Peran Penting Literasi Politik dalam Menangkal Hoaks dan Menjaga Keutuhan Demokrasi di Tahun Politik 2024

Sumber Gambar :

Oleh  Dr. Jamridafrizal*

 

A.   Pendahuluan

Dalam konteks Debu Pilpres 2024 yang telah mengendap, Indonesia dihadapkan pada tiga isu krusial: literasi politik yang rendah, maraknya hoaks, dan dugaan kecurangan pemilu. Tantangan-tantangan ini menyoroti perlunya upaya bersama untuk memperkuat fondasi demokrasi.

Pertama, literasi politik yang rendah di kalangan masyarakat menciptakan ketidakpahaman akan sistem demokrasi dan politik. Hal ini dapat dilihat dari politisasi agama dan SARA yang marak, yang mengganggu proses politik yang seharusnya bersifat inklusif dan berdasarkan pada substansi.

Kedua, maraknya hoaks dan disinformasi mempengaruhi integritas proses politik dengan menyebarluaskan informasi yang tidak benar. Klaim-klaim mengenai hasil pemungutan suara sebelum hari pemilu dan tuduhan terhadap lembaga pengawas pemilu menjadi ancaman serius terhadap proses demokratis yang sehat.

Ketiga, dugaan kecurangan dalam pemilihan presiden dapat mengancam stabilitas nasional. Ini menciptakan ketegangan dalam dinamika politik yang dapat mengganggu kedaulatan suara rakyat dan kepercayaan terhadap institusi demokrasi.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, perlu dilakukan upaya konkret dan kolaboratif. Meningkatkan literasi politik dan kesadaran akan informasi yang benar dapat membantu masyarakat dalam membedakan fakta dan hoaks. Selain itu, investigasi transparan dan independen terhadap dugaan kecurangan pemilu perlu dilakukan untuk memastikan integritas proses demokratis. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat melangkah maju sebagai negara demokratis yang kuat dan inklusif, menjaga stabilitas politik dan kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi.

  1. Literasi politik yang rendah di kalangan masyarakat

Masyarakat Indonesia masih terbelenggu rendahnya literasi politik. Hal ini terlihat dari minimnya pemahaman terhadap sistem demokrasi, hak dan kewajiban sebagai warga negara, serta maraknya politisasi agama dan SARA (kumparan.com). Situasi ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk menyebarkan hoaks dan propaganda, memicu polarisasi dan perpecahan di masyarakat.

  1. Maraknya Hoaks dan Disinformasi :
  1. Klaim setting perolehan suara sebelum hari pemungutan suara: Klaim ini adalah dugaan serius yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap KPU dan integritas pemilu. Perlu diingat bahwa KPU adalah lembaga independen yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil. KPU memiliki berbagai mekanisme untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
  2. Tuduhan bahwa Bawaslu tidak netral dan memihak salah satu kandidat: Tuduhan ini juga berbahaya karena dapat melemahkan kredibilitas Bawaslu sebagai pengawas pemilu. Bawaslu memiliki tugas untuk memastikan pemilu berjalan sesuai dengan aturan dan menindak pelanggaran yang terjadi. Bawaslu harus bekerja secara profesional dan netral tanpa memihak kandidat manapun.
  3. Penyebaran berita tentang manipulasi suara di TPS: Berita ini berpotensi memicu keresahan dan konflik di masyarakat. Manipulasi suara adalah pelanggaran serius yang dapat mencederai demokrasi. Masyarakat perlu berhati-hati dalam menyebarkan informasi dan memastikan kebenarannya sebelum dibagikan.

