Peran Pemerintah Mempercepat Kesetaraan Akses Informasi Bagi Difabel

Sumber Gambar :

Oleh Ryan Faathir Hokiarta*

Pendahuluan

Dilansir dari media berita Tempo yang ditulis oleh (Nilawaty, 2021) World Health Organization (WHO) mengatakan jumlah penyandang difabel dipredisikan mengalami kenaikan yang bertahap. Hal ini sesuai dengan data yang diberikan oleh WHO dalam (Nurussyifa, 2018), pada tahun 2016 tercatat setidaknya 1,11 miliar penduduk global berstatus difabel. Dilanjut lagi oleh WHO pada (Databoks, 2021), pada tahun 2021 tercatat sebanyak 1,3 miliar berstatus difabel. Bahkan di Indonesia sendiri yang dilansir dari lembaga non pemerintah (iacepa katalis, 2023) menegaskan setidaknya 23 juta orang Indonesia merupakan penyandang disabilitas pertahun 2022. Kemudian adanya temuan terdahulu oleh (Pramashela & Rachim, 2022) bahwasanya 2 dari 10 kota yang ada di Indonesia yakni Tegal dan Banda Aceh yang baru optimal per tahun 2017, dan yang terparah jatuh pada kota Malang dengan persentase 72% tidak optimal. Khususnya pada fasilitas umum mencakup transportasi umum hingga trotoar tidak aksesibel bagi difabel untuk aktifitas sehari-hari. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, dengan meningkatnya jumlah difabel, apakah hak akses mereka di Indonesia saat ini sudah terpenuhi secara keseluruhan. Mengingat fasilitas umum saja masih ada yang tidak optimal di Indonesia. Berdasarkan temuan survei oleh lembaga non pemerintah Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB, 2024) yang bekerjasama dengan kemitraan Australia,  ditemukan bahwa pada pemilu Indonesia 2024 lalu hanya sebagian kecil dari responden yang mendapatkan pembelajaran dari balai rehabilitasi, dengan angka 0,6% dari total 479 responden difabel yang terlibat. Lebih lanjut, temuan menunjukkan bahwa 25,3% dari responden mengalami kesulitan dalam memahami informasi terkait pemilu karena bahasa yang digunakan cenderung rumit bagi kaum difabel.

Untuk mengetahui urgensi kesetaraan akses informasi bagi kaum difabel kita perlu mengetahui jumlah penyandang difabel. Peta persebaran penduduk difabel di Indonesia sendiri pada tahun 2018 dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) menurut (Subdirektorat Indikator Statistik, 2020) jumlah terbesar penyandang difabel ada pada penduduk dewasa dari umur 18-59 tahun. Berikut adalah sebaran difabel menurut BPS, yaitu difabel anak (usia 5-17 tahun) sebesar 3,3% dari total anak, difabel dewasa (18-59 tahun) sebesar 22,0% dari seluruh penduduk dewasa usia 18-59 tahun, dan difabel lansia (usia 60 tahun keatas) sebesar 3,8%, dengan jumlah keseluruhan setidaknya mencapai 38,9 juta orang.

Melihat tingginya jumlah penyandang difabel, khususnya rentang usia produktif, penting bagi masyarakat dan pemerintahan untuk mewujudkan kesetaraan difabel dalam mendapatkan hak untuk mendapatkan akses informasi. Tetapi apakah kesetaraan akses informasi bagi difabel sudah tercapai sepenuhnya? Pada penelitian (Hadiyat, 2014) kesetaraan akses informasi tercapai apabila pengaruh kesenjangan akses informasi, seperti tingkat pendidikan yang rendah, rendahnya usia angkatan kerja, dan kurangnya keterlibatan pemerintah, telah dihilangkan. Namun dari data yang diperoleh Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dalam (Prasojo, 2020) diakatakan pada tahun 2018 jumlah penyandang difabel yang dikategorikan sebagai usia pekerja hanya berjumlah 11,2 juta sedangkan di sisi lain menurut (Badan Pusat Statistik, 2018) jumlah usia pekerja yang tidak difabel menduduki 133,94 juta. Jumlah pekerja difabel hanya 7.7%, ditahun yang sama BPS menyatakan bahwa jumlah penduduk difabel di usia produktif berjumlah 22.0%. Selisih yang cukup jauh jika membandingkan jumlah pekerja difabel. Berdasarkan penelitian (Susiana & Wardah, 2019) penyebab dari rendahnya usia angkatan kerja di Indonesia terjadi karena banyak dari kelompok difabel tidak menyelesaikan jenjang pendidikan formal lanjut hingga perguruan tinggi hingga diskriminasi pada posisi pekerjaan. Ambil contoh dari penelitian ini ditemukan, empat BUMN yang berada di Aceh yaitu PT. Angkasa Pura II, PT. PLN, PT. Kimia Farma, dan PT. BRI. Hanya PT BRI yang memperkerjakan difabel, sebanyak 3 orang. Dilanjut dengan pencapaian tingkat pendidikan difabel menunjukan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dalam (Prasojo, 2020) tercatat pada tahun 2018 masyarakat difabel tidak sekolah sebanyak 30,7% dilanjut tidak tamat sekolah dasar (SD) 28,2%, lulus SD 24,0%, lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) 21,2%, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) 18,7%. Kemudian pada tahun 2020 juga didapatkan sebuah data lulusan pendidikan difabel mengalami peningkatan tidak tamat SD, dilansir dari Databoks oleh (Jayani, 2021) tercatat pada tahun 2020 mencapai 29,35% diikuti penurunan kelulusan SMA dan SMP. Dengan skor SMP mencapai 9,97% dan SMA 10,47%. Namun disisi lain ada beberapa aspek yang peningkatan seperti penurunan tidak sekolah menjadi 20,51% dan lulusan SD mencapai 26,32%. Dibandingkan dengan anak-anak yang tidak dianggap sebagai siswa dengan difabel, terdapat kesenjangan kelulusan yang signifikan di kalangan mereka yang memiliki difabel. Lalu apa yang menyebabkan banyaknya masyarakat difabel memiliki rasio kelulusan pendidikan yang rendah, dilansir dari kajian (Trihastuti, 2022) adapun hambatan yang mempengaruhi pertama kurangnya aksesibilitas dari dan menuju sekolah, kedua minimnya guru yang memiliki keterampilan mengajar, dan ketiga sarana dan prasarana yang kurang mendukung mencakup struktur bangunan yang tidak ramah difabel dan sumber informasi yang tidak memadai.

Dari paparan diatas, kesetaraan akses informasi bagi kaum difabel menjadi suatu urgensi, keharusan mendesak, yang harus dicapai. Hal ini juga terkait dengan fakta bahwa akses terhadap informasi merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia (HAM). Keterbatasan dalam akses informasi dapat menghambat mereka dalam memperoleh akses ke sumber daya pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan pendidikan mereka.

