Mengulik Rahasia Anak-Anak Pintar di Dunia

Sumber Gambar :

Oleh: Engkos Kosasih*

Tema tulisan ini adalah untuk mengulas sebuah buku yang berjudul “The Smartest Kids In The World: And How They Got That Way” dan diterjemahkan di Indonesia oleh penerbit Renebook dengan judul The Smartest Kids in The World: Rahasia Anak-Anak Paling Pintar di Dunia, Pola Asuh, dan Sistem Pendidikannya. Penulisnya Amanda Ripley, seorang penulis, jurnalis investigasi, dan pengisi podcast How to!.

Tampaknya salah satu alasan buku ini ditulis, seperti dikatakan penulisnya dalam judul prolog Misteri, adalah pertanyaan kenapa beberapa anak bisa belajar banyak hal sementara sebagian lain justru sebaliknya? Penelusuran investigatif khas seorang wartawan dalam buku ini akan membawa pembaca ke perjalanan menguak jawaban pertanyaan ini.

Membaca buku ini seperti menonton film dokumenter. Kita akan mendapatkan tokoh-tokoh utama di buku ini, yang diperkenalkan penulis buku, Amanda Ripley, pada halaman xv-xii.

Andreas Schleicher. Dialah ilmuwan yang mengendalikan tes pemetaan kecerdasan bernama PISA, Program for International Student Assesment (Program Penilaian untuk Siswa Internasional). PISA dikembangkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development/OECD (Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pengembangan). Organisasi ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara maju.

Tetapi tokoh utama sebenarnya buku ini dimana penulis menyebutnya sebagai agen di lapangan adalah Kim, Eric, dan Tom. Ketiganya merupakan bagian dari proyek penulis dengan menjadi sukarelawan dengan menjalani “petualangan” di tiga negara. Kim dari Oklahoma ke Finlandia, Eric dari Minnesota ke Korea Selatan, dan Tom dari Pennsylvania ke Polandia.

Tiga negara ini dipilih dianggap negara paling sukses atau yang mampu berkembang setidaknya memiliki tiga kategori dasar : pertama, Model utopia Finlandia. Sistem dibangun dari kepercayaan. Anak-anak bisa memiliki kemampuan berpikir yang tinggi tanpa kompetisi yang berlebihan atau adanya campur tangan orangtua. Kedua,  Model tekanan tinggi Korea Selatan. Anak-anak diwajibkan belajar sampai-sampai pemerintah mengeluarkan aturan jam belajar malam. Ketiga, Model metamorfosis Polandia. Negara ini peringkatnya sedang menanjak dengan angka kemiskinan anak tak jauh dari Amerika Serikat. Namun mereka mampu secara dramatis meningkatkan cara berfikir anak-anak. (hal.30)

Pada bab-bab selanjutnya pembaca diajak mengarungi pengalaman Kim, Eric, dan Tom. Alur mundur dan maju dalam narasi penulis tak dapat dihindarkan. Seperti cerita tentang latar belakang kehidupan ketiganya. Kim yang memiliki latar asal Sallisaw di Okhlakhoma, yang memiliki kondisi sekolah yang biasa-biasa saja. Jika diandaikan sebagai sebuah negara, Oklahoma ada di peringkat ke-81 dunia untuk matematika. Posisinya sejajar dengan Kroasia dan Turki. (hal.33)

Untuk mewujudkan impian lulus seleksi pertukaran pelajar ke Finlandia, Kim berjuang untuk memperbaiki tes akademiknya serta berupaya mengumpulkan dana. Kim mencari donatur dengan membuka donasi di platform daring dan membagikan mimpinya mendapatkan dana $10.000. Ia juga menjual barang-barang di situs e-commerce semacam eBay. Kakek neneknya memberinya cek dollar Amerika menggenapkan upayanya.

