak budaya yang telah terjalin selama berabad-abad adalah bahasa. Bahasa ibu atau bahasa daerah yang tersebar di wilayah Banten menjadi wahana bagi kebudayaan yang dapat menjadi ruang berkembangnya gagasan, pikiran, kegiatan, hingga kreativitas manusianya.

Saat ini, bahasa ibu yang tersebar di wilayah Banten mencakup Jawa dialek Banten di wilayah utara, khususnya di Kota Cilegon, Kota Serang, dan sebagian wilayah Kabupaten Serang; Sunda dialek Banten di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, dan sebagian Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang; Melayu Betawi di wilayah Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan; dan terdapat kantung-kantung bahasa seperti Lampung Cikoneng, Bugis, hingga Cina Benteng yang tersebar di wilayah Anyer, Karangantu, dan Tangerang. Kekayaan bahasa yang terdapat di wilayah Banten tidak menjadi batasan bagi masyarakat dari berbagai latar belakang suku budaya yang telah hidup berdampingan di wilayah Banten. Bahkan sebaliknya, masyarakat di wilayah Banten cenderung memiliki kemampuan multilingual atau mampu menguasai lebih dari satu bahasa. Kemampuan tersebut merupakan salah satu contoh sikap memahami dan beradaptasi yang dimaksud dalam literasi budaya.

Selain sebagai wahana komunikasi bagi masyarakat Banten yang beragam, bahasa juga memiliki posisi yang signifikan bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan di wilayah Banten. Keragaman dalam harmoni juga tercermin di panggung ubrug atau topeng, sebuah teater rakyat tradisional yang tersebar hampir di seluruh wilayah Banten, tanpa mengenal batas wilayah sebaran bahasa. Hal tersebut menjadi mungkin karena para pemain ubrug atau topeng biasanya menguasai beragam bahasa di wilayah Banten yang menjadi modal mereka dalam menyajikan pertunjukan. Bahkan, tak jarang ubrug atau topeng menampilkan lakon dengan tokoh Sunda, Jawa, dan Betawi yang berdialog dengan bahasanya masing-masing di atas panggung sebagai gaya komedi yang memicu gelak tawa penonton. Perbedaan dalam pertunjukan ubrug menjadi sebuah identitas yang menguatkan pertunjukan, bukan sebagai sebuah kekurangan.

Ubrug telah digunakan oleh generasi terdahulu sebagai model literasi budaya yang dapat menyatukan masyarakat Banten yang beragam. Sebagai seni pertunjukan rakyat, ubrug juga dapat menjadi sarana untuk melestarikan bahasa ibu masyarakat Banten sebagai wahana yang menyimpan kekayaan budaya masyarakatnya. Bahasa sebagai pintu gerbang untuk bisa memahami lebih jauh mengenai alam pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat perlu untuk terus dilestarikan dan diwariskan ke generasi muda. Lewat lakon yang terdapat dalam ubrug, fragmen kehidupan masyarakat dari berbagai lapisan sosial mulai dari petani, peladang, nelayan, jawara, ulama, hingga pejabat, dapat dihadirkan di panggung pertunjukan sebagai wahana edukatif yang juga ‘menghibur’ bagi para penontonnya².

Selain ubrug, pertunjukan seperti wayang garing, pokplod, angklung buhun, debus, almadad, terbang, rudat, calung renteng, gondang lesung, kuda renggong, dan sebagainya dapat menjadi sumber literasi budaya bagi generasi muda untuk bisa memahami akar budayanya. Namun demikian, eksistensi seni pertunjukan tersebut mengalami penurunan daya hidup seiring berkembangnya sarana hiburan modern seperti radio, sinetron elektronik, serial televisi, hingga film layar lebar yang semakin mudah diakses seiring perkembangan teknologi. Pertunjukan-pertunjukan yang biasanya meramaikan ruang-ruang publik di wilayah Banten setiap akhir pekan, kini hanya ditampilkan di acara pemerintahan atau di hajatan masyarakat di wilayah pedesaan. Padahal, pada dekaden 70—80-an, ruang publik seperti pasar atau alun-alun merupakan ruang apresiasi bagi seni pertunjukan rakyat sekaligus ruang belajar literasi budaya bagi masyarakat.

