Menelusuri Sejarah Tionghoa dan Mengenal Karakteristik Penulisan Aksara Han pada Bongpay
Sumber Gambar :Menelusuri Sejarah Tionghoa dan Mengenal Karakteristik Penulisan Aksara Han pada Bongpay
Ditulis oleh : Ida Rowaida
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perjalanan panjang dalam hubungan jalur pelayaran orang-orang Tiongkok ke Indonesia dan ke beberapa negara sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman purba. Walau begitu, menurut Nur Lina dalam skripsinya yang berjudul 'Tata Letak Pecinaan di Bogor', kedatangan mereka pertama kali di Indonesia secara pasti belum dapat di ketahui. Namun melihat catatan perjalanan darat dari Tiongkok ke India milik seorang biksu bernama Faxian yang berjudul Catatan Negara-negara Buddhis, ternyata mengulas sedikit tentang Jawa. Nurni Wahyu Wuryandari, seorang peneliti dari Pusat Studi Cina di Universitas Indonesia dalam wawancaranya di website historia.id, meyakini bahwa dalam perjalanan itu, Faxian sempat mengunjungi Jawa pada 414 M.
Sementara untuk kedatangan resmi, Nurni berasumsi bangsa Tionghoa datang ke Indonesia pada abad ke-7 M pada masa Dinasti Tang. Dimana rute perjalanan ke Nusantara baru bisa dijabarkan lengkap dalam Catatan Sejarah Dinasti Song pada 960 M yang menyebutkan Jawa terletak di Samudera Selatan. Kemudian catatan-catatan perjalanan lain juga bermunculan yang menjadi bukti bahwa jalinan hubungan Tiongkok dan Nusantara, terutama dalam hal perdagangan sangat erat.
Bahkan beberapa dari mereka menetap di Indonesia dan berbaur dengan kebudayaan. Akulturasi dan asimilasi pun menjadi corak baru dalam khazanah warisan budaya, termasuk tradisi penulisan identitas pada nisan di sebuah pemakaman masyarakat Tionghoa. Nisan-nisan itu di kenal dengan nama Bongpay. Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan Khongfusius bahwasanya mereka lebih senang dimakamkan dan dibuatkan Bongpay sebagai rumah singgah terakhir. Menurut Tinjauan Pustaka Universitas Negeri Semarang terhadap Keberadaan Orang Tionghoa di Indonesia yang memuat tradisi-tradisi, bahwa hal tersebut dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi, sebagai bukti penghormatan mereka terhadap leluhur. Mereka percaya dengan melestarikan tradisi tersebut maka hidup mereka akan tentram bersama generasi-generasi berikutnya.
Adapun penulisan identitas pada Bongpay biasanya menggunakan Aksara Han. Menurut Nurhayati yang telah melakukan penelitian aksara han pada Bongpay di Muntang-Tanjung Banyumas, ia mengungkapkan ada dua tipe penulisan. Pertama 繁体字(fantizi), yaitu tipe penulisan yang muncul pertama kali pada masa Dinasti Han (201 SM – 220 M) dan digunakan sejak abad ke-5. Kedua 简体字(jiantizi), yaitu tipe penulisan yang telah disederhanakan dan lebih mudah penulisannya dibanding Fantizi.
Menurut Jurnal Analisa Sosiologi yang berjudul Pemaknaan Bong Pay pada Warga Keturunan Tionghoa di Kelurahan Sudiroprajan Surakarta, Yulia menyebutkan bahwa pembuatan Bongpay tidak bisa asal ukir nama dan ditancapkan begitu saja pada makam, melainkan memperhitungkan Feng shui dan Ting Lan Che Fa. Hasil perhitungan Feng shui akan menentukan letak, arah serta hari baik untuk meletakkan batu Bongpay. Sedangkan, untuk menentukan ukuran dan kedalaman lubang Bongpay harus diperhitungkan menggunakan ilmu Ting Lan Che Fa yaitu ilmu meteran ukuran makam.
Aturan-aturan tersebut harus di terapkan dengan benar. Karena kepercayaan Tionghoa menyatakan bahwa Bongpay yang baik akan membawa kesejahteraan bagi keluarga mendiang yang ditinggalkan dan berlaku sebaliknya jika terjadi kesalahan dalam membuat Bongpay. Maka sebisa mungkin kesalahan tersebut dihindari saat pembuatannya, jika tidak ingin berakhir buruk bagi keluarga mendiang. Pembuatan Bongpay juga merupakan pelambangan bukti bakti dari anak cucu sang mendiang. Biasanya nama mereka dituliskan pada bagian baris kiri pada Bongpay.
Berikut
salah satu Bongpay yang di koleksi oleh Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama
yang memuat 4 posisi penulisan aksara Han berserta cara membacanya berdasarkan
artikel Badan Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Banten. Empat posisi itu antara
lain Baris Tengah, Baris Horizontal (Mata Bongpay), Baris Kanan dan Baris Kiri.

Masing-masing biasanya memiliki keterangan sebagai berikut :
1) Baris
Tengah (berwarna merah)
Menuliskan
tentang nama dan status selama hidup mendiang. Status dan kedudukan dalam
masyarakat selama hidupnya juga boleh dituliskan di sini. Seperti gelar sebagai
orang yang berjasa pada agama atau pemerintahan, ataupun pernah menjadi pejabat
di daerah tertentu.