Eric berbeda lagi. Sebelum berangkat ke Korea, Eric menghabiskan delapan belas tahun hidupnya di Minnentoka, Minnesota, sebuah wilayah kulit putih yang makmur di Mineapolis. Eric berjuang memperbaiki persiapan akademiknya dengan bergabung pada program International Baccaulaureate Diploma, sebuah jalur intens dengan standar internasional. (hal. 60)

Sedangkan Tom, peserta pertukaran pelajar ke Polandia, tinggal di Gettysburg, Pennsylvania, area paling berdarah dalam perang sipil Amerika. Wilayah itu merupakan pedesaan yang hanya berjarak dua jam dari Washington DC. Saat remaja Tom mendengarkan  music Sonic Youth, dan melihat film-film Woody Allen. Di sekolah ia ikut kegiatan olahraga dan Future Farmers of America. (hal. 89)

Kim, Eric, dan Tom mengalami langsung proses pembelajaran di sekolah masing-masing di Finlandia, Korea, dan Polandia. Di samping apa yang diceritakan ketiga pelajar Amerika ini kepada penulis buku, Amanda Rifley, juga memperdalam apa yang menjadi tujuan buku ini ditulis, dengan meliput mewawancarai informan penting di setiap negara.

Karena itu banyak fakta terungkap dalam buku ini terkait kebijakan pendidikan di tiga negara tersebut. Misalnya soal istimewanya profesi guru. Untuk mendapatkan guru yang berkualitas misalnya, Finlandia menerapkan penseleksian yang sangat ketat, bahkan dimulai dari perekrutan calon guru.

Di Finlandia, jurusan pendidikan sangat selektif. Masuk ke program pelatihan guru sama bergengsinya dengan sekolah kedokteran di Amerika. Sejak saat itu mereka sudah menjadi tumpuan harapan pendidikan. Tidak perlu menunggu bertahun-tahun untuk meniti karir sebagai guru dengan berbagai skema evaluasi yang rumit, hanya untuk menyeleksi guru yang memiliki performa terburuk. Guru di Finlandia telah mendapat level pendidikan tertinggi di dunia. (hal. 110)

Semua guru di Finlandia dituntut memiliki gelar Master. Selama mengikuti program master selama satu tahun penuh calon guru menjalani praktik mengajar di sekolah-sekolah terbaik. Dampak ikutan dari seleksi ketat perekrutan dan sistem pelatihan pengembangan guru tampak pula pada pada pandangan murid kepada guru. Murid di Finlandia memupuk rasa hormat yang besar pada institusi dan sekolah. Mereka tahu betapa sulitnya menjadi pengajar. Para siswa menyadari bahwa guru mereka adalah orang-orang sukses.

Fokus pada guru itulah yang dikeluhkan belum sepenuhnya berhasil dilaksanakan Handke, menteri pendidikan Polandia 1997-2000. Handke mengundurkan diri tahun 2000, setelah menyelesaikan program reformasi pendidikan tahap pertama. Ia gagal mendapat dana yang dibutuhkan untuk menaikkan gaji guru seperti janjinya. Kata-kata yang disampaikan tanpa ragu yang dikutip Amanda, ketika ditanya apakah perubahan terakhir yang ingin dilakukannya jika kembali ke masa itu?

“Gurunya. Guru adalah pondasinya, dasar semuanya. Kita memerlukan guru baik, yang disiapkan dan diseleksi dengan baik pula. Saya tak akan mengubah hal lain.” (h.192)

Di Korea suasananya berbeda lagi. Perhatian masyarakat kepada guru terlebih pada  guru hagwon sangat besar. Hagwon adalah tempat bimbel setelah jam sekolah. Sebagian besar remaja Korea lebih memilih guru di hagwon mereka daripada guru di sekolahnya. Dalam survey yang dilakukan pada 6.600 siswa di 116 SMA, siswa memberi guru hagwon nilai yang lebih tinggi. Menyebut jika mereka lebih mempersiapkan diri, lebih berdedikasi, dan lebih menghormati pendapat siswa. Guru hagwon juga terbaik dalam urusan memperlakukan siswa dengan sama, tanpa melihat kemampuan akademis mereka.