Temuan Kasus Kesenjangan Akses Informasi Difabel

Penting untuk diketahui kesetaraan dalam akses informasi merupakan hak dasar yang seharusnya dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat, yang melibatkan ketersediaan dan penggunaan informasi yang sesuai oleh individu. Berbicara soal kesetaraan, menurut (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, 2019) kesetaraan merupakan cara bagaimana menunjukkan bahwa semua pihak memiliki tingkat yang sama, posisi yang setara, tanpa ada yang dianggap lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Lalu apa yang menjadi tolak ukur dari kesetaraan itu, berdasarkan konsep fairness yang dikemukakan oleh filsuf (Rawls, 2011). Fairness mencakup 2 prinsip yaitu kebebasan yang sama (principle of equal liberty) dan ketidaksamaan (the principle of difference). Kebebasan yang sama adalah setiap individu mendapatkan haknya untuk mengejar tujuan dan kepentingan mereka tanpa adanya penindasan atau kendala yang tidak adil. Ini mencakup hak untuk berbicara, berpikir, dan bertindak sesuai dengan kehendak mereka sendiri, bebas dari intervensi atau tekanan yang tidak sah. Sementara itu, prinsip ketidaksamaan menekankan perlunya mengakui dan mengatasi ketidaksetaraan yang mungkin ada di antara individu atau kelompok. Sehingga dapat dipahami pada pernyataan sebelumnya pemerintah Indonesia dapat berupaya untuk memberi kebebasan serta membuka peluang bagi orang yang tidak memiliki akses agar terciptanya kesetaraan akses informasi. Namun pada kenyataannya masih banyak kelompok disabilitas yang mengalami ketidaksetaraan dalam mengakses informasi.

Selain faktor-faktor teknis, stigma dan diskriminasi juga masih sering terjadi di kalangan masyarakat seperti yang diberitakan Kompas.com dengan headline “Masyarakat Masih Diskriminatif Terhadap Penyandang Disabilitas” oleh (Khairina, 2019) menurut Kabid Perlindungan anak penyandang difabel dan psycosolosial Kota Solo, seringkali mereka mengalami penolakan atau eksklusi dalam akses ke informasi dan pembelajaran karena persepsi negatif atau prasangka terhadap kemampuan mereka. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengambil langkah-langkah konkrit mencakup penyediaan materi yang mudah diakses dan dipahami oleh difabel, baik dalam bentuk teks, audio, maupun visual. Selain itu, perbaikan infrastruktur dan teknologi juga perlu dilakukan agar lebih ramah terhadap kebutuhan difabel, seperti memastikan aksesibilitas bangunan fisik dan platform digital.

Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Pasal 4 secara lugas menyatakan bahwa perpustakaan bertujuan untuk memberikan layanan kepada pemustaka guna meningkatkan minat baca, dan memperluas jangkauan wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dapat dipahami pada pasal tersebut tujuan dari perpustakaan adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” namun pada kenyataannya, hal tersebut belum terealisasi secara penuh. Seperti yang diungkapkan langsung dalam penelitian dengan judul “Analisis Aksesibilitas Perpustakaan bagi Difabel Berdasarkan pada Standar IFLA di Dinas Perpustakaan Propinsi Sumatera Selatan” menurut (Diana et al., 2020) menemukan bahwa aksesibilitas perpustakaan bagi penyandang difabel di Dinas Perpustakaan Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan standar International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA), belum sesuai. Ditemukan berupa data tingkat kesesuaian aksesibilitas pada persentase 41,17%, dengan 42 dari 102 item memenuhi standar. Namun, 60 item, atau 58%, tidak memenuhi standar. Kendala utama yang dihadapi perpustakaan dalam memenuhi aksesibilitas difabel adalah terkait pendanaan dan sumber daya manusia, dana, fasilitas khusus bagi penyandang difabel. Selain itu, pustakawan belum memiliki kompetensi layanan khusus untuk penyandang difabel.