2)
Baris
Horizontal/Mata Bongpay (berwarna kuning)
Baris
yang horizontal yang biasanya hanya terdiri dari dua karakter huruf kanji.
Biasanya bertuliskan nama daerah (kabupaten tradisional atau desa di Cina),
yang merupakan nama tempat marga atau keluarga almarhum berasal. Nama
tempat atau daerah tersebut sifatnya kuno biasanya setingkat kabupaten. Jika
dikomparasikan dengan masa sekarang, ada yang namanya masih dipakai sebagai
nama kabupaten atau nama kota, ada juga yang sudah melebur menjadi nama desa
atau kecamatan, dan adapula yang sudah hilang.
3)
Baris
Kanan (berwarna hijau)
Menuliskan
masa dan waktu saat bongpay tersebut didirikan. Waktu pendirian bongpay
tersebut ditulis dalam susunan kata yang terbentuk dari kombinasi antara
unsur Ten Heavenly Stems (10 Batang Langit) dan Twelve Earthly
Branches (12 Cabang Bumi) serta nama tahun pemerintahan, yakni nama kaisar
yang sedang bertahta, misalnya Qianlong Jiǎ-Chén (Tahun Naga Kayu
(yang)) pada pemerintahan Qianlong (1735-1795), yakni tahun 1784).
Ada pula
yang menulis tahun kesekian dari pemerintah/kaisar yang berkuasa sampai kepada
hitungan bulan, misalnya Xiangfeng San Nian Hua Yueh (Tahun ke-3 Kaisar
Xianfeng (1850-1861) Bulan Bunga Musim Semi, yakni Februari-Maret tahun
1852). Atau menggunakan Ten Heavenly Stems (10 Batang Langit)
dan Twelve Earthly Branches (12 Cabang Bumi) yang merupakan dua unsur
yang dikombinasikan membentuk siklus enam puluh tahunan (siklus seksagesimal)
atau ganzhi. Ganzhi dipakai sebagai kalender tradisional untuk menunjukkan
tahun, bulan, hari, dan jam.
4)
Baris
Kiri (berwarna biru)
Menuliskan
siapa yang membuat atau mendirikan bongpay tersebut. Biasanya bongpay dibuat
oleh anak, cucu, saudara atau kerabat satu marga dengan mendiang. Ada yang
menuliskan nama asli dari anak laki-laki dan cucu (anak dari anak laki-laki),
ada pula yang hanya menuliskan beberapa karakter sebagai pengganti nama dari
anak dan cucu mendiang. Bagi yang tidak punya anak laki-laki biasanya
menuliskan dibuat oleh anak perempuan.
Selain
sebagai penanda suatu makam dengan identitas yang terukir diatasnya, Bongpay
memiliki nilai urgensitas terhadap kajian sejarah. Misalnya beberapa nisan yang
dikoleksi Museum Taman Prasasti, yang telah di kaji dan di teliti, terdapat
nisan tokoh-tokoh hebat, seperti nisan milik Dr. H.F.
Roll (Pendiri STOVIA atau Sekolah Kedokteran pada zaman pendudukan
Belanda), Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles,
mantan Gubernur Hindia Belanda dan Singapura), Soe Hok Gie, aktivis
pergerakan mahasiswa pada tahun 1960-an, dan lain sebagainya.
Bahkan, Tjiptadinata Effendi berhasil menyusun silsilah keturunan 6 generasi keluarganya berdasarkan penelusuran dari penulisan nisan-nisan itu. Ia menyatakan bahwa apabila seseorang memiliki hubungan keluarga terhadap generasi tertentu, maka pasti namanya ada terpahat di batu nisan. Kalau tidak ada,berarti hubungan kekeluargaan sudah agak jauh dan tidak termasuk dalam keluarga induk. Sejalan dengan itu, Andrik Akira menyatakan keprihatinannya terhadap Bongpay milik Njoo Bing Thwan, seorang Kapiten China Madiun, yang kini telah rata dengan tanah akibat pergusuran. Padahal dari Bongpay itu, informasi mengenai keturunan sang Kapiten dapat ditelusuri lebih jauh.
Daftar
Pustaka
1. Herdahita Putri, Risa. Catatan Pertama
Kedatangan Orang Tionghoa ke Nusantara. Jakarta: Media Digital Historia https://historia.id/amp/kuno/articles/catatan-pertama-kedatangan-orang-tionghoa-ke-nusantara-v5Eg3,
2018
2. Masruroh, Yulia dkk. Pemaknaan Bong Pay pada Warga
Keturunan Tionghoa di Kelurahan Sudiroprajan Surakarta. Surakarta: Jurnal
Analisa Sosiologi 4 (1), 32-43, 2015
3. Rohani, Siti. Cara Membaca Nisan-Nisan Cina
Koleksi MSKBL. Serang: Badan Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Banten. 2020.
4. Tjiptadinata Effendi. Menelusuri Jejak Nenek
Moyang melalui Batu Bongpay. https://www.kompasiana.com/amp/tjiptadinataeffendi21may43/5ac85f6dab12ae6aac03f3e2/batu-nisan-menjadi-saksi-bukan-dongeng,
2018
5.
Akira, Andrik. Tentang Batu Tugu Dari Madiun https://andrikyawarman.wordpress.com/category/tak-berkategori/,
2019