Hoaks memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan yang serius dalam berbagai aspek kehidupan. Berikut adalah beberapa potensi dampak negatif dari hoaks:

  1. Memanipulasi opini publik: Hoax dapat digunakan untuk mencitrakan kandidat tertentu secara positif atau negatif, dan memanipulasi opini publik agar mendukung atau menentang kandidat tersebut.
  2. Merusak kepercayaan terhadap institusi demokrasi: Kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, dapat dirusak oleh hoaks yang menuduh kecurangan atau manipulasi suara.
  3. Memicu keresahan sosial: Hoaks yang provokatif dapat memicu keresahan sosial, bahkan berujung pada konflik dan kekerasan.Kurangnya edukasi dan literasi digital membuat masyarakat rentan terpapar hoaks dan mudah terprovokasi. Hal ini diperparah dengan algoritma media sosial yang cenderung memperkuat polarisasi dan mendorong penyebaran konten sensasional. (Meinarni, (2018, July).
  1. Dugaan Kecurangan Dalam Pemilihan Presiden 2024

Dugaan kecurangan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, seperti manipulasi suara dan politik uang, menjadi ancaman serius terhadap legitimasi pemimpin terpilih dan stabilitas nasional. Kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, masih diuji. Hal ini dapat memicu : (1). Keraguan terhadap hasil pemilu: Masyarakat yang merasa dirugikan oleh kecurangan dapat menolak hasil pemilu dan memicu demonstrasi atau bahkan tindakan anarkis. (2). Ketidakpercayaan terhadap pemimpin terpilih: Legitimasi pemimpin terpilih akan diragukan jika terdapat kecurigaan bahwa mereka menang melalui kecurangan. (3). Potensi konflik: Polarisasi politik yang tinggi dapat diperparah oleh dugaan kecurangan, dan memicu konflik antar kelompok pendukung kandidat.

Beberapa contoh dugaan kecurangan yang muncul pada pilpres 2024 : (1). Manipulasi suara: Kecurangan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengubah hasil suara di TPS, memalsukan surat suara, atau melakukan perhitungan suara yang tidak transparan. (2). Politik uang: Politik uang adalah pemberian uang atau barang kepada pemilih agar mereka memilih kandidat tertentu. (3). Intimidasi dan ancaman: Intimidasi dan ancaman dapat dilakukan terhadap pemilih, saksi, atau penyelenggara pemilu untuk mempengaruhi hasil pemilu

B.   Pembahasan

  1. Literasi Politik

Demokrasi Indonesia dihadapkan pada sebuah rintangan tersembunyi: rendahnya literasi politik di kalangan masyarakat. Ironisnya, di tengah euforia peralihan kekuasaan pasca Pilpres 2024, isu ini terabaikan di balik sorotan terhadap pemimpin terpilih. (Pratama, A. (2022). Dampak Rendahnya Literasi Politik: Rendahnya literasi politik di masyarakat memiliki dampak yang sangat signifikan.

Pertama, ketidakmampuan memilih pemimpin yang tepat terjadi karena masyarakat rentan terpengaruh hoaks dan manipulasi, sehingga mereka cenderung memilih pemimpin berdasarkan sentimen pribadi, bukan berdasarkan kapabilitas dan visi kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan negara.

Kedua, apatis politik meningkat karena rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, seperti pemilihan umum dan pengawasan kinerja pemerintah.

Ketiga, masyarakat mudah terprovokasi oleh hoaks dan manipulasi, yang dapat memicu perpecahan dan polarisasi di tengah-tengah masyarakat.

Keempat, lemahnya demokrasi terjadi karena kinerja pemerintahan tidak optimal akibat minimnya kontrol dan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Semua dampak ini mengarah pada kondisi politik dan sosial yang tidak stabil, serta menurunkan kualitas demokrasi secara keseluruhan. (Putri, N. E. (2017).

  1. Faktor Penyebab Rendahnya Literasi Politik:

Rendahnya literasi politik di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya pendidikan politik yang kontekstual dan aplikatif dalam sistem pendidikan formal mengakibatkan masyarakat kurang memahami sistem demokrasi dan hak serta kewajiban sebagai warga negara. Kedua, akses terbatas terhadap informasi politik di daerah terpencil dan tertinggal juga menjadi kendala, menyebabkan sulitnya mendapatkan informasi yang akurat dan terpercaya. Selanjutnya, ketidakpercayaan terhadap media juga memainkan peran penting, dengan maraknya berita bohong dan bias media yang membuat masyarakat meragukan kebenaran informasi yang disajikan. Terakhir, kurangnya minat masyarakat dalam urusan politik juga berperan, karena politik sering dianggap sebagai hal yang rumit dan membosankan bagi sebagian besar masyarakat.(sumut.idntimes.com)

  1. Upaya Meningkatkan Literasi Politik

Meningkatnya literasi politik merupakan kunci untuk membangun demokrasi Indonesia yang sehat, kuat, dan berkelanjutan. Hal ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Upaya kolektif dan berkelanjutan harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang politik dan hak-hak mereka sebagai warga negara.

Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan literasi politik: (1). Memperkuat Pendidikan Politik: Pendidikan politik yang interaktif dan aplikatif perlu diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan formal. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan materi tentang sistem politik Indonesia, hak dan kewajiban warga negara, serta isu-isu politik terkini. (2). Penyediaan Akses Informasi: Informasi politik yang akurat dan terpercaya harus mudah diakses oleh semua masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memperluas jangkauan media massa, menyediakan platform digital edukasi politik, dan mengadakan kegiatan sosialisasi dan edukasi politik di berbagai komunitas. (3). Meningkatkan Peran Media: Media massa memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi politik yang objektif, berimbang, dan edukatif. Media massa harus menghindari bias dan sensasi dalam peliputan berita politik. (4). Melibatkan Masyarakat Sipil: Masyarakat sipil dapat berperan aktif dalam meningkatkan literasi politik melalui kegiatan edukasi dan kampanye di berbagai komunitas. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan seminar, workshop, diskusi, dan kegiatan lainnya yang meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang politik. (5). Pemanfaatan Teknologi: Teknologi dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan literasi politik. Platform digital yang mudah diakses dapat dikembangkan untuk menyediakan edukasi dan informasi politik kepada masyarakat.

Upaya-upaya di atas harus dilakukan secara berkelanjutan dan melibatkan semua pihak. Dengan meningkatkan literasi politik, masyarakat akan lebih kritis dalam menanggapi informasi politik, lebih aktif dalam partisipasi politik, dan lebih bertanggung jawab dalam memilih pemimpin politik.

Meningkatkan literasi politik adalah investasi untuk masa depan demokrasi Indonesia. Dengan masyarakat yang sadar dan terdidik tentang politik, demokrasi Indonesia akan semakin kuat dan berkelanjutan.

  1. Hoaks dan disinformasi dalam Pilpres 2024

Hoaks politik umumnya dikemas dengan sensasi, provokasi, dan kebencian. Informasi palsu ini disebarkan melalui berbagai platform media sosial, menargetkan masyarakat yang kurang kritis dan mudah terpengaruh.

Dampak dari hoaks dalam konteks Pilpres 2024 sangatlah serius. Pertama, hoaks memicu perpecahan sosial dengan memperbesar polarisasi dan menciptakan permusuhan antar kelompok masyarakat, yang berpotensi merusak kerukunan dan toleransi di dalam masyarakat. Kedua, hoaks juga menumbuhkan kebencian dan permusuhan terhadap individu atau kelompok tertentu, memicu diskriminasi dan bahkan kekerasan sebagai dampak dari ujaran kebencian yang disebarkan. Ketiga, hoaks merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi seperti pemerintah, KPU, dan Bawaslu, karena informasi palsu ini dapat mengaburkan fakta dan membingungkan masyarakat. Terakhir, hoaks juga memiliki dampak yang signifikan dalam melemahkan demokrasi secara keseluruhan dengan memicu apatisme politik dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses politik, yang pada akhirnya mengancam fondasi demokrasi dan stabilitas politik negara. Oleh karena itu, penyebaran hoaks harus ditangani secara serius dengan langkah-langkah pencegahan dan penegakan hukum yang efektif untuk melindungi integritas demokrasi dan keamanan masyarakat.

  1. Modus Penyebaran Hoaks dan disinformasi dalam pilpres 2024

Hoaks, informasi yang menyesatkan dan tidak akurat, telah menjadi ancaman serius di era digital. Penyebarannya yang mudah dan cepat melalui berbagai platform online dapat memanipulasi opini publik, memicu polarisasi dan konflik, bahkan membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat.

