Pendekatan Pendidikan Multikultural Dalam Membangun Literasi Siswa

Sumber Gambar :

Oleh: Muhammad Fahri*

Di Indonesia, sikap siswa terhadap keberagaman, kesetaraan, dan inklusi mungkin terpengaruh oleh faktor budaya dan masyarakat. Seperti nilai-nilai, kepercayaan dan prilaku diskriminasi prasangka terhadap kelompok tertentu, Misalnya kelompok etnis atau agama yang terpinggirkan atau kelompok minoritas. Selain itu, kurangnya pendidikan dan kesadaran tentang isu-isu ini juga cukup mempengaruhi terhadap sikap negatif. Untuk mengatasi masalah ini, mungkin ada gunanya menerapkan pendidikan inklusif, kebijakan dan program yang mendorong pemahaman dan penerimaan keberagaman baik di sekolah maupun universitas, serta untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan tentang isu-isu ini secara lebih luas kepada masyarakat.

            Permasalahan sikap siswa terhadap keberagaman, kesetaraan, dan inklusi merupakan sebuah permasalahan yang kompleks dan masalah multifaset yang dapat diwujudkan dalam berbagai cara. Misalnya, siswa mungkin memiliki pandangan buruk atau keinginan untuk mendiskriminasi terhadap kelompok masyarakat tertentu, dan mungkin juga sampai melakukan tindakan diskriminatif seperti pengucilan. Selain itu, siswa juga mungkin kekurangan pemahaman atau kesadaran akan pentingnya keberagaman, kesetaraan, dan inklusi dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif dan inklusif. Sikap negatif ini dapat menyebabkan kurangnya keterlibatan dan lingkungan belajar yang kurang baik.

            Penelitian telah menunjukkan bahwa sikap siswa terhadap keberagaman, kesetaraan, dan inklusi dapat mempengaruhi ditingkatkan melalui berbagai intervensi seperti, kebijakan dan program pendidikan inklusif, pengajaran responsif budaya, dan pelatihan guru tentang kompetensi budaya. Program-program ini bisa membantu siswa mengembangkan pemahaman tentang budaya dan keanekaragaman persepktif, dan perlu melakukan dialog dan kolaborasi untuk saling menghormati dari berbagai latar belakang.

            Apalagi memberikan peluang melalui pendekatan pendidikan Multikultural kepada peserta didik untuk berinteraksi dengan individu dari berbagai latar belakang, melibatkan mereka dalam diskusi dan aktivitas yang mendorong pemahaman dan penerimaan keberagaman, serta menciptakan tradisi belajar saling menghargai antara individu dengan individu, maupun kelompok dengan kelompok.

            Dalam melaksanakan pendidikan multikultural di suatu sekolah, perlu dilakukan reformasi kebijakan, interaksi verbal antara guru dan siswa, budaya, kurikulum, kegiatan ekstrakurikuler, sikap terhadap bahasa minoritas, program ujian, dan pengelompokan praktik. Norma kelembagaan sekolah, struktur sosial, pernyataan, nilai, dan tujuan keyakinan harus ada diubah dan direkonstruksi.

            Perhatian utama dalam pendidikan keberagaman harus difokuskan pada hal-hal yang “tersembunyi” di sekolah serta norma dan nilai yang tertanam di dalamnya. Kurikulum tersembunyi dapat diartikan sebagai hasil pendidikan yang ada di sekolah maupun di luar sekolah, terutama hasil yang dipelajari tetapi tidak secara eksplisit tercantum sebagai tujuan.

            Jerald menegaskan bahwa kurikulum tersembunyi merupakan kurikulum implisit yang mengungkapkan dan mewakili sikap, pengetahuan dan perilaku yang disampaikan atau dikomunikasikan secara tidak sadar. Meski disadari cukup sulit menganalisis dan mengamati kurikulum tersembunyi di suatu sekolah, Cornbleth memberikan indikator dalam mengukur ada tidaknya kurikulum tersembunyi. kurikulum tersembunyi dari suatu sekolah, yaitu kurikulum tersembunyi yang terlihat dari guru, siswa, dan lingkungan sekolah. Sekolah mempunyai kurikulum yang nyata dan tersembunyi. Kurikulum wujudnya terdiri dari faktor-faktor seperti panduan, buku ajaran, papan pengumuman, dan rencana kegiatan belajar mengajar. Ini aspek lingkungan sekolah juga penting dan harus direformasi untuk mewujudkan sekolah budaya yang mendorong sikap positif terhadap kelompok budaya yang beragam dan membantu siswa darinya kelompok-kelompok ini mengalami keberhasilan akademis. Namun “kurikulum tersembunyi” di sekolah seringkali lebih dari itu, penting daripada kurikulum nyata atau terbuka. Kurikulum tersembunyi dapat diartikan sebagai kurikulum yang tidak ada.

