Membangun Kompetensi Literasi Di Sekolah
Sumber Gambar :Membangun Kompetensi Literasi Di Sekolah
Oleh: Mahbudin, S.Pd.I, M.Pd
Berdasarkan
hasil Asesmen Nasional tahun 2021, Indonesia saat ini sedang mengalami darurat
literasi, yakni satu dari dua peserta didik jenjang SD/MI sampai SMA/MA belum
mencapai kompetensi minimum literasi (Mendikbudristek)
Darurat Literasi
Lebih dari 15 juta eksemplar buku bacaan bermutu
telah disalurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek)
bersama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) ke berbagai
wilayah di Indonesia pada akhir Februari 2023 lalu. Pendistribusian buku bacaan
bermutu ke sekolah-sekolah ini merupakah
program Merdeka Belajar Episode ke-23 dengan tema “Buku Bacaan Bermutu untuk
Literasi Indonesia”. Program ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan akses
pada buku bacaan bermutu di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) dan
sekolah dasar (SD) yang merupakan muara rendahnya kompetensi literasi peserta
didik Indonesia.
Program mulia Kemendikbudristek ini sebagai respons
atas rendahnya kompetensi literasi peserta didik Indonesia. Dikutip dari harian
Kompas (28/2/2023), Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menyatakan bahwa berdasarkan
hasil Asesmen Nasional tahun 2021, Indonesia saat ini sedang mengalami darurat
literasi, yakni satu dari dua peserta didik jenjang SD/MI sampai SMA/MA belum
mencapai kompetensi minimum. Data ini
berarti hanya 50% peserta didik yang sudah mencapai ambang batas minimal
kompetensi literasi. Lebih jauh lagi Mendikbudristek mengatakan, "Hasil
tersebut konsisten dengan Programme for International Students Assesment (PISA)
selama 20 tahun terakhir yang menunjukan bahwa skor literasi anak-anak
Indonesia masih rendah dan belum meningkat signifikan. Kemampuan literasi
peserta didik Indonesia masih dibawah rata-rata kemampuan literasi peserta
didik negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD)." Pada tes PISA mutakhir tahun 2018, nilai kompetensi literasi
siswa Indonesia lebih rendah 115 poin dibandingkan dengan skor rata-rata OECD,
bahkan lebih rendah 42 poin dari skor rata-rata negara-negara ASEAN.
Pantas saja pemerintah melalui Kemendikbudristek
rela menggelontorkan anggaran fantastis untuk peningkatan kompetensi literasi
ini. Biaya ini tidak hanya untuk pengadaan 15.356.486 eksemplar buku bacaan bermutu
dengan 716 judul, tetapi juga sekaligus dengan program pelatihan pendidikan
literasi di sekolah. “Ini adalah program pengiriman buku dengan jumlah buku
terbesar sepanjang sejarah Kemendikbudristek. Dan, yang paling penting adalah bagaimana
kami saat ini menyediakan pelatihan dan pendampingan untuk membantu sekolah
memanfaatkan buku-buku yang diterima,” ungkap Mendikbudristek.
Medan Juang Satuan Pendidikan
Momentum peluncuran program Merdeka Belajar yang
secara khusus berfokus pada upaya peningkatan kompetensi literasi peserta didik
ini perlu mendapatkan perhatian serius para pemangku kepentingan di sekolah. Sekolah
harus mengkampanyekan gerakan membaca secara terstruktur dan kontinyu. Namun,
jalan untuk membangun kompetensi literasi di sekolah tidaklah mudah. Diperlukan
usaha ekstra dan niat yang tulus agar program ini dapat terwujud.
Adakah kira-kira pemangku kepentingan pendidikan yang
berpendapat bahwa membangun budaya baca bukan fundamen? Jawabannya ada! Penulis
pernah ditanya soal ini. Mengapa
sekolah harus menyediakan waktu khusus bagi siswa untuk membaca buku? Bukankah
dalam pembelajaran sehari-hari juga siswa membaca buku? Kurang lebih
seperti itulah pertanyaan seseorang yang heran mengapa harus ada program
membaca bebas di sekolah. Kenyataan lainnya adalah masih banyak sekolah yang
tidak melaksanaan program penumbuhan budaya baca. Ini berarti masih banyak
pemangku kepentingan pendidikan yang belum memahami urgensi kompetensi literasi
sebagai keterampilan untuk dapat hidup produktif di masyarakat.