Penurunan daya hidup ubrug dan kesenian tradisional lain di wilayah Provinsi Banten menjadi salah satu faktor yang membuat Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) Provinsi Banten tahun 2021 berada di urutan ke-5 paling bawah dari seluruh nilai provinsi di Indonesia³. Nilai IPK Banten pada tahun 2021 di angka 47,47 merupakan nilai paling rendah dalam kurun empat tahun terakhir yang sebelumnya sempat mencapai nilai 51.43 di tahun 2019. Kemerosotan yang signifikan tersebut disebabkan—salah satunya—oleh penurunan nilai dimensi ekspresi budaya sebanyak lebih dari 6 poin, dari yang sebelumnya 29 menjadi 22,05 di tahun 20214. Dimensi ekspresi budaya merupakan indikator yang mengggambarkan persentase keterlibatan masyarakat sebagai pelaku atau pendukung pertunjukan seni.

Selain itu, terdapat dimensi ekonomi budaya sebagai indikator yang menyatakan jumlah pelaku atau pendukung pertunjukan seni dan masih menjadikannya sebagai sumber penghasilan. Dalam dimensi ini, hanya 0,12% masyarakat Banten menjadikan seni pertunjukan sebagai sumber penghasilan. Rendahnya nilai tersebut membuktikan bahwa seni pertunjukan di wilayah Banten semakin ditinggalkan oleh para pelaku dan pendukungnya karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomi. Hal tersebut terbukti dari perbandingan data sanggar ubrug yang bertahan di tahun 2022 mengalami penyusutan ke angka 10% jika dibandingkan dengan data yang pernah dihimpun Yadi Ahyadi dan Mahdiduri di tahun 20105.

Dalam dimensi pendidikan, hanya 24,77% satuan pendidikan di Banten yang mempunyai pengajar muatan lokal berbahasa daerah dan ekstrakurikuler, meskipun data tersebut tidak memiliki detail sebaran bahasa daerah dan ekstrakurikuler muatan lokal yang diterapkan di wilayah Banten. Sebagai informasi tambahan, di Kabupaten Pandeglang, hanya terdapat 15 tenaga pengajar bahasa daerah di tingkat pendidikan SMP atau 10% dari jumlah sekolah negeri yang terdapat di Kabupaten Pandeglang. Hal tersebut menjadi permasalahan yang perlu segera diatasi oleh pemangku kebijakan, terlebih jika mengingat fungsi bahasa daerah sebagai pintu gerbang untuk bisa memahami alam pikiran dan kebudayaan masyarakat.

Untuk dapat meningkatkan pembangunan daerah berbasis kebudayaan, perlu sinergisitas antara pemangku kebijakan, lembaga kebudayaan mencakup sanggar, komunitas, hingga institusi pendidikan dan masyarakat selaku pendukung pemajuan kebudayaan. Literasi budaya dapat menjadi solusi bagi pemajuan kebudayaan melalui tiga pendekatan, yaitu di lingkup masyarakat, sekolah, dan keluarga. Langkah-langkat tersebut terhimpun dalam Materi Pendukung Literasi Budaya dan Kewargaan yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2017 sebagai pendukung Gerakan Literasi Nasional6.

Strategi Gerakan Literasi Budaya dan Kewargaan di Sekolah dapat dimulai melalaui beberapa tahapan dengan penguatan pelaku atau fasilitator sebagai pendukung kebudayaan melalui 1) bengkel kreatif bahasa daerah, 2) program residensial, 3) pelatihan guru dan tenaga kependidikan, dan 4) forum diskusi bagi warga sekolah. Keempat langkah tersebut dapat menjadi katalisator bagi siswa untuk dapat mengekspresikan budaya dan bahasa daerah dengan memanfaatkan media teknologi dan metode belajar yang menyenangkan. Program residensial di sisi lain juga dapat menciptakan peluang ekonomi bagi maestro atau pelestari kebudayaan melalui pembelajaran live in culture. Siswa-siswi dapat diarahkan untuk mempelajari kebudayaan langsung dari sumbernya dengan tinggal menetap di kantung-kantung kebudayaan seperti sanggar seni ubrug hingga desa budaya serta masyarakat adat. Secara tidak langsung, program ini dapat membantu para pelaku dan pendukung kebudayaan mendapatkan ruang apresiasi dengan siswa dan siswi sebagai apresiatornya. Selain itu, produk kebudayaan seperti seni pertunjukan dan seni kriya berpotensi untuk berkembang dengan adanya apresiator yang lebih luas.

