MANUSIA MAKHLUK PEMBELAJAR
Sumber Gambar :MANUSIA MAKHLUK PEMBELAJAR
Oleh: Kholid Ma’mun*
Menuntut ilmu bagi semua orang lebih-lebih bagi orang Islam hukumnya adalah wajib, karena tanpa ilmu seseorang akan
sesat. Sesat dalam beragama, sesat dalam berpikir, sesat dalam bertindak, sesat
dalam memilih jalan, dan kesesatan-kesesatan yang lain yang mengantarkan kepada
kebinasaan.
Manusia dan belajar adalah dua hal yang tak bisa
dipisahkan. Bagaikan dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan. Dalam setiap kepala manusia terdapat apa yang disebut dengan otak. Di dalam
segala informasi yang diterima pastilah akan mengalami proses analisis, dan
inilah sesungguhnya yang disebut dengan belajar itu. Dan berawal dari sini pula
segala kewajiban dimulai oleh makhluk yang bernama manusia.
Dalam ajaran Islam kegiatan belajar menjadi persoalan
yang sangat penting, sehingga wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad saw. adalah perintah membaca, “iqra bismi rabbik alladzi khalaq”,
bahkan Allah ulang dua kali dalam satu surat dengan redaksi perintah, dengan
mengulang kata iqra dalam ayat berikutnya “iqra warabbuka al-akram”.
Dalam kaidah usul fikih, suatu bentuk perintah yang tanpa disertai dengan
“apapun” maka berlaku umum. Maka perintah pertama Al-Qur’an pada umatnya adalah
mencari ilmu. Karena segala sesuatu membutuhkan ilmu.
Nabi Muhammad saw. menyampaikan sabdanya dalam sebuah hadits, “Carilah ilmu dari buaian hingga liang lahat”. Dari
hadits ini bisa kita cermati bahwa selama hidup manusia harus sabar dan tak
kenal lelah dalam menuntut ilmu. Bahkan Allah menegaskan dalam firman-Nya bahwa
orang yang berilmu mendapat kedudukan yang tinggi di sisi-Nya. “Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam
majelis-majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan, Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah
akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.
(QS Al-Mujadilah [58]: 11).
Kalimat “sabar dalam mencari ilmu” adalah kalimat yang terkesan mudah,
tetapi sulit dilakukan. Buktinya, banyak sekali yang mengejar ilmu tanpa
disertai hidayah. Dan banyak yang mengejar ilmu dunia tanpa diniatkan ibadah. Seseorang
yang sabar dalam mencari ilmu adalah orang yang di dalam pencarian ilmu yang
dibutuhkannya, tidak meninggalkan posisi diri sebagai hamba-Nya. Semakin
mengetahui tentang sesuatu semakin dia dekat dengan Tuhannya. Hal ini bertujuan
agar selama hidup seseorang tidak jauh-jauh dari Allah.
Dalam Al-Qur’an, term “ilmu” tercatat kurang lebih
sebanyak 854 kali. Ada yang ta’allama, ‘alima, allama, dan ‘alim. Prof.
Dr. Quraish Shihab seorang mufassir Nusantara jebolan Universitas Al-Azhar
menyampaikan dalam Ensiklopedia Al-Qur’an (2007) mengatakan bahwa seluruhnya,
ayat-ayat yang terdapat kata “ilm” berbicara tentang upaya ilmu sebagai
penyelamat manusia dari pelbagai kehancuran, baik di dunia dan di akhirat
kelak. Namun dalam konteks kata “ilm” ini, ada satu term sebagai sebutan
langsung dari Allah untuk seseorang, yaitu ulama”. Sebagaimana terdapat dalam
Al-Qur’an. “….Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para
ulama. Sungguh Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun. (QS. Fathir [35]: 28).
Semakin Berilmu Semakin takut kepada Allah
Kalimat hanyalah para ulama’ dalam konteks ayat ini bukan hanya takut kepada Allah sebagai ciri khas, tetapi ulama
adalah orang-orang multidisipliner atau yang mengerti sedikit hal dalam banyak
hal. Artinya seorang ulama adalah orang yang mengerti “banyak hal”, inilah yang
membedakan ulama dengan orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Salah satu contoh
terbaik dalam Al-Qur’an untuk diteladani adalah dari sekian banyak ilmu yang dikuasai
seseorang tetapi ia takut kepada Allah, takut dalam artian selalu dekat dengan
Allah karena cinta.
