Pengembangan Bahan Ajar Realistic Mathematics Education (RME) Pada Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar

Sumber Gambar :

Pengembangan Bahan Ajar Realistic Mathematics Education (RME) Pada Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar

Penulis: Muhammad Fahri*

 

 

Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting yang dapat menunjang keberlangsungan hidup seseorang dalam mensejahterakan hidupnya, terutama pendidikan formal. Pendidikan formal memiliki arti bahwa suatu jenis pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang dilaksanakan di berbagai sekolah dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu setiap orang memiliki kewajiban untuk mengikuti jenis pendidikan ini.

Susanto (2013: 19) mengatakan tujuan pendidikan ialah untuk meningkatkan potensi yang dimiliki seseorang untuk menjadi insan yang memiliki arahan hidup yang baik. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut dibutuhkan proses pembelajaran yang baik yang mengarahkan pada pembelajaran mandiri siswa. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interkasi siswa dengan guru dan sumber belajar di suatu lingkungan belajar.

Matematika merupakan mata pelajaran yang tersedia di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia. Sasaran pembelajaran matematika diantaranya ialah mengembangkan kemampuan berpikir siswa secara matematis (Ratih Purnamasari, 2011: 119). Oleh karena itu dengan adanya pembelajaran matematika diharapkan mampu mengembangkan berpikir siswa yang bernalar logis, kritis serta sistematis. Kenyataan yang masih ditemui adalah masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Salah satu permasalahan yang dihadapi ialah tanggapan buruk dari siswa sendiri, yang beranggapan bahwa mata pelajaran matematika ialah mata pelajaran yang ada yang paling sulit untuk dipelajari.

Zulaini Masruro Nasution (2017: 69) menyatakan fakta lapangan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa masih rendah, salah satunya berdasarkan tes Programme For International Student Assesment (PISA), Indonesia adalah salah satu negara peserta PISA. Distribusi kemampuan matematika siswa dalam PISA adalah level 1 (sebanyak 49,7% siswa), level 2 (25,9%), level 3 (15,5%), level 4 (6,6%), level 5-6 (2,3%). Pada level 1 ini siswa hanya mampu menyelesaikan persoalan matematika yang memerlukan satu langkah.

Salah satu materi matematika yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah pecahan. Selain itu pecahan juga merupakan dasar dalam belajar matematika lebih lanjut. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan guru di kelas IV SD Islam Raudhah BSD menyatakan bahwa masih banyak siswa yang nilainya masih di bawah KKM yaitu 70. Jumlah siswa yang dinyatakan dari 33 siswa sekitar 70% nilai matematika di atas KKM dan 30% nilai matematika di bawah KKM. Terutama pada materi pecahan, siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep materi pecahan.

Ada beberapa penyebab di balik semua alasan itu, ialah ketika pembelajaran berlangsung masih banyak siswa yang kurang fokus dalam belajar, sugesti siswa yang selalu menyatakan bahwa belajar matematika itu sangat sulit sehingga sugesti tersebut mempengaruhi ketertarikan siswa untuk belajar matematika menjadi menurun. Siswa merasa kesulitan dalam mengerjakan soal cerita yang berdasarkan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran matematika yang dilakukan masih bersifat konvensional dengan status guru sebagai Teacher Centered. Bahan ajar yang digunakan oleh guru pun kurang mendukung karakteristik apa yang dibutuhankan oleh siswa dalam membantu pemahaman konsep matematika terutama pada konsep materi pecahan.

Berdasarkan penyebab masalah yang ada dapat diajukan usulan alternatif tindakan yang dapat dilakukan oleh guru untuk mempu membantu pemahaman konsep matematika siswa. Salah satu alternatifnya ialah penggunaan bahan ajar yang dikembangkan berbasis Realistic Mathematics Education (RME). Ratih Purnamasari (2015: 121) menyatakan bahwa penggunaan bahan ajar yang berbasis realistik dapat membuat matematika menjadi lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak pembelajaran realistik juga sangat mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa, menekankan belajar matematika “learning by doing”, memfasilitasi penyelesaian masalah matematika dengan tanpa menggunakan penyelesian (algoritma) yang baku serta menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika.

1.      Bahan Ajar

Bahan ajar adalah serangkaian penyajian materi yang disusun secara sistematis, yang di dalamnya terdapat model pembelajaran yang disesuaikan yang dapat memfasilitasi siswa dan guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar guna untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Menurut Andi Prastowo (2018: 51) bahan ajar merupakan segala bahan (baik itu informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara sistematis yang menampilkan sosok untuh dari kompetensi yang akan dikuasai oleh peserta didik dan digunkan dalam proses pembelajaran dengan tujuan untuk perencanaan dan penelaah implementasi pembelajaran.

Bahan ajar hendaknya memiliki prinsip dalam penyusunannya. Prinsip yang perlu diperhatikan dalam menyusun bahan ajar meliputi prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan (Iis Saodah, 2016: 84). Ketiga prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a.       Prinsip relevansi Dalam menyusun bahan ajar hendaknya relevan atau ada kaitan/hubungan dengan pencapaian standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD).

b.      Prinsip konsistensi Penyusunan bahan ajar hendaknya konsistensi dengan pencapaian SK dan KD

c.       Prinsip kecukupan Bahan ajar hendaknya disusun sesuai dengan kebutuhan materi yang akan dipelajari siswa.

 

2.      Pembelajaran Matematika Realistik

Ariyadi Wijaya (2012: 20) mengemukakan bahwa Pendidikan Matematika Realistik (PMR) merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika di Belanda . Kata “realistik” sering disalahartikan sebagai “real-world”, yaitu dunia nyata. Banyak pihak yang mengangap bahwa Pendidikan Matematika Realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika harus selalu menggunakan masalah sehari-hari.

Menurut Freudenthal yang dikutip oleh Putri Hana Pebrian (2017: 73) RME memiliki karakteristik yakni: (1) mengawali pembelajaran matematika dengan masalah nyata, (2) menggunakan model penyelesaian masalah yang dikontruksi oleh siswa melalui bimbingan guru, (3) menggunakan kontribusi siswa, (4) memaksimalkan interaksi siswa, guru dan sumber belajar, (5) mengaitkan materi dengan topik matematika lainnya.

Adapun prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan PMR adalah sebagai berikut:

a.      Guide Re- Invention atau “menemukan kembali secara terbimbing” prinsip itu menekankan penemuan kembali secara terbimbing.

b.   Progresive Mathematization atau matematika progresif, prinsip ini menekankan matematisasi atau pematematikaan yang dapat diartikan sebagai pengupayaan mengarahkan kepada pemikiran matematika.

c.    Didactical Phenomenologi atau phenomenology didaktik. Prinsip pembelajaran yang bersifat mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk mengenalkan topik-topik matematika kepada siswa.

d.      Self Developed model atau membangun sendiri model. (Rahmiati, 2018: 30-31).

Berdasarkan pembahasan di atas bahwa kesulitan belajar matematika merupakan gangguan yang dimiliki anak dengan faktor internal dan eksternal pada anak yang menyebabkan kesulitan dalam memproses, memahami, dan mengalisis pembelajaran. Selain faktor diri sendiri, tentu sangat berpengaruh juga dengan faktor aktifitas pembelajaran di kelas. Pembelajaran yang tidak efisen dan efektif dari sang guru akan menyebabkan anak kesulitan belajar. Dalam hal ini guru harus mampu memberikan pelayanan dan bimbingan yang lebih untuk anak yang kesulitan belajar matematika.

Dengan ini kami penulis ada beberapa rekomendasi yang dapat diberikan. Pertama, masalah siswa kesulitan belajar matematika merupakan masalah yang besar di Indonesia, dengan ini kami berharap seluruh pihak yang terkait bisa fokus untuk mencari solusi dan formulasi agar pelajaran matematikan dapat digemari banyak anak dan secara pembelajaran bisa mudah dipahami. Kedua, anak yang belajar matematika masih banyak yang kebingungan dalam penerapan kehidupan sehari-hari. Siswa menilai matematika tidak lebih dari pelajaran rumus dan angka, dengan ini penting kiranya dewan guru ketika belajar matematika bisa mencontohkan dengan kehidupan nyata secara sederhana (belajar matematika realistik) agar siswa bisa mudah memahami pembelajaran matematika di kelas. Ketiga, pengajaran harus benar-benar memperhatikan bahan ajar yang akan disampaikan kepada siswa untuk belajar matematika. Dengan ini, dewan guru bisa mengajari siswanya dari pelajaran yang dianggap sulit menjadi pelajaran yang menyenangkan dengan cara menyederhanakannya,

Penutup tulisan ini adalah tetap semangat untuk semua dewan guru dalam menjalankan kewajibannya mencerdaskan anak bangsa. Semoga semua dewan guru di Indonesia senantiasa diberikan kesehatan, kelancaran aktifitas, dan setiap nafasnya diridhoi oleh Allah SWT.

* Ketua Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta


Share this Post