Selain berupa program, fasilitasi penunjang berupa sarana dan prasarana di sekolah perlu ditingkatkan, seperti penyediaan bahan literasi budaya yang tidak hanya terbatas pada bahan bacaan tetapi juga mencakup peralatan pendukung dalam pertunjukan seperti alat musik tradisional. Penyediaan alat-alat tersebut juga dapat dilihat sebagai dukungan ekonomi kepada para pengerajin instrumen tradisi. Pemanfaat media teknologi dengan pembuatan video bahan ajar dan video karya untuk memperluas sebaran produk kebudayaan juga dapat menunjang literasi budaya ke khalayak yang lebih luas. Hal tersebut perlu didukung dengan forum diskusi sebagi salah satu wahana edukasi kepada orang tua dan masyarakat untuk bisa mendukung dan berpartisipasi aktif dalam literasi budaya yang berkaitan dengan model pendekatan literasi budaya di luar sekolah, yaitu dalam lingkup masyarakat dan keluarga.

Perluasan dan penguatan partisipasi publik dapat dilakukan sekolah melalui perayaan bulan budaya atau festival budaya di sekolah. Ruang apresiasi merupakan media yang penting untuk bisa meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap produk budaya yang dihasilkan siswa dari proses bengkel maupun residensi. Selain itu, mendatangkan pelaku atau maestro ke sekolah juga penting untuk bisa meningkatkan kualitas produk budaya yang dihasilkan sekolah sebagai modal bagi para siswa untuk bisa terus mengembangkan kebudayaan selaku pewaris peradaban, dengan cara yang inovatif dan selaras dengan perkembangan zaman.

Literasi budaya di lingkup masyarakat dan keluarga dapat dilakukan dengan menciptakan ekosistem kebudayaan berkelanjutan melalui kunjungan ke tempat bersejarah maupun bernilai budaya lokal. Dengan demikian, Pemerintah Daerah perlu mendorong pemanfaatan atau pendayagunaan ruang publik seperti cagar budaya, museum, dan desa budaya sebagai ekosistem budaya yang menjadi ruang hidup bagi berbagai kebudayaan daerah. Ekosistem budaya mencakup sinergisitas antara ketersediaan sumber daya alam sebagai bahan baku produk kebudayaan, seperti flora dan fauna endemik, pelindungan atau konservasi lingkungan geografis yang mendukung kebudayaan, serta pendukungan proses transmisi pengetahuan tradisi dari mestro atau pelaku kebudayaan ke generasi selanjutnya. Ketiga aspek tersebut merupakan poin penting yang dapat mendukung keberlanjutan kebudayaan sebagai warisan penting bagi generasi muda selaku penentu arah pemajuan peradaban bangsa. Terakhir, keterlibatan para peneliti dan akademisi dari universitas maupun lembaga kajian lainnya diperlukan sebagai pencatat atau perekam kebudayaan yang terus berkembang. Sifat kebudayaan yang dinamis perlu untuk selalu dikaji dan diarsipkan sebagai penguat wawasan budaya bagi generasi muda di masa mendatang.

*Pengkaji Bahasa dan Sastra pada Kantor Bahasa Banten

Catatan kaki :

[1] Hitsch, E.D. Cultural Literacy (1938),

2 Nalan, Arthur S. Teater Egaliter (2006)

3 Sumber: laman resmi Indeks Pembangunan Kebudayaan, http://ipk.kemdikbud.go.id/#provinsi

4 Idem.

5 Yadi Ahyadi dan Mahdiduri, Ubrug: Tontonan dan Tuntunan (2010)

6 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Materi Pendukung Literasi Budaya dan Kewargaan (2017)

 


Share this Post