Sekarang mari kita telaah kembali pedoman inti
penyelenggaraan pendidikan, yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 4 Ayat (5)
disebutkan, “Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis, dan berhitung.” Bangsa kita meyakini bahwa upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa harus dimulai dari pembiasaan membaca, menulis, dan berhitung
(literasi dan numerasi). Sebab inti belajar adalah kerelaan untuk mempelajari
sesuatu yang berguna. Jika di sebuah bangsa membaca sudah menjadi budaya, maka rakyatnya
akan menjadi berdaya.
Bahkan, Standar Kompetensi Lulusan (SKL) peserta didik
dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai pendidikan menengah atas
(SMA/MA) mengharuskan ketercapaian kompetensi literasi. SKL ini wajib digunakan
oleh satuan pendidikan sebagai acuan dalam pengembangan standar isi, standar
proses, standar penilaian pendidikan, standar tenaga kependidikan, standar
sarana prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan.
Berikut ini penulis selengkapnya cantumkan SKL tentang
literasi di semua jenjang.
1. SKL Literasi di Pendidikan Anak Usia Dini: “Mampu menyimak, memiliki
kesadaran akan pesan teks, alfabet dan fonemik, memiliki kemampuan dasar
yang diperlukan untuk menulis, memahami instruksi sederhana, mampu mengutarakan
pertanyaan dan gagasannya serta mampu menggunakan kemampuan bahasanya untuk
bekerja sama.”
2. SKL Literasi di SD/MI: “Menunjukkan kemampuan dan kegemaran
berliterasi berupa mencari dan menemukan teks, menyampaikan tanggapan atas
bacaannya, dan mampu menulis pengalaman dan perasaan sendiri;
3. SKL Literasi di SMP/MTs: “Menunjukkan kemampuan dan kegemaran
berliterasi berupa menginterpretasikan dan mengintegrasikan teks, untuk
menghasilkan inferensi sederhana, menyampaikan tanggapan atas informasi, dan
mampu menulis pengalaman dan pemikiran dengan konsep sederhana;.”
4. SKL Literasi di SMA/MA: “Menunjukkan kemampuan dan kegemaran
berliterasi berupa mengevaluasi dan merefleksikan teks untuk menghasilkan
inferensi kompleks, menyampaikan tanggapan atas informasi, serta menulis
ekspositori maupun naratif dengan berbagai sudut pandang.”
Dari landasan filosofis dan yuridis yang penulis paparkan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa setiap satuan pendidikan berkewajiban menyelenggarakan program penumbuhan budaya baca. Tulisan ini bermaksud urun tangan sumbangsih ide apa yang perlu sekolah lakukan untuk meningkatkan kompetensi literasi peserta didik.
Free Reading (Membaca Bebas)
Satuan pendidikan akan sulit mencapai Standar
Kompetensi Lulusan kompetensi literasi jika tidak memiliki program khusus
membangun budaya baca. Rendahnya hasil Asesmen Nasional yang penulis paparkan
di atas adalah indikasi tidak adanya program penumbuhan budaya baca yang baik di
banyak sekolah.
Membaca bebas adalah faktor dominan peningkatan kompetensi
literasi. Begitu data hasil penelitian
Steven Krashen. "A wide range of studies confirmed that free reading
is the major factor in literacy development" (Krashen, 2014). Menurut
Stephen Krashen, seorang pakar linguistik, ketika seseorang membaca dengan
sukarela dan memilih sendiri bacaannya, maka hal ini dapat membantu
meningkatkan kemampuan kosakata, pemahaman, dan pengetahuan tata bahasa secara
lebih efektif dibandingkan dengan metode-metode lain seperti pembelajaran
formal atau menghafal.