Kesadaran Masyarakat Pada Akses Informasi Difabel

            Kesadaran masyarakat menjadi salah satu faktor penting terciptanya kesetaraan akses informasi bagi difabel. Ini disampaikan juga oleh (Harun, 2016) pentingnya kesadaran masyarakat untuk memperhatikan dan turut serta secara langsung dalam mendukung hak-hak yang dimiliki oleh kelompok difabel adalah sebuah keharusan. Sebagai contoh pada penelitian (Kaur & Leong, 2018) di Malaysia sudah banyak masyarakatnya yang memahami betul apa saja kebutuhan difabel di lingkungan masyarakat dan tempat kerja mereka sendiri. Hal ini di tunjukan dari usia angkatan kerja difabel sudah mencapai setidaknya 80% dengan penghasilan 779 RM atau dirupiahkan 2,6 juta. Fakta yang sedikit berbeda hadir di Indonesia, tepatnya di Aceh. Menurut (Maududdy, 2019) penerimaan masyarakat terhadap difabel terbagi menjadi 2, sebagian besar menerima kehadiran penyandang disabilitas di lingkungan sosial mereka, namun sebagian masih memandang difabel sebagai individu yang perlu dikasihani. Pengalaman pribadi dan pendidikan menjadi dua faktor timpangnya penerimaan dua kelompok masyarakat kepada difabel. Pengalaman pribadi memunculkan empati yang diperoleh melalui interaksi keseharian langsung dengan difabel, sehingga melahirkan pemahaman kegiatan dan kebutuhan mereka. Pendidikan, dengan edukasi moral yang baik sejak pendidikan usia dini diharapkan memunculkan kesadaran akan hadirnya kelompok difabel yang memerlukan pelayanan yang berkeadilan.

Peran Pemerintah Dalam Akses Informasi Bagi Difabel Serta Strategi Yang Dapat Dilakukan

Pemerintah sebagai otoritas yang membuat, mengelola, dan menegakkan kebijakan publik dan administrasi negara memilki peran sentral dan penting demi terciptanya kesetaraan hak termasuk akses informasi bagi penyandang difabel. Menurut (Allo, 2022) keberadaan pemerintahan menjadi krusial karena dengan adanya pemerintah kebijakan yang telah dibuat dan disetujui dapat direalisasikan dengan membangun dan menghadirkan layanan di dalamnya untuk membantu kelompok difabel. Sehingga apabila berkaca pada contoh kasus dan temuan penelitian yang ada pada pembahasan sebelumnya, tersedia ruang yang cukup besar bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan disetiap tahap kebijakan untuk mewujudkan kesetaraan akses informasi bagi kelompok difabel, yang hingga saat ini masih terjadi kesenjangan. Hal ini juga diungkapkan langsung oleh Wakil Presiden ke-13 yaitu Ma’ruf Amin. Dilansir dari media berita situs resmi (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 2021) menegaskan “Saya mendapat informasi dari masyarakat, tentang masih adanya kesulitan yang dirasakan penyandang disabilitas dalam mengakses dan menikmati haknya sebagai warga negara. Hal ini dapat menghambat perwujudan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi”. Beberapa strategi yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan layanan akses informasi bagi difabel antara lain:

Pertama, pemerataan akses informasi, merupakan langkah awal dalam memastikan bahwa semua individu, termasuk difabel, memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses informasi yang mereka butuhkan. Hal ini melibatkan penyediaan sumber informasi dengan beragam jenis cara penyampaian, seperti video, teks menjadi audio, dan tap menjadi audio, sehingga memungkinkan individu dengan berbagai jenis disabilitas untuk mengakses informasi tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka.

Kedua, peningkatan dan penguatan infrastruktur aksesbilitas fisik. Pemaparan sebelumnya menunjukan banyak akses difabel fisik itu masih belum efektif dikarenakan infrastruktur yang tidak memadai dan belum ramah. Kekurangan tersebut bisa tertutupi dengan cara pembangunan fasilitas fisik seperti rampa, tangga berundak, lift, trotoar yang lebih lebar, dan penandaan fisik dengan braile, dan menyediakan OPAC dengan format braile pada keyboard pencarian, dan immersive reader pada hasil pencarian, sehingga orang dengan kondisi tunanetra bisa mengakses informasi terkait koleksi perpustakaan secara mandiri.

Ketiga, pendidikan dan pelatihan. Setelah aspek akses terpenuhi, pemerintah selanjutnya berupaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis masyarakat non-difabel dalam berinteraksi secara efektif dengan difabel. Dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang tumbuh akan kebutuhan pelayanan yang berkeadilan, dapat membuat efektivitas program pemerintah dan inisiatif swasta yang mendukung difabel bisa menjadi lebih maksimal dan berkelanjutan.