Beberapa modus penyebaran hoaks yang umum: Berita Bohong: (1). Menyebarkan informasi palsu yang seolah-olah benar. Modus ini sering dilakukan dengan membuat berita yang sensasional dan menarik perhatian, tetapi tidak memiliki dasar fakta. (2). Manipulasi Informasi: Mengubah atau memutarbalikkan fakta untuk menyesatkan publik. Manipulasi informasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengubah judul berita, memotong video, atau menambahkan informasi yang tidak benar. (3). Propaganda: Menyebarkan informasi yang dirancang untuk memanipulasi opini publik. Propaganda sering digunakan untuk mempromosikan agenda politik atau ideologi tertentu. (4). Deepfake: Manipulasi video dan audio untuk menipu publik. Deepfake adalah teknologi yang memungkinkan untuk membuat video atau audio yang terlihat dan terdengar seperti orang sungguhan, tetapi sebenarnya telah dimanipulasi.( Ardiyanti, D. (2019).

  1. Upaya Penanggulangan Hoaks.

Untuk menanggulangi hoaks, berbagai upaya perlu dilakukan menurut (Tsaniyah, N (2019). Pertama, meningkatkan literasi digital masyarakat agar mereka mampu mengidentifikasi dan melawan hoaks. Kedua, media massa harus menyajikan informasi yang akurat dan berimbang, serta melawan hoaks dengan fakta. Ketiga, diperlukan kerjasama multipihak antara pemerintah, KPU, Bawaslu, dan organisasi masyarakat sipil untuk memerangi hoaks. Terakhir, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku penyebaran hoaks sangatlah penting untuk memberikan efek jera.

Dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan penyebaran hoaks dapat diminimalisir dan masyarakat dapat terhindar dari informasi yang menyesatkan.

  1. Tantangan Meningkatkan Literasi Politik dan Penanggulangan Hoaks

Meningkatkan literasi politik dan memerangi hoaks menjadi dua pilar penting dalam menjaga demokrasi Indonesia. Namun, upaya ini dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks. (Heryanto, G.G. (2020).

  1. Tantangan:

Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan isu literasi politik dan hoaks menjadi begitu meresahkan di Indonesia. Pertama, kurangnya akses terhadap informasi yang akurat merupakan masalah yang masih dihadapi oleh masyarakat di daerah terpencil dan tertinggal. Mereka sering kesulitan untuk mendapatkan informasi politik yang akurat dan terpercaya, karena minimnya infrastruktur komunikasi dan media yang memadai di daerah tersebut.

Selanjutnya, ketidakmampuan untuk menganalisis informasi juga menjadi hambatan serius dalam menghadapi hoaks. Banyak masyarakat belum memiliki kemampuan untuk menganalisis informasi secara kritis dan membedakan fakta dari hoaks, sehingga rentan terhadap penyebaran informasi yang tidak benar.

Penyebaran hoaks yang masif melalui media sosial juga menjadi tantangan tersendiri. Hoaks dengan mudah disebarkan melalui berbagai platform media sosial, sehingga sulit untuk dikendalikan dan dicegah penyebarannya secara efektif. Selain itu, rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan edukasi politik dan melawan hoaks juga memperparah situasi. Masyarakat cenderung kurang tertarik atau kurang memiliki kesadaran akan pentingnya literasi politik dan penanganan hoaks.

Terakhir, keterbatasan sumber daya menjadi kendala dalam upaya menangani masalah literasi politik dan hoaks. Baik pemerintah maupun organisasi terkait masih terbatas dalam hal sumber daya, baik itu dana, personel, maupun teknologi, untuk melakukan pendekatan yang lebih luas dan efektif dalam menangani isu-isu ini secara menyeluruh.