Namun demikian pemerintah Korea memandang peran Hagwon sudah tidak lagi sehat. Hagwon sudah menjadi semacam industri pendidikan yang membuat masyarakat berlomba memasukkan anaknya ke hagwon walaupun berbiaya mahal. Pemerintah sampai memberlakukan jam malam untuk hagwon. Bila ketahuan mereka memberlakukan denda yang besar.

Selain guru, layak untuk didiskusikan bagaimana kebijakan pendidikan terkait penerapan ujian sekolah. Di Amerika sendiri dinyatakan bahwa para pembuat kebijakan masih memperdebatkan penerapan ujian tersebut. Beberapa menganggap jika langkah yang itu menciptakan sistem pendidikan yang keras.

Finlandia mewajibkan ujian penyetaraan di akhir sekolah. Tujuannya untuk memotivasi murid dan guru mencapai tujuan yang sama yang jelas dan membuat ijazah SMA lebih berarti. Bahkan, pemerintah korea mengatur ulang jalur lalu lintas udara saat ujian kelulusan. Sementara anak-anak Polandia belajar hingga larut malam dan berakhir pekan di depan buku untuk menghadapi ujian dengan mengenakan pakaian terbaik, setelan, dasi, atau gaun. (hal. 241)

Membaca buku ini menurut saya sangat penting untuk menambah perspektif bagaimana suatu kebijakan pendidikan akan diberlakukan. Data pendidikan sangat penting dalam pengambilan keputusan. Namun perlu pula menyelami data dan mengambil pemaknaan yang lebih mendalam sehingga suatu kebijakan pendidikan dapat dipahami latar belakang dan juga yang lebih penting apa yang diharapkan dalam pemberlakuan kebijakan pendidikan tersebut.

Dalam era global sekarang ini kebijakan pendidikan di suatu negara tak bisa lepas dari saling pengaruh antarnegara. Misalnya salah satu isu penting yang berkaitan dengan bagaimana wajah masa depan pendidikan Indonesia adalah peningkatan status keikutsertaan Indonesia pada Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD). Indonesia telah menjadi negara aksesi OECD, artinya dalam persiapan keanggotaan penuh Indonesia di OECD. Indonesia sendiri sejak tahun 2007 telah menjadi negara mitra OECD bersama Brasil, India, RRT, dan Afrika Selatan.

Selama ini Indonesia telah mengikutsertakan siswa dalam tes PISA sejak tahun 2000. Dari hasil tes ini tergambar kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa di Indonesia yang telah/hampir menyelesaikan masa pendidikan dasar dan juga perbandingannya hasilnya secara internasional. Hasil tes tersebut bagaimana pun telah menjadi perhatian yang luas dan menjadi bahan kajian berbagai kebijakan dan inovasi pembelajaran dalam rangka peningkatan hasil tes PISA di masa-masa mendatang.

Buku The Smartest Kid in The World yang ditulis oleh Amanda Ripley ini memberikan wawasan bagaimana suatu upaya mendalami apa yang sebenarnya terjadi pada negara-negara yang memiliki hasil tes PISA signifikan dan membuat kebijakan pendidikan yang relevan dengan tantangan zaman. Tentunya dalam konteks Indonesia harus ada penyesuaian dengan tujuan pendidikan nasional dan kemampuan pengelolaan aset (sumber daya) pendidikan dengan prinsip berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).

Pada lampiran 1 buku ini juga penulis memberikan semacam panduan awal untuk orangtua untuk memilih sekolah terbaik untuk anak-anaknya. Dan lampiran 2 buku ini menyajikan survey pengalaman siswa AFS (American Field Service), satu organisasi yang memfasilitasi pertukaran pelajar di lebih dari lima puluh negara. Selamat membaca.

*Penulis adalah Guru di SMK Negeri 11 Pandeglang


Share this Post