Membaca Buku “Jembatan Keledai Tan Malaka”
Sumber Gambar :Membaca
Buku “Jembatan Keledai Tan Malaka”
Oleh
: Muhammad Fahri*
Saat ini perkembangan
tekonologi informasi begitu pesat. Teknologi informasi yang juga beriringan
dengan media massa seperti sekarang banyak memberi perubahan terhadap kehidupan
masyarakat, mulai dari orang dewasa, anak-anak, maupun mahasiswa. Saat ini,
internet sangat mudah kita akses melalui smartphone
sehingga memudahkan pula proses komunikasi seseorang dengan lainnya. Kita
tidak perlu lagi capek membuat surat kabar lalu mengirimnya lewat kantor pos untuk
menyampaikan pesan kepada seseorang yang jaraknya jauh. Selain itu, internet juga dapat
mempermudah bagi pelajar mengakses materi-materi pelajaran yang mereka cari.
Cukup mengakses website Perpustakaan Daerah, Perpusnas, maupun Google Scholar,
kita bisa cepat mendapatkan materi yang kita inginkan. Kegiatan mengakses,
menganalisis dengan kritis pesan media serta menciptakan pesan positif melalui
media, kita sebut sebagai literasi media (Hobbs,1996).
Perkembangan dunia
teknologi saat ini tidak melulu berdampak positif, justru membuat praktisi
pendidikan merasa khawatir. Salah
satu kegelisahan yang masih belum terobati yaitu rendahnya minat baca siswa
sekolah
dan mahasiswa di Indonesia.
Sebelumnya, ketika buku menjadi satu-satunya media membaca, kini setelah
dikuasai teknologi informasi yang memungkinkan seseorang bisa mendapatkan
sumber pengetahuan dari berbagai media. Kini, buku-buku cetak menjadi bebas
setelah hadirnya buku elektronik yang lebih mudah diakses kapanpun di berbagai
situs internet. Mengingat meningkatkan minat membaca di Indonesia menjadi
prioritas utama, namun kenyataannya sampai hari ini, justru minat membaca di
Indonesia terbilang masih rendah dibandingkan negara-negara lain.
Sistem
kehidupan yang begitu kompetitif ini, menuntut generasi muda untuk menjadi
cerdas, kreatif, dan inovatif. Semua keterampilan bisa dicapai, tentu harus
didasari ilmu pengetahuan yang luas. Membaca mungkin sesuatu yang mudah
dilakukan, namun sulit untuk dijadikan kebiasaan. Rasa bosan dan jenuh sering
kali begitu cepat datang ketika sedang membaca, sehingga tidak heran kebanyakan
generasi kita menganggap membaca merupakan kegiatan yang membosankan. Tambah
lagi, era sekarang semua hal bisa divisualisasikan, tentu hal tersebut semakin
mengurangi minat membaca di kalangan pelajar maupun masyarakat. Seperti contoh,
banyak novel yang dijadikan film bioskop, kebanyakan remaja di Indonesia
menyukai menonton filmnya ketimbang membaca novelnya.
Pilihan
semacam itu ada sisi positif, ada juga sisi negatif. Sisi positifnya, jika
mereka ingin mengetahui suatu novel dengan menonton film, jelas dapat
mengefesiensikan waktu, cukup 1-2 jam film, kita akan tamat satu novel. Berbeda
dengan mengetahui suatu novel dengan cara membaca, tentu akan banyak menyita
waktu, belum lagi ada banyak istilah dan diksi yang kurang kita pahami.
Sedangkan, dampak negatifnya, di bidang membaca akademik, banyak mahasiswa yang
memiliki sisi yang memprihatinkan. Ketika mahasiswa sedang membaca jurnal atau
karya ilmiah lainnya, mereka hanya membaca bagian pendahuluan dan kesimpulannya
saja, tapi tidak memahami isi dari tulisan tersebut sehingga bisa mendapatkan
kesimpulan.
Melihat
persoalan di atas, masalah minimnya minat membaca di Indoensia harus menjadi
fokus masalah untuk kita semua, mencarikan formulasi sebaik mungkin. Terutama
pada kegiatan belajar mengajar di kelas, bagaimana pengajar (guru) dapat
menciptakan suasana belajar yang menarik (kondisi eksternal), serta dapat menggiring
mindset kepada siswa bahwa membaca adalah kebutuhan manusia yang tidak bisa
ditinggalkan (kondisi internal).
Faktor
yang disebutkan pada paragraf atas, penting juga kita mencari metode membaca
yang efektif. Misalnya pada tulisan ini, penulis melihat metode membaca menurut
Tan Malaka, salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia..
Dilansir
dari buku MADILOG karya Tan Malaka, jika seseorang yang hidup dalam pikiran harus memiliki
pustaka yang cukup, hasilnya dituangkan baik dengan cara menulis maupun dengan
cara lisan (diskusi). Seorang petukang
tidak akan bisa membuat suatu bangunan jika bahan dan alatnya tidak ada seperti
semen, batu, dan lainnya. Sama halnya jika kita ingin perang gagasan, sangat
penting memahami strategi musuh, kawan maupun guru. Catatan yang sempurna dapat
menaklukan pikiran musuh secepat kilat serta bisa mendapatkan pemufakatan dan
kepercayaan yang bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik perang pena,
propaganda, maka catatan itu adalah barang yang tidak bisa ditunggalkan.
Seperti
kisah beliau (Tan Malaka) ketika dibuang pertama kalinya, pada 22 maret 1922,
sepanjang perjalanannya tidak pernah lepas dari buku. Buku yang dipahami Tan
Malaka dari berbagai bidang, seperti buku-buku agama, Qur’an, Injil, Budhisme, Confusianisme,
Darwinisme, perkara ekonomi yang berdasar liberal, sosialistis komunistis,
buku-buku riwayat dunai dan masih banyak lagi. Tan Malaka sepakat bahwa
buku-buku yang kita baca akan mempengaruhi condongnya isi pikiran manusia.
Pada proses bergelut
dengan pustaka, Tan Malaka juga sedikit banyaknya mengkritik metode membaca.
Contohnya pada kasus Al Gazali ketika membaca buku dengan cara menghapal. Menurutnya
(Tan Malaka), kebiasaan menghapal itu tidak akan menambah kecerdasan,
sebaliknya malah menjadikannya bodoh, mekanis seperti mesin. Yang diingat bukan
lagi maksud dari kalimat dalam buku tersebut, melainkan bunyi kata atau halaman
buku di mana kalimat-kalimat itu ditulis. Oleh karena itu Tan Malaka memberi
solusi, menghapal memang penting, tapi hapalkan pendekatan intinya saja. Kita
hapalkan sesuatu yang tidak dimengerti orang lain, tapi penuh pengetahuan untuk
diri kita sendiri. Metode membaca buku dengan menghapalkan pendekatan inti Tan
Malaka menyebutnya dengan istilah “Jembatan Keledai” misalnya buat menjawab
pertanyaan siapa yang akan menang di antara dua Negara yang sedang berperang, dia
menggunakan jembatan Keledeai dirinya
“ALS”. Huruf A untuk (A)ir
artinya udara, (L)and artinya darat dan (S) artinya laut forces tentara.
Metode-metode membaca pada setiap
individu tentu berbeda-beda, jika kita sering membaca, akan ketemu juga pola
membaca yang baik. Oleh karena itu, saya mengajak remaja Indonesia harus berani
memulai kegiatan literasi dengan serius dan berkelanjutan. Tidak ada kata
terlambat, untuk memperjuangkan bangsa ini berbenah ke arah yang lebih baik. Bangsa ini akan lebih baik jika budaya literasi dijadikan
sebagai kebutuhan sehari-hari. Kita bisa belajar kepada Amerika Serikat, di
setiap tempat singgah orang-orang Amerika selalu membaca. Baik membaca buku,
membaca majalan di halte, di cafe, di taman dan di berbagai tempat lainnya.
*Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta