Perempuan Penulis, Perempuan Pembaca : Merekam Suara dan Gagasan dari Pinggir ke Panggung
Sumber Gambar :Oleh: Diana Sri Mulyani *
Latar Belakang
Sejarah literasi, sebagaimana sejarah sosial dan politik, tak lepas dari ketimpangan representasi. Dalam dunia perbukuan, perempuan selama berabad-abad lebih sering tampil sebagai objek dalam tulisan laki-laki dibanding sebagai subjek yang menulis tentang dirinya sendiri. Perempuan berada di pinggir peradaban tulisan tersekat oleh norma, budaya patriarkal, dan sistem pendidikan yang belum ramah gender. Suara mereka lama tenggelam di balik teks-teks dominan yang membentuk persepsi publik.
Padahal, membaca dan menulis bukan sekadar kegiatan akademik atau hobi, tetapi merupakan bentuk kesadaran kritis. Melalui buku, perempuan dapat menggugat narasi tunggal, merumuskan ulang pengalaman, dan menyampaikan aspirasi sosialnya. Namun, dunia perbukuan seringkali menempatkan karya perempuan dalam kategori yang dianggap “remeh” dianggap terlalu emosional, domestik, atau tidak strategis.
Di tengah tantangan tersebut, kini muncul geliat baru: perempuan bangkit sebagai pembaca yang sadar dan penulis yang lantang. Komunitas literasi perempuan tumbuh di berbagai tempat baik dalam skala lokal maupun global. Buku menjadi medium perlawanan yang sunyi tapi tajam; menjelma sebagai alat untuk merebut kembali ruang berpikir, berbicara, dan bertindak.
Oleh karena itu, penting untuk merayakan sekaligus menganalisis peran perempuan sebagai aktor literasi. Bagaimana buku menjadi medium perlawanan dan pembebasan bagi mereka? Bagaimana perempuan membaca dan menulis untuk merekam suara dari pinggir dan mengangkatnya ke panggung wacana publik?
Membaca sebagai Tindakan Reflektif dan Kritis
Membaca bagi perempuan bukanlah aktivitas pasif. Di balik halaman-halaman buku, tersimpan kekuatan untuk membongkar struktur sosial yang selama ini menempatkan perempuan sebagai “yang lain”, subordinat, dan tak bersuara. Membaca menjadi aktivitas reflektif yang memungkinkan perempuan untuk mengenali ulang siapa dirinya dan bagaimana posisinya dalam konstruksi sosial yang kerap bias gender.
Dalam masyarakat yang patriarkal, perempuan sering kali tidak diberi ruang untuk menyuarakan pikiran, apalagi menyusun narasi alternatif. Tradisi lisan maupun tulis didominasi oleh suara laki-laki. Membaca, dalam hal ini, menjadi pintu masuk bagi perempuan untuk berdialog dengan dunia luar tanpa harus melanggar batas-batas kultural secara langsung. Ia menjadi bentuk resistensi senyap terhadap pembatasan peran dan ruang gerak.
Buku menyediakan ruang privat untuk berpikir, tempat yang tidak diintervensi oleh suara keluarga, pasangan, institusi keagamaan, atau masyarakat yang memaksakan satu bentuk kebenaran. Dalam kata-kata Bell Hooks, feminis kulit hitam Amerika, "literacy is a form of liberation". Bagi perempuan, literasi menjadi alat pelepasan diri dari ketidaktahuan dan ketundukan sosial yang dipaksakan.
Lebih dari itu, membaca melatih perempuan untuk mempertanyakan kembali apa yang selama ini diterima sebagai kebenaran mutlak. Misalnya, tentang kodrat perempuan yang harus tunduk, tidak boleh mengejar pendidikan tinggi, atau tidak boleh tampil di ruang publik. Dengan membaca pemikiran tokoh-tokoh seperti Kartini, Nawal El-Saadawi, Fatima Mernissi, atau Amina