Membaca bebas bisa diartikan sebagai aktivitas membaca
yang dilakukan tanpa ada batasan atau kewajiban tertentu. Ini berarti bahwa
seseorang bebas memilih bahan bacaan apa pun yang ingin dibaca dan waktu kapan
pun yang ia inginkan. Free Reading juga bisa merujuk pada program bacaan di
mana orang diberi kebebasan untuk memilih buku-buku yang ingin dibaca tanpa ada
kewajiban tertentu, seperti tugas membaca atau ulangan. Aktivitas Free Reading
dapat membantu meningkatkan kemampuan membaca seseorang, menstimulasi
kreativitas, dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai
topik.
Hal ini sejalan dengan amanat Permendikbud Nomor 23
Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Bekerti yang mewajibkan sekolah menggunakan
15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata
pelajaran (setiap hari). Salah satu kegiatan wajib yang diusulkan dalam
pernyataan tersebut adalah mengalokasikan waktu 15 menit sebelum hari
pembelajaran dimulai untuk membaca buku selain buku mata pelajaran. Hal ini
bertujuan untuk memfasilitasi kegiatan membaca yang akan membantu meningkatkan
kemampuan membaca dan keterampilan siswa, serta mengembangkan minat baca dan
kegemaran membaca.
Dengan memberikan waktu khusus untuk membaca buku
selain buku pelajaran, siswa juga memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi
topik-topik yang menarik bagi mereka dan membuka wawasan tentang dunia di luar
mata pelajaran yang mereka pelajari. Hal ini dapat membantu meningkatkan
motivasi belajar dan kreativitas siswa, serta meningkatkan kualitas pemahaman
mereka tentang berbagai topik. Dengan demikian, kegiatan membaca buku selain
buku pelajaran yang diusulkan dalam pernyataan tersebut sangat penting dan
wajib dilakukan oleh siswa setiap hari, sehingga dapat membantu meningkatkan
kualitas pendidikan di sekolah dan membantu siswa mencapai potensi mereka
secara optimal.
Durasi 15 menit membaca bebas dalam Permendikbud ini
berimplikasi kewajiban adanya waktu khusus membaca buku nonpelajaran bagi semua
peserta didik di setiap satuan pendidikan. Di sekolah penulis, kegiatan Free
Reading ini diadakan setiap hari Kamis, mulai pukul 07.00 – 08.10 WIB. Selama
70 menit ini seluruh peserta didik duduk di tempat yang teduh dan nyaman di
sekitar lapangan upacara untuk membaca buku apa saja yang mereka sukai. Setelah
40 menit membaca senyap, sejumlah siswa tampil di atas mimbar upacara untuk
mempresentasikan buku yang telah mereka baca. Secara bergiliran mereka
bercerita tentang hal apa yang yang mereka dapatkan dari buku tersebut, apa
yang mereka sukai atau tidak sukai dari buku itu, mengapa buku itu penting
untuk dibaca, dan sebagainya. Aktifitas ini penting dilakukan selain untuk
saling merekomendasikan buku bacaan, ini juga sebagai kesempatan bagi peserta
didik untuk menginternalisasi dan merefleksikan hasil bacaan.
Sejauh ini hasil program literasi di sekolah penulis
cukup menggembirakan. Dalam Rapor Pendidikan hasil Asesmen Nasional (AN) tahun
2021, sebanyak 68,89% peserta didik memiliki kompetensi literasi “Cakap”,
15,56% “Mahir”, 13,33% “Dasar”, dan hanya 2,22% peserta didik yang masuk
kategori “Perlu Intervensi Khusus.” Secara keseluruhan, nilai kompetensi
literasi peserta didik di sekolah penulis adalah 2,07. Angka ini jauh lebih
tinggi dari nilai rata-rata satuan pendidikan secara nasional, yaitu 1,72, dan
nilai rata-rata provinsi 1,65, dan rata-rata kabupaten sebesar 1,5.
Melalui artikel ini penulis mengajak para guru dan
pemangku kepentingan pendidikan untuk turut serta menciptakan program budaya
baca di sekolah. Tentu saja bentuk kegiatannya bisa beragam dan dinamis, namun
hal yang mendasarinya adalah adanya aktivitas yang terencana dan
berkesinambungan yang mendorong siswa untuk mencintai membaca.
