MEMBACA UNTUK MEMIMPIN
Sumber Gambar :Atih Ardiansyah*
“Tiro, apa satu-satunya senjata yang kumiliki untuk menjadi pemimpin besar?” Tiro tertegun. Sebagai pengawal paling loyal, dia mengerti bahwa pertanyaan demikian bukan untuk dijawab. Dia hafal benar, bagaimana orator paling brilian Republik Romawi itu mengokohkan orasinya.
“Ini!” majikan yang tak henti membuat Tiro kagum itu, menunjuk deretan buku-bukunya. “Aku memiliki KATA-KATA! Caesar dan Pompeius boleh punya tantara. Crassus punya harta. Cloudius punya pengawal di setiap sudut jalan. Sementara pasukanku adalah kata-kata. Dengan ini aku membawa diriku ke posisi ini!”
Pemimpin yang konon memiliki lidah cadel namun lihai berorasi itu dikenang sampai dua ribu tahun lamanya sebagai pemimpin Republik Romawi. Dia yang terkenal dengan ungkapan “A room without books, is like a body without soul” masih semerbak harum namanya.
Perkenalkan: Cicero!
Dia adalah potret utuh tentang seorang pemimpin yang lahir dari buku-buku yang dibacanya. Ungkapan-ungkapan seperti “today leader, tomorrow reader” atau “learn and lead” merupakan refleksi sempurna atas riwayat mengesankan seorang pemimpin agung sepertinya.
Negara besar bernama Indonesia juga lahir dan disapih oleh para founding father yang menjadikan buku sebagai obsesi absolut. Soekarno dan Hatta yang menjadi titik akhir perjuangan kemerdekaan dengan berhasil menjadi “atas nama” seluruh rakyat, adalah para pembaca buku.
Bung Karno yang pidatonya dinantikan jutaan telinga lewat saluran-saluran radio, tidak mungkin mampu menghadirkan diksi-diksi penuh sihir kalau dia bukanlah seorang pembaca yang ulet. Kemana pun Bung Karno pergi, termasuk saat diasingkan, buku selalu menemaninya.
Demikian pula dengan Bung Hatta. Saking cintanya dia dengan buku, Rahmi istrinya bahkan sempat melontarkan kalimat yang getir, “Aku ini istri kedua Hatta. Istri pertamanya adalah buku-bukunya.” Kalimat sang istri diteguhkan oleh seloroh Bung Karno. Katanya: “Seandainya Bung Hatta sedang berada di dalam moda angkutan dan penumpang di dalamnya hanya ada Bung Hatta dan seorang perempuan cantik, maka Bung Hatta hanya akan terpaku pada buku.”
Mohammad Hatta memang gila buku, gila baca. Ketika dipenjara oleh Belanda di Den Hag (1927-1928), dibuang ke Digul (1934) atau disisihkan ke Banda Neira (1935), Hatta membakar hampir seluruh waktunya dengan memamah buku.
Pada 1934 ketika Kolonial Belanda sudah tidak tahan dengan daya kritis Bung Hatta yang terus menyuarakan soal kemerdekaan, membuangnya ke Digul (sekarang Papua) pun bukan perkara yang mudah. Karena petugas Kolonial Belanda terpaksa memundurkan waktu keberangkatan gara-gara Bung Hatta harus membawa serta berpeti-peti bukunya sebagai--bahkan--bekal utama. Walaupun Kolonial Belanda tidak memfasilitasi beban biaya buku-buku itu, Bung Hatta sendiri yang menyewa tenaga penduduk setempat di Digul dan membayarnya supaya bisa mengangkut belasan peti bukunya itu.
Dua tahun sebelumnya ketika Bung Hatta tiba di Pelabuhan Tanjung Priuk pada 1932 setelah sebelas tahun tinggal di Den Hag, dia membawa enam belas peti koleksi bukunya sehingga proses pemindahan buku hingga merapikan di kediamannya di Batavia itu menyantap waktu sampai tiga hari lamanya.
Buku, dalam perjalanan hidup Bung Hatta termasuk roda Republik ini, adalah bagian tak terenggut. Buku dan investasi waktu membacanya delapan jam dalam sehari adalah proses yang kemudian hari menjadikan Bung Hatta sebagai tokoh paling cemerlang dan namanya dipahat pada dinding emas sejarah.
Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka, juga seorang yang gila dengan buku. Tokoh yang pernah berdiam cukup lama di Bayah, Banten Selatan, karena buku dan kegandrungannya dalam membaca telah menjadikannya sebagai salah satu orang Indonesia yang paling hebat.
Ada juga tokoh bergelar The Grand Old Man. Haji Agus Salim. Dia adalah seorang yang suka membaca buku terutama buku-buku berbahasa asing. Itu pula yang membuatnya berhasil menguasai empat bahasa asing. Haji Agus Salim tidak menjadi pandai seorang diri. Gara-gara tradisinya yang terekam dalam kalimat abadi, “Taruh buku di setiap sudut rumahmu dan jadikanlah buku sebagai sesuatu yang paling sering dan paling mudah dilihat serta dijangkau”, anak-anaknya pun menjadi manusia-manusia yang cerdas. Dengan buku dan kegemaran membaca, serta dampaknya pada anak-anaknya, Haji Agus Salim menyajikan kenyataan bahwa kepemimpinan adalah tentang memberikan keteladanan.
Satu lagi: Lentera Ranah Minang. Buya Hamka. Pada usia sepuluh tahun, Buya Hamka telah melahap habis koleksi buku di perpustakaan sekolahnya. Berbagai genre telah dibacanya, mulai dari karya sastrawan Arab dan Eropa, karya-karya tokoh seperti Toynbee, Marx, Freud, Sartre, Camus dan sebagainya kemudian menyulapnya sebagai tokoh paling lengkap yang dimiliki Indoneia. Dialah ulama, aktivis sekaligus sastrawan agung yang karyanya melegenda sekaligus mengabadikan namanya hingga hari ini.
Jauh di aras dunia baru, tokoh besar Theodore Roosevelt tampil sebagai pemimpin terkemuka karena buku. Dia adalah seorang lelaki yang membaca tiga buah buku dalam sehari. Aktivitas itu mengantarkannya menjadi penghuni Gedung Putih sekaligus pemimpin paling cemerlang dalam sejarah Amerika. Ratusan tahun kemudian, seorang lelaki berkulit hitam keturunan Kenya dan pernah jadi Anak Menteng Jakarta, juga menggilai buku. Dia menjiplak karakter Roosevelt, hingga langkah itu membawanya sebagai orang paling penting di Gedung Putih dan turut mengubah wajah politik dan kepemimpinan Amerika dan dunia. Ya, dia Presiden Barack Obama.
Manusia paling genius di dunia, yakni Albert Einstein, juga seorang kutu buku. Ketekunannya dalam membaca buku telah mengubahnya dari seorang anak yang tertutup dan lamban berpikir menjadi ilmuwan paling hebat pada abad ke-20.
Ada banyak manusia lainnya yang di kemudian hari dilahirkan kembali menjadi pemimpin penting lantaran buku. Mahatma Gandhi berhasil menjadi pembebas India. Ketekunannya membaca buku menjadikan perjuangannya melalui ahimsa benar-benar tak tergoyahkan.
Di Prancis, seorang pemimpin bertubuh tak terlampau tinggi, juga lahir dan dibentuk oleh ketekunannya membaca buku. Napoleon Bonaparte adalah seorang pelahap buku-buku politik, ilmu bumi, militer sampai buku-buku bernuansa agama. Tokoh-tokoh penting telah diakrabinya sejak muda, antara lain Caesar, Plato, Homer, Rousseau dan sebagainya, melalui karya-karya abadi mereka. Karena hal itu, dia berhasil sebagai pemimpin Perancis dalam kampanye militernya ke berbagai belahan dunia.
Dalam sejarah peradaban, buku-buku diproduksi oleh kepemimpinan hebat sekaligus buku-buku pula yang kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin agung. Penyair T.S. Elliot mengatakan, “Berat sekali membangun peradaban tanpa budaya baca yang kokoh.”
Tradisi membaca buku adalah tradisi kepemimpinan. Pemimpin yang baik adalah pembaca yang ulet. Membaca dan kepandaian adalah syarat utama menjadi pemimpin yang baik. Karena pemimpin yang gemar membaca akan membentuk masyarakat yang gemar membaca (reading society), setelah itu akan melahirkan masyarakat pembelajar (learning society), yang pada akhirnya akan lahir masyarakat berkemajuan (advanced society).
Pemimpin yang membaca tidak akan bisa dikalahkan karena dia terus belajar. Membaca adalah syarat utama seorang pemimpin besar sebagaimana kata-kata pemimpin besar, Umar bin Khattab, “Tafaqqohu qobla an tusawwaddu!”. Tingkatkan kepandaianmu sebelum engkau diangkat jadi pemimpin!
*Dosen FISIP Untirta/Founder Cendekiawan Kampung
Referensi:
Laksono, Eko. 2010. Imperium III, Zaman Kebangkitan Besar. Jakarta: Hikmah
Mangunwijaya, Y.B. 1987. Esei-esei Orang Republik. Jakarta: Midas Surya Grafindo
Matta, Anis. 2006. Mencari Pahlawan Indonesia. Jakarta: The Tarbawi Center
McCain, John. 2009. Karakter-karakter yang Menggugah Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Munif, Achmad. 2007. 50 Tokoh Politik Legendaris Dunia. Yogyakarta: Narasi
Sudarso, Yus, dkk. 2011. Pribadi Manusia Hatta, Orang Besar Perhatian Besar. Jakarta: Yayasan Hatta
Suripto. 1978. Dari Napoleon Sampai Bung Karno dan Pak harto, tentang Negara dan Masyarakat. Surabaya: PT. Grip
Tantyo, Dea. 2017. Leiden is Lijden. Jakarta: Elex Media Komputindo