            Diajarkan oleh guru secara eksplisit, namun semua siswa mempelajarinya, merupakan bagian yang kuat dari budaya sekolah yang mengkomunikasikan kepada siswa tentang sikap sekolah terhadap berbagai persoalan.

            Selain itu, beberapa ahli mengidentifikasi pendekatan dalam pendidikan keberagaman, termasuk yang diungkapkan oleh Christine Sleeter dan Carl A. Grant, yaitu:

  1. Pengajaran dengan Pendekatan yang Luar Biasa dan Berbeda Secara Budaya

Pendekatan ini untuk membangun jembatan dalam membantu siswa memperoleh keterampilan kognitif dan pengetahuan tentang perbedaan dan keberagaman. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk memfasilitasi siswa dengan keterampilan, konsep, informasi, bahasa, dan nilai kognitif yang dibutuhkan siswa untuk memahami keragaman, perbedaan institusi dan tradisi di Tengah-tengah masyarakat.

  1. Pendekatan Hubungan Manusia

Pendekatan ini membahas perbedaan dan persamaan individu, termasuk kontribusi dari kelompok individu di mana siswa menjadi anggota dan menyediakannya informasi akurat tentang berbagai suku, ras, jenis kelamin, atau kelas sosial. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan rasa persatuan, toleransi, dan rasa hormat satu sama lain. Jadi dengan pendekatan ini diharapkan dapat membangkitkan perasaan positif di kalangan yang beragam siswa, meningkatkan jati diri kelompok dan kebanggaan siswa terhadap karakter, mengurangi stereotip, dan berupaya menghilangkan prasangka dan bias.

Sedangkan Pengajarannya dengan pendekatan yang Luar Biasa dan Berbeda Secara Budaya menekankan membantu siswa memperoleh keterampilan kognitif dan pengetahuan baik secara formal dan kurikulum tersembunyi, pendekatan hubungan manusia berfokus pada sikap dan perasaan yang dimiliki siswa tentang diri mereka sendiri dan satu sama lain.

  1. Pendekatan Studi Kelompok Tunggal

Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan status sosial kelompok tertentu. Pendekatan ini berfokus pada satu kelompok tertentu pada waktu di luar kegiatan belajar kelas sehingga kelompok itu dapat dikembangkan secara koheren. Pendekatan ini menawarkan penjelasan yang lebih mendalam kajian terhadap kelompok tertindas untuk memberdayakan anggota kelompok, sehingga dapat menumbuhkan rasa kebersamaan, kebanggaan dan kesadaran kelompok.

  1. Pendekatan Pendidikan Multikultural

Pendekatan ini mensintesis ide-ide dari tiga pendekatan sebelumnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi prasangka dan diskriminasi terhadap kelompok tertindas, untuk mencapai sebuah tujuan, yaitu persamaan hak, dan keadilan sosial bagi semua kelompok. Tujuan ini diwujudkan dengan mencoba mereformasi proses sekolah untuk semua anak, terlepas dari apakah sekolah tersebut adalah sekolah pedesaan atau sekolah perkotaan. Reformasi yang dilakukan hanya berkisar pada prinsip multikulturalisme dan kesetaraan antar kelompok maupun individu.

Dalam pendekatan ini, pengajaran dimulai dengan asumsi bahwa siswa mampu belajar materi yang kompleks dan mampu terus belajar pada tingkat keterampilan yang lebih tinggi lagi. Setiap siswa memiliki gaya belajar pribadi dan unik yang ditemukan guru selama proses belajar dan mengajar. Guru memanfaatkan dan menggunakan skema konseptual (Pemikiran dan pengetahuan tentang dunia) yang dibawa siswa ke sekolah. Pembelajaran kooperatif dibina, baik siswa laki-laki maupun perempuan diperlakukan sama. Multikultural Pendekatan pendidikan, lebih dari tiga pendekatan sebelumnya, mendukung reformasi sekolah secara total untuk menjadikan sekolah mencerminkan keberagaman. Ia juga menganjurkan untuk memberikan perhatian yang sama terhadap berbagai hal kelompok budaya terlepas dari apakah kelompok tertentu terwakili di sekolah populasi siswa.

  1. Pendekatan Pendidikan Keadilan Sosial Multikultural

Pendekatan ini berhubungan lebih langsung dibandingkan pendekatan lain terhadap penindasan dan kesenjangan struktural sosial berdasarkan ras, kelas sosial, gender, dan keragaman lainnya. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan warga masa depan untuk mengambil tindakan sehingga masyarakat dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepentingan semua kelompok masyarakat, terutama kelompok kulit berwarna, kemiskinan, atau disabilitas. Pendekatan ini berakar pada rekonstruksi sosial, yang berupaya merekonstruksi Masyarakat menuju kesetaraan yang lebih besar dalam bidang ras, kelas, gender, dan disabilitas.

Pendidikan multikultural adalah sebuah keniscayaan, pasalnya paradigma dan metode untuk mengeksplorasi potensi keanekaragaman suku dan budaya nusantara, serta menampungnya dalam suatu manajemen konflik yang memadai. Pendidikan multikultural merupakan kearifan dalam menyikapi dan mengantisipasi dampak negatif globalisasi yang memaksakan homogenisasi dan hegemoni pola dan gaya hidup. Ini juga merupakan jembatan yang menghubungkan dunia multikultural yang berusaha direduksi menjadi satu dunia menjadi dua kutub yang saling bertabrakan antara barat-timur dan utara-selatan.

Memang, pergeseran sosial ini merupakan sesuatu yang lumrah karena tidak diketahui sebelumnya. Setiap komunitas menutup diri dan memiliki koalisi kesatuan yang dipaksakan. Kita telah melihat sebelumnya bahwa di pendidikan multikultural tidak ada kelompok masyarakat yang mengagung-agungkan nilai-nilai kelompoknya sendiri. Tetapi mengakui nilai-nilai budaya pada kelompok lain. Karena pendidikan multikultural tidak akan mengenal adanya fanatisme atau sosial budaya fundamentalisme termasuk agama, karena setiap masyarakat mengakui dan menghormati perbedaan yang ada.

Kekayaan keberagaman agama, suku, dan budaya ibarat pedang bermata dua. Pada  sisi lain, kekayaan tersebut merupakan harta karun yang patut dilestarikan dan memberi nuansa dan dinamika bagi bangsa, serta dapat menjadi titik awal terjadinya perselisihan, baik konflik vertikal maupun konflik horisontal.

            Perbedaan antara kelompok agama, kelompok etnis, dan kelompok sosial budaya telah meningkat dalam hal ukuran dan signifikansi politik dalam beberapa tahun terakhir, dan hal ini menyebabkan adanya tuntutan agar kebijakan dan program sosial harus tanggap terhadap kebutuhan dan kepentingan keberagaman tersebut. Memenuhi tuntutan ini memerlukan kepekaan budaya yang lebih besar, koalisi yang lebih baik, dan negosiasi pluralistik-kompromi juga. Ketegangan etnis dan kelompok kepentingan tertentu dapat dipercepat, dan akibatnya terjadi persaingan untuk mendapatkan berbagai sumber daya yang terbatas tersebut seperti pekerjaan, perumahan, kekuasaan politik, dan sebagainya.

Permasalahan utama yang dihadapi para pendidik dan gerakan sosial keagamaan di era ini pluralisme dan era multikulturalisme adalah bagaimana menjaga tradisi keagamaan masing-masing tetap mampu melestarikan, memelihara, melanggengkan, mewariskan generasi, dan mewariskan kepercayaan dan tradisi itu diyakini sebagai kebenaran mutlak, namun pada saat yang sama juga menyadari sepenuhnya keberadaan tradisi agama lain yang juga melakukan hal serupa. Selain memperkuat identitas diri dan kelompoknya, harus ada upaya yang dilakukan oleh sosio-religius pendidik di masing-masing tradisi juga menjaga kebersamaan, kohesi sosial, dan kesamaan integritas. Jika disadari perlunya hal ini, maka renungkanlah implikasi dan konsekuensinya.

            Semua permasalahan krusial ini tidak akan terselesaikan tanpa meninggalkan konsep masyarakat majemuk dan beralih ke konsep masyarakat multikultural. Dalam banyak hal, etnisitas dapat dipandang sebagai fenomena persepsi diri. Sekelompok etnis adalah komunitas yang meyakini dirinya berasal dari etnis yang sama. Berbagai adat istiadat budayanya sama, mempunyai nenek moyang yang sama, sejarah dan mitologi yang sama.

            Kebudayaan membentuk perilaku, sikap, dan nilai-nilai manusia. Perilaku manusia adalah akibatnya proses sosialisasi, dan sosialisasi selalu terjadi dalam konteks tertentu lingkungan etnis dan budaya. Etnisitas dapat diartikan sebagai kelompok kolektif kesadaran yang menanamkan rasa memiliki yang timbul dari keanggotaan dalam masyarakat yang terikat oleh kesamaan nenek moyang dan budaya.

Manusia adalah makhluk sosial yang membawa kodrat biologis dan psikologis ciri-ciri serta warisan dari latar belakang sejarah suku bangsanya, pengalaman budaya dan warisan kolektif. Ketika seorang pendidik menyatakan bahwa prioritas utamanya adalah memperlakukan semua siswa sebagai manusia, tanpa memandang identitas etnis, latar belakang budaya, atau status ekonomi, ia telah menciptakan sebuah paradoks. Kemanusiaan seseorang tidak dapat dipisahkan dan terpisah dari budaya dan etnisnya. Pengaruh budaya dan etnis sejak awal sudah nyata dan terus merasuki seluruh proses perkembangan dan pertumbuhan umat manusia.

Perpecahan terbesar antara umat manusia adalah bersumber dari kebudayaan dan peradaban. Meskipun negara-bangsa akan menjadi aktor yang kuat, yang utama konflik dalam politik global akan terjadi antara negara dan kelompok budaya yang berbeda.

Globalisasi telah melahirkan sebuah paradoks. Pemberontakan permanen atas keseragaman dan integrasi, yang ada adalah budaya, bukan negara. Bagiannya bukanlah keseluruhan. Sekte adalah bukan agama. Selain etnis, agama juga menjadi medan pertempuran. Apapun bentuk universalismenya diberikan anugerah dalam sejarah, seperti monoteisme Yahudi, Kristen, dan Islam. Secara modern perwujudan ketiga agama besar ini bersifat parokial dan bukan kosmopolitan.

Dalam proses globalisasi, integrasi pasar dunia, negara-bangsa, dan teknologi yang memungkinkan individu, perusahaan, dan negara untuk menjangkau lebih jauh dunia dalam waktu yang relatif cepat dan murah, juga menyisakan masyarakat yang tidak mampu tiket globalisasi, oleh karena itu, para pendukung multikultural percaya bahwa penghormatan terhadap pluralisme akan menjawab ketegangan antar kelompok.

James A. Banks telah mengidentifikasi empat pendekatan terhadap integrasi etnis dan konten multikultural ke dalam kurikulum pendidikan multikultural yang telah berkembang sejak tahun 1960-an.

            Pertama, Pendekatan kontribusi. Pendekatan ini adalah salah satu yang paling banyak digunakan dan sering digunakan secara luas selama fase pertama gerakan untuk mengakomodasi yang sudah ada keberagaman. Cara ini juga sering digunakan ketika sebuah sekolah melakukan upaya pertama untuk melakukan integrasi konten etnis dan multikultural ke dalam kurikulum. Pendekatan atau metode ini ditandai dengan masuknya konten etnis dan artefak budaya ke dalam kurikulum. Jadi, individu seperti Krispus Attucks, Benjamin Bannaker, Sacajawea, Booker T. Washington, dan Cesar Chavez, Soekarno dan tokohnya dari berbagai etnis dan kelas sosial ditambahkan ke dalam kurikulum. Dalam pendekatan ini mendiskusikan dan mempelajari perbedaan melalui unsur-unsur budaya yang berbeda seperti makanan, tarian, musik, dan artefak dari kelompok etnis.

            Pendekatan kontributif juga dapat dilakukan melalui hari libur yaitu ajaran nilai-nilai budaya atau agama dan ini adalah varian dari pendekatan ini. Dalam pendekatan ini, konten etnis juga dapat diperkenalkan di sekolah melalui hari-hari atau waktu-waktu yang berkaitan dengan acara dan perayaan etnis seperti budaya hari ayah, hari kemerdekaan, hari Natal, hari keluarga, perayaan Idul Fitri dan berbagai perayaan lainnya. Pada perayaan ini, guru melibatkan siswa dalam pelajaran, pengalaman, dan lomba-lomba yang berkaitan dengan suku bangsa yang diperingati.

            Kedua, Pendekatan aditif, yang merupakan pendekatan penting mengintegrasikan konten etnis ke dalam kurikulum. Pendekatan ini menggunakan penambahan konten, konsep, tema, dan cara pandang terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya, tujuan dan karakteristik. Pendekatan aditif ini sering dilakukan dengan menambahkan sesuatu yang tertentu buku, unit, atau kursus untuk memperkenalkan keragaman individu dan budaya tanpa mengubah kurikulum secara substansial.

            Pendekatan aditif memungkinkan guru untuk memasukkan konten etnis ke dalam kurikulum tanpa restrukturisasi kurikulum. Pendekatan ini bisa menjadi fase pertama reformasi kurikulum transformatif. Hal ini dirancang untuk merestrukturisasi kurikulum secara keseluruhan dan untuk mengintegrasikannya dengan konten etnis, perspektif, dan kerangka acuan.

            Ketiga, Pendekatan transformatif yang berbeda secara fundamental pendekatan kontributif dan aditif. Dalam kedua pendekatan tersebut, konten etnis ditambahkan kurikulum inti utama tanpa mengubah asumsi dasar, sifat, dan struktur. Pendekatan transformatif mengubah asumsi dasar kurikulum dan memungkinkan siswa untuk melihat konsep, isu, tema, dan permasalahan dari berbagai sudut pandang etnis dan sudut pandang. Dimungkinkan untuk tidak melihat setiap masalah, konsep, peristiwa, dan masalah dari sudut pandang satu kelompok etnis saja, namun tujuan dari metode ini adalah untuk memungkinkan siswa melihat konsep dan permasalahan dari sudut pandang yang berbeda. Lebih dari satu perspektif dan sudut pandang budaya, etnis, dan kelompok ras lain dapat dipelajari dan dipahami oleh siswa.

            Keempat, Pendekatan aksi sosial yang mencakup seluruh unsur pendekatan transformatif tetapi menambahkan komponen yang mengharuskan siswa mengambil keputusan dan mengambil tindakan terkait dengan suatu konsep, isu, atau masalah. Tujuan utama pengajaran dalam pendekatan ini adalah mendidik siswa untuk memberikan kritik sosial dan melihat perubahan sosial dan mengajari mereka keterampilan mengambil keputusan dalam melihat perbedaan.

            Tujuan utama dari pendekatan aksi sosial adalah membantu siswa memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat sehingga dapat menjadi peserta penuh dalam masyarakat dan bangsa mencapai cita-cita kesetaraan dan keadilan. Untuk berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial masyarakat, siswa harus diajari kritik sosial dan harus dibantu untuk memahaminya ketidakkonsistenan antara cita-cita dan kenyataan sosial serta bagaimana siswa dapat menerapkannya sebagai individu atau kelompok. Dalam pendekatan ini, guru berperan sebagai agen yang melakukan promosi nilai-nilai multikultural. Bila dimodelkan dalam pendekatan:

            Pertama, pendekatan kontribusi berfokus pada kognisi multikultural seperti karakter dan elemen budaya yang terpisah. Kedua, pendekatan additive merupakan konsep dalam perpektif yang ditambahkan ke dalam kurikulum belajar tanpa mengubah strukturnya. Ketiga, pendekatan transformasi, merupakan struktur kurikulum diubah untuk memungkinkan siswa dapat melihat konsep, masalah, peristiwa dan tema dari sudut pandang dari berbagai etnis dan kelompok budaya lainnya. Keempat, pendekatan aksi sosial, dimana siswa yang terlibat langsung dalam konteks sosial membuat Keputusan tentang isu-isu sosial penting serta turut terlibat menyelesaikannya.

            Empat cara atau pendekatan integrasi konten multikultural ke dalam Kurikulum sering dicampur dalam situasi pengajaran yang sebenarnya. Salah satu pendekatan, seperti pendekatan kontributif, dapat digunakan sebagai sarana untuk berpindah ke pendekatan lain. Pendekatan yang lebih menantang secara intelektual, seperti pendekatan transformatif sosial dan pendekatan tindakan, lebih cocok bila dapat dilakukan secara bertahap dan dalam waktu singkat dan terpadu.

*Alumni UIN Jakarta


Share this Post