Apa yang harus disiapkan sebelum memulai program Free
Reading di sekolah? Secara umum tidak ada, hanya keyakinan bahwa literasi
adalah inti dan tekad bulat untuk mengembangkan budaya baca. Langkah pertama adalah
memasukan program Free Reading sebagai bagian dari jadwal pembelajaran, lalu
kelengkapan penunjang program ini dilengkapi seiring berjalannya waktu. Yang
tak kalah penting juga, sekolah secara bertahap harus mengalokasikan anggaran
untuk pengadaan buku nonteks baik fiksi maupun nonfiksi untuk menyukseskan
program literasi ini. Penjelasan lebih jauh mengenai pengadaan bahan bacaan, pembaca
dapat melihat artikel penulis sebelumnya yang secara terperinci membahas teknis
pengadaan koleksi pada tauatan ini: https://dpk.bantenprov.go.id/Layanan/topic/519.
Anugerah Duta Baca Pelajar
Untuk memotivasi peserta didik dalam membaca, sekolah
perlu memberikan penghargaan kepada mereka yang menunjukan kegemaran membaca yang
tercermin dalam sikap, kebiasaan, dan tindakan atau perbuatan untuk membaca
secara berkelanjutan. Penganugerahan Duta Baca Pelajar ini diatur dalam
Peraturan Perpustakaan Nasional RI Nomor 4 Tahun 2021 tentang Akademi Literasi.
Salah satu ruang lingkup Akademi Literasi adalah penetapan Pegiat Literasi yang
tediri atas: 1) Duta Baca Indonesia, 2) Duta Baca Daerah Provinsi, 3) Duta Baca
Daerah Kabupaten/Kota, 4) Bunda Literasi Provinsi, 5) Bunda Literasi
Kabupaten/Kota, 6) Duta Baca Pelajar, dan 7) Aktivis Literasi.
Pegiat literasi (baca: Duta Baca Pelajar) menurut
peraturan ini adalah seseorang yang memiliki kemampuan literasi yang dipilih
sebagai panutan, motivator, inspirator, katalisator, dan influencer dalam upaya
mempromosikan gemar membaca.
Peserta didik yang terpilih sebagai Duta Baca Pelajar
harus memiliki peran sebagai panutan, motivator, inspirator, katalisator
(pembawa perubahan), dan influencer. Sebagai panutan, Duta Baca Pelajar
diharapkan menjadi contoh dan teladan dalam membaca dan meningkatkan kemampuan
literasi. Sebagai motivator, Duta Baca Pelajar mendorong orang lain untuk
membaca dan menunjukkan manfaat positif yang diperoleh dari membaca. Sebagai
inspirator, Duta Baca Pelajar menginspirasi orang lain untuk membaca dan
menunjukkan bahwa membaca dapat menjadi kegiatan yang menyenangkan dan
bermanfaat. Sebagai katalisator, Duta Baca Pelajar mendorong perubahan positif
dalam budaya membaca di sekolah, dan sebagai influencer, Duta Baca Pelajar dapat mempengaruhi kebiasaan membaca peserta
didik lainnya dan mempromosikan budaya membaca yang lebih baik.
Di sekolah penulis, pemilihan Duta Baca Pelajar
dilakukan setiap satu tahun sekali. Kriteria penilaiannya adalah berdasarkan
jumlah buku yang dibaca dan jumlah reviu buku yang selesai ditulis. Sayangnya,
pandemi Covid-19 selama dua tahun lebih menghentikan program penganugerahan
duta baca ini. Satu tahun pasca pembelaran di era New Normal, semoga program
ini dapat dijalankan kembali.
Widyawisata Literasi
Widyawisata literasi adalah program yang bertujuan
untuk mempromosikan budaya baca dan meningkatkan minat baca peserta didik
melalui kunjungan ke pameran buku, toko buku atau tempat-tempat yang
berhubungan dengan kegiatan literasi lainnya. Program ini penting dilakukan
sekolah untuk memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dan interaktif
bagi peserta didik.