  1. Solusi:

Dalam menghadapi tantangan hoaks dan kecurangan pemilu, diperlukan serangkaian langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak sebagaimana dikeumkan oleh Estep, J. (2016).. Pertama, penguatan edukasi politik menjadi kunci utama dalam meningkatkan literasi politik di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui integrasi edukasi politik yang kontekstual dan aplikatif dalam kurikulum pendidikan formal, penyelenggaraan pelatihan dan seminar politik bagi masyarakat umum, serta pemanfaatan platform digital untuk edukasi politik yang mudah diakses.

Selanjutnya, peran media massa juga sangat penting dalam memerangi hoaks dan menyajikan informasi politik yang objektif. Diperlukan peningkatan peran media massa dalam menyajikan informasi politik yang berimbang, edukatif, serta kerjasama dengan pemerintah dan organisasi terkait dalam memerangi hoaks. Penerapan kode etik jurnalistik yang ketat juga perlu ditegakkan.

Selain itu, partisipasi aktif masyarakat sipil juga menjadi faktor penentu dalam melawan hoaks dan mengawasi proses pemilu. Masyarakat sipil perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan kegiatan edukasi politik dan penyebaran informasi yang akurat, serta memanfaatkan teknologi untuk melawan hoaks. Partisipasi aktif dalam monitoring dan pelaporan hoaks juga menjadi bagian penting dari upaya ini.

Pemanfaatan teknologi juga dapat menjadi solusi dalam menghadapi tantangan hoaks dan kecurangan pemilu. Pengembangan platform digital untuk edukasi politik dan melawan hoaks, serta pemanfaatan teknologi big data untuk menganalisis dan melacak penyebaran hoaks, dapat menjadi langkah-langkah efektif dalam mengatasi masalah ini.

Terakhir, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku penyebaran hoaks dan kecurangan pemilu sangatlah penting. Diperlukan penyempurnaan regulasi terkait hoaks dan disinformasi, serta penegakan hukum yang adil dan transparan untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan informasi dan kecurangan pemilu. Dengan implementasi langkah-langkah ini secara bersama-sama, diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari hoaks dan kecurangan pemilu serta memperkuat fondasi demokrasi Indonesia.

Meningkatkan literasi politik dan memerangi hoaks membutuhkan upaya kolektif dan berkelanjutan dari berbagai pihak. Dengan mengatasi berbagai tantangan dan menerapkan solusi yang tepat, demokrasi Indonesia dapat terjaga dan berkembang.

  1. Peran Pustakawan dalam Meningkatkan Literasi Politik dan Penanggulangan Hoaks
  1. Meningkatkan Literasi Politik: Pustakawan dapat berperan sebagai agen edukasi dan informasi, menyediakan akses kepada masyarakat terhadap sumber-sumber terpercaya tentang politik, demokrasi, dan sistem pemilu. Pustakawan dapat menyelenggarakan kegiatan seperti seminar, workshop, dan diskusi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang isu-isu politik.
  2. Memerangi Hoaks dan Disinformasi: Pustakawan dapat membantu masyarakat untuk mengidentifikasi dan melawan hoaks dengan menyediakan pelatihan literasi digital dan panduan fact-checking. Pustakawan juga dapat bekerja sama dengan organisasi pemeriksa fakta dan media massa untuk menyebarkan informasi yang akurat dan terpercaya.
  3. Menjaga Integritas Pemilu: Pustakawan dapat membantu masyarakat untuk memahami proses pemilu dan hak-hak mereka sebagai pemilih. Pustakawan juga dapat bekerja sama dengan organisasi pemantau pemilu untuk memastikan proses pemilu yang transparan dan akuntabel.
  4. Upaya yang dapat dilakukan pustakawan: Mengembangkan koleksi bahan bacaan: Menyediakan buku, artikel, dan sumber informasi lainnya tentang politik, demokrasi, dan sistem pemilu; Menyelenggarakan kegiatan edukasi: Mengadakan seminar, workshop, dan diskusi tentang isu-isu politik dan pemilu; Membuat panduan literasi digital: Memberikan panduan kepada masyarakat tentang cara mengidentifikasi dan melawan hoaks; Bekerja sama dengan organisasi terkait: Berkolaborasi dengan organisasi pemeriksa fakta, media massa, dan pemantau pemilu untuk menyebarkan informasi yang akurat dan terpercaya.