Keempat, kolaborasi antar pemerintah, masyarakat, dan lembaga. Langkah ini merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan dan mengetahui lebih mendalam terkait kebutuhan hak-hak yang diperlukan oleh difabel khususnya akses informasi. Kegiatan atau program ini dapat berupa crowdsourcing (Antara et al., 2019), yaitu mengumpulkan informasi melalui platform media sosial popular yang digunakan masyarakat.

Kesimpulan

Kesetaraan akses informasi adalah hak dasar bagi semua orang, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Ini bukan hanya keinginan, tapi prinsip hak asasi manusia. Semua orang harus bisa mengakses informasi dengan mudah karena ini berpengaruh besar pada bagaimana mereka terlibat dalam masyarakat. Pemerintah punya tanggung jawab utama dalam memastikan hal ini terjadi. Dengan membuat kebijakan, alokasi dana yang cukup, dan memperkuat infrastruktur agar semua orang bisa mendapatkan informasi dengan mudah. Peran masyarakat juga memainkan faktor penting untuk terlaksananya kesetaraaan akses informasi serta melancarkan kegiatan masyarakat kelompok difabel untuk menjalankan aktivitasnya. Tidak luput pemerintah juga bisa bekerja sama dengan organisasi yang ada untuk mencapai kesetaraan akses informasi. Sehingga program yang direncanakan dapat berjalan dengan lancar dan tepat sasaran. Program tersebut dapat meliputi pembangunan infrastruktur teknologi yang ramah bagi difabel, pendidikan yang memperkuat literasi informasi, pelatihan bagi penyedia layanan untuk meningkatkan aksesibilitas, dan pengembangan konten yang dapat diakses oleh semua orang.

Selain itu, penting untuk memastikan bahwa perspektif dan kebutuhan masyarakat penyandang difabel dipertimbangkan dalam setiap tahap perencanaan dan implementasi kebijakan dan program terkait akses informasi. Dalam mengatasi tantangan akses informasi, dibutuhkan komitmen kuat untuk mencapai kesetaraan akses. Ini melibatkan kerja sama lintas sektor dan kemitraan antara pemerintah, organisasi, masyarakat umum, dan komunitas difabel. Dengan upaya bersama dan kesadaran akan pentingnya akses informasi yang setara, kita dapat membangun masyarakat inklusif dan adil bagi semua individu, tanpa memandang latar belakang atau kondisi mereka.

*Mahasiswa Departemen Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga. ryan.faathir.hokiarta-2021@fisip.unair.ac.id

 

 DAFTAR PUSTAKA

Allo, E. A. T. (2022). Penyandang Disabilitas di Indonesia. Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(2), 408–420. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.31604/jips.v9i2.2022.807-812

Antara, I. M. H., Darmawiguna, I. G. M., & Pradnyana, I. M. A. (2019). Pengembangan Aplikasi Mobile Crowdsourcing Informasi Layanan Umum ( Studi Kasus di Kabupaten Buleleng ). 8, 154–164.

Badan Pusat Statistik. (2018). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2018. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2018/05/07/1484/februari-2018-tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-5-13-persen--rata-rata-upah-buruh-per-bulan-sebesar-2-65-juta-rupiah.html

Databoks. (2021). 15 Kondisi Kesehatan yang Paling Banyak Dialami Penyandang Disabilitas Global (2021). https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/12/13/ada-13-miliar-penyandang-disabilitas-ini-ragam-kondisi-kesehatannya

Diana, M., Dewiki, S., & Igiriza, M. (2020). Analisis Aksesibilitas Perpustakaan bagi Difabel Berdasarkan pada Standar IFLA di Dinas Perpustakaan Propinsi Sumatera Selatan. Pustabiblia: Journal of Library and Information Science, 4(1), 1–18. https://doi.org/10.18326/pustabiblia.v4i1.1-18

Hadiyat, Y. D. (2014). Kesenjangan Digital di Indonesia. Jurnal Pekommas, 17(2), 81–90.