Di Indonesia ada beberapa pameran atau bazar buku dengan
skala besar, antara lain: "Big Bad Wolf Books", Indonesia
Internasional Book Fair (IIBF), dan Islamic Book Fair (IBF). "Big Bad Wolf
Books" adalah pameran buku yang berlangsung selama beberapa hari dengan
menawarkan diskon besar-besaran pada buku-buku yang dijual. Acara ini populer
di seluruh dunia dan telah diadakan di beberapa negara di Asia, termasuk
Indonesia. Silakan lihat di sini https://www.bigbadwolfbooks.com untuk informasi selengkapnya. Sedangkan Indonesia
Internasional Book Fair (IIBF) adalah pameran buku tahunan yang diadakan di
Jakarta, dengan peserta dari berbagai negara. Pameran ini menampilkan berbagai
macam buku dari berbagai genre, mulai dari buku anak-anak hingga buku-buku
pelajaran dan ilmu pengetahuan. Selengkapnya dapat dilihat di sini: https://indonesia-bookfair.com. Islamic Book Fair (IBF) adalah pameran buku yang
diadakan terutama untuk buku-buku yang bernuansa islami. Acara ini menampilkan
berbagai jenis buku, fikih, muamalah, tasauf, hingga buku-buku sejarah dan
budaya Islam. Pada awalnya, pameran ini hanya memamerkan buku bernuansa islami
saja namun seiring perkembangan waktu buku-buku lain dari berbagai genre juga
mulai dipamerkan disini. Keterangan lebih detail dapat dilihat di website resmi
IBF: https://islamicbook-fair.com. Ketiga pameran atau bazar buku ini merupakan acara
yang populer di Indonesia dan menawarkan pengalaman yang berbeda-beda bagi
pengunjungnya.
Widyawisata literasi memiliki banyak manfaat bagi
siswa. Pertama, program ini dapat
membantu meningkatkan minat baca siswa. Dalam kunjungan tersebut, siswa dapat
melihat berbagai macam jenis buku dan menemukan buku yang menarik bagi mereka.
Hal ini dapat membantu meningkatkan minat baca siswa dan membantu mereka
mengembangkan kebiasaan membaca yang baik.
Kedua, program widyawisata literasi dapat membantu
meningkatkan pemahaman siswa tentang pentingnya literasi dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam kunjungan tersebut, siswa akan diajak untuk mengenal
berbagai macam jenis buku dan kegiatan literasi lainnya, serta diberikan
penjelasan mengenai manfaat membaca dan menulis. Hal ini dapat membantu siswa
memahami pentingnya literasi dan membantu mereka mengembangkan keterampilan
membaca dan menulis yang baik.
Ketiga, program widyawisata literasi dapat membantu siswa
mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis. Dalam kunjungan pameran
buku ini, peserta didik akan diajak untuk berpartisipasi aktif dan terlibat
dalam kegiatan literasi seperti bedah buku, temu penulis, atau lokakarya menulis. Hal ini dapat membantu
siswa mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis, serta membantu
mereka mengembangkan kepercayaan diri dalam mengekspresikan ide dan pendapat
mereka.
Menutup artikel ini, penulis ingin menyampaikan bahwa
tentu saja masih banyak cara lainnya untuk membangun budaya baca di sekolah.
Beberapa cara yang penulis paparkan di atas merupakan metode yang penulis
anggap berdampak signifikan dalam meningkatkan kompetensi literasi peserta
didik. Caranya boleh berbeda-berbeda namun tujuannya harus sama, yaitu peserta
didik yang memiliki kompetensi literasi tinggi untuk mewujudkan generasi bangsa
yang berdaya.
Terakhir,
berikut ini penulis kutipkan pernyataan publik figur Najwa Shihab ketika
menyambut tahun baru 2023 yang menempatkan kompetensi literasi sebagai harapan
terbesarnya.
“Apa angan-angan, harapan, aspirasi terbesar kamu untuk Indonesia di masa depan? Saya mulai dulu, ya. Kalau saya, Dear Future Indonesia, Saya berangan-angan kecapakan dasar bangsa ini nantinya ditentukan dari kapasitas untuk membedakan mana kabar bohong, dan mana informasi yang sejati. Bangsa yang percakapan sehari-harinya bukan dimulai dari "Katanya" dan "Katanya". Sehingga setiap keputusan yang diambil warga berlandaskan sikap yang rasional, bukan wawasan asal-asalan.”
*Penulis adalah Kepala Perpustakaan MTsN 1 Pandeglang