Pustakawan memiliki peran penting dalam menjaga demokrasi Indonesia. Dengan meningkatkan literasi politik, memerangi hoaks, dan menjaga integritas pemilu, pustakawan dapat membantu masyarakat untuk menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab.

C.  Kesimpulan:

Dalam rangka memahami dinamika Pilpres 2024, kita harus mempertimbangkan tantangan yang dihadapi, termasuk rendahnya literasi politik di kalangan masyarakat, maraknya hoaks dan disinformasi, serta dugaan kecurangan dalam pemilihan presiden tersebut. Dalam pembahasan, fokus utama adalah pada upaya meningkatkan literasi politik dan penanggulangan hoaks sebagai langkah krusial dalam memperkuat fondasi demokrasi. Peran pustakawan juga menjadi penting dalam konteks ini, karena mereka dapat berkontribusi dalam menyediakan informasi yang akurat dan memfasilitasi pendidikan politik di masyarakat. Dengan menghadapi tantangan ini secara bersama-sama, kita dapat membangun demokrasi yang lebih kuat dan inklusif untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

*Akademisi UIN SMH Banten

 

Sumber Referensi:

  1. Alam, D. (2021). Kaitan Teori-Teori Konspirasi Dengan Penyebaran Hoaks
  2. Anggraini, T. (2023). Penurunan Indeks Demokrasi Indonesia: Sebuah Refleksi. Jurnal Hukum dan Politik, 33(1), 1-15.
  3. Ardiyanti, D. (2019). Penyuluhan Menghadapi Tahun Politik dengan Membangun Generasi Anti Hoaks. SINDIMAS, 1(1), 287-291.
  4. Estep, J. (2016). Political Literacy in Composition and Rhetoric: Defending Academic Discourse Against Postmodern Pluralism, Donald Lazere: Carbondale: Southern Illinois University Press, 2015. 342 pages. $40.00 paperback. Rhetoric Review, 35(4), 385-387.
  5. Halim, R., Sos, S., Lalongan, M., & Sos, S. (2016). Partisipasi Politik Masyarakat: Teori dan Praktik (Vol. 1). SAH MEDIA.
  6. Heryanto, G. G. (2019). Literasi Politik. IRCiSoD.
  7. Heryanto, G. G. (2020). Mencegah Hoaks di Kampanye Pemilu 2019: Perspektif Literasi Politik dan Media.
  8. https://kumparan.com/syarif-yunus/literasi-politik-rendah-hoaks-kian-marak-1sFuA11quzL
  9. https://rumahpemilu.org/ancaman-erosi-demokrasi-pemilu-2024/
  10. https://sumut.idntimes.com/life/education/annisa-nur-fitriani-1/5-ciri-pendidikan-politik-yang-masih-rendah-di-masyarakat
  11. Meinarni, N. P. S., & Iswara, I. B. A. I. (2018, July). Hoax and its Mechanism in Indonesia. In International Conference of Communication Science Research (ICCSR 2018) (pp. 183-186). Atlantis Press.
  12. Pratama, A. F., Juwandi, R., & Bahrudin, F. A. (2022). Pengaruh Literasi Politik dan Informasi Hoax terhadap Partisipasi Politik Mahasiswa. Journal of Civic Education, 5(1), 11-24.
  13. Putri, N. E. (2017). Dampak Literasi Politik Terhadap Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu. Jurnal Agregasi: Aksi Reformasi Government Dalam Demokrasi, 5(1).
  14. Susanti, B. (2023). Ancaman Otokratisme dan Pembajakan Konstitusi: Tantangan Demokrasi Indonesia. Jurnal Demokrasi dan HAM, 13(2), 1-20.
  15. Tsaniyah, N., & Juliana, K. A. (2019). Literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 4(1), 121-140.
  16. Varieties of Democracy (V-Dem). (2023). Democracy Report 2023. https://www.v-dem.net/publications/democracy-reports/

Share this Post