Sumber segala ilmu adalah berasal dari Allah. Maka
pembagian ilmu agama dan ilmu umum dalam sudut pandang penulis adalah kurang
tepat. Pendidikan yang selalu memisahkan kedua ilmu ini, ia tidak akan sampai
pada penyaluran kepada siswa-siswinya “Khasyatullah-, mampu mengantarkan
pemiliknya takut kepada Allah”. Sebab, pembagian itu akan berdampak pada
pengotakan ilmu-ilmu secara tidak seimbang. Ilmunya semakin tinggi, tetapi
tidak memiki akhlaq. Dan ini menjadi semacam penyakit saat ini, sekolah
hanyalah pabrik dan wadah yang hanya mengeluarkan ijazah dan alat formalitas.
Akan tetapi, sangat jarang sekolah memproduksi para generasi yang berbudi
pekerti yang baik.
Belajar dan belajar
Sejak manusia terlahir di alam raya ini, ia sudah menjadi makhluk
yang berpikir. Pada dirinya senantiasa muncul pertanyaan-pertanyaan atas
sesuatu yang ia alami. Seiring dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang
terus melintas dalam pikirannya itu, muncul pula usaha untuk mencari tahu
jawaban-jawaban atas rasa penasarannya itu dengan mencoba memahami apa yang
sesungguhnya terjadi. Berpikir merupakan hakikat dan esensi dari kemanusiaan.
Bagi manusia, hidup adalah rangkaian pembelajaran yang
tidak mengenal kata usai, saat masih kecil, seorang anak mulai belajar cara
berkomunikasi dengan sesama. Lebih besar sedikit, ia akan memasuki bangku
sekolah, dan di sana telah mengunggu beranekaragam mata pelajaran yang tersaji
untuknya. Begitu menjadi lebih dewasa dan setelah beberapa gelar akademis
diraih, rupanya mata pelajaran lainnya juga telah menunggu untuk dipelajari,
sebut saja materi pelajaran bagaimana cara berumah tangga yang baik, materi
pelajaran professional dalam bekerja dan lain-lain. Bahkan ketika seseorang sudah
sangat renta juga masih butuh menelaah materi pelajaran, seperti belajar
bagaimana menjadi orang tua yang bijak, dan belajar bagamaimana memperlakukan
anak cucu dengan baik atau ilmu lain
yang perlu dikembangkan.
Inilah yang selalu diingatkan Rasulullah kepada kita,
Rasulullah pernah mengatakan, kalau sesungguhnya belajar itu telah dimulai dari
buaian, dan hanya akan berakhir kalau seseorang masuk liang lahat.
Penimba ilmu tidak saja cerdas duniawi namun ia juga memeiliki kecerdasa yang lain, sebagaimana yang diinginkan oleh penggagas Intelligence Quotient (kecerdasan intelektual), Alfred Binet-
ilmuan berkebangsaan Perancis. Ia terus membooming-kan gagasan ini dan mematok
seorang dengan IQ itu sejak tahun 1905 M. teori ini pun dalam dunia pendidikan
dan psikologi hanya bertahan kurang lebih 90 tahun lamanya. Setelah itu, teori
ini dipatahkan oleh Daniel Goleman yang mengajukan Emotional Quotient (kecerdasan emosi). Teori ini juga dipatahkan
oleh Howard Gardner- seorang psikolog dari Harvard University- yang mengajukan
teori Multiple Intelligence (kecerdasan majemuk). Dan untuk skala
Indonesia, gabungan antara IQ, EQ dan SQ digagas oleh Ary Ginanjar dengan
mendirikan ESQ.
Fenomena ini mengindikasikan, seseorang tidak bisa jauh-jauh dari Allah, seseorang ketika sudah sampai pada
titik jenuh, ia akan mencari kebahagiaan dan mencari sumber ketuhanan. Sebab
Roh sudah memiliki ikatan erat dengan Allah yang
telah menciptakannya, tetapi banyak manusia yang ingkar kepada Tuhan-Nya. Wal iyadzu billah
*Pendidik di Ponpes Modern Daar El Istiqomah,
Pengurus MUI Banten Komisi Pedidikan dan Kaderisasi Periode 2021 – 2026