Harun, A. (2016). Pembelajaran Informasional Sebagai Upayamasyarakat Tentang Hak Penyandang Difabel. 39, 1–6. https://www.sumbarprov.go.id/ images/1457654258-3. alim.pdf iacepa katalis. (2023). Disabilitas Di Indonesia.

Jayani, D. H. (2021). Penyandang Disabilitas Masih Alami Ketimpangan Pendidikan. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/02/penyandang-disabilitas-masih-alami-ketimpangan-pendidikan

Kaur, G., & Leong, T. P. (2018). Acceptance of Disability: A perspective from people with disability. Asian Journal of Behavioural Studies, 3(10), 1. https://doi.org/10.21834/ajbes.v3i10.75

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset,  dan T. R. I. (2019). Kesetaraan Dan Kesetaraan Dan Harmoni Sosial (pp. 7–8).

Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2021). Wujudkan Masyarakat Inklusi Indonesia Dengan Sinergi Seluruh Komponen Bangsa. https://menpan.go.id/site/berita-terkini/dari-istana/wujudkan-masyarakat-inklusi-indonesia-dengan-sinergi-seluruh-komponen-bangsa

Khairina, L. Z. (2019). Masyarakat Masih Diskriminatif Terhadap Penyandang Disabilitas. https://regional.kompas.com/read/2019/10/17/22460111/masyarakat-masih-diskriminatif-terhadap-penyandang-disabilitas

Maududdy, A. (2019). Persepsi Masyarakat Terhadap Penyandang Disabilitas Di Kota Banda Aceh (Studi Kasus Di Kecamatan Ulee Kareng). Jurnal Penelitian, 5–24.

Nilawaty, C. (2021). WHO Memperkirakan Jumlah Difabel Bertambah karena Dua Sebab Ini. https://difabel.tempo.co/read/1537446/who-memperkirakan-jumlah-difabel-bertambah-karena-dua-sebab-ini

Nurussyifa, Z. (2018). Hubungan antara Family Resilience dan Parenting Stress pada Ibu yang Memiliki Anak Tunanetra serta Tinjauannya dalam Islam.

Pramashela, F. S., & Rachim, H. A. (2022). Aksesibilitas Pelayanan Publik Bagi Penyandang Disabilitas Di Indonesia. Focus : Jurnal Pekerjaan Sosial, 4(2), 225. https://doi.org/10.24198/focus.v4i2.33529

Prasojo, P. (2020). Analisis penyerapan tenaga kerja penyandang disabilitas di kabupaten malang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 8(2), 1–12. https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/6683

Rawls, J. (2011). A theory of justice teori keadilan: dasar-dasar filsafat poliik untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam negara.

SIGAB. (2024). Konferensi Pers: Diseminasi Hasil Survei Kesiapan Difabel dalam Pemilu 2024. https://formasidisabilitas.id/2024/01/rekomendasi-kolektif-atas-temuan-hasil-survei-pemilu-2024-bagi-difabel/

Subdirektorat Indikator Statistik. (2020). indikator-kesejahteraan-rakyat-2020 Badan ststisik. Indikator-Kesejahteraan-Rakyat-2020 Badan Ststisik, 1(1), 20–29.

Susiana, & Wardah. (2019). Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Mendapatkan Pekerjaan Di Bumn. Law Reform: Jurnal Pembaharuan Hukum, 15(2), 225–238. https://doi.org/10.14710/lr.v15i2.26181

Trihastuti, M. C. W. (2022). Faktor Pendukung Pemenuhan Hak Pendidikan Mahasiswa Penyandang Disabilitas. Psiko Edukasi, 20(1), 32–44. https://doi.org/10.25170/psikoedukasi.v20i1.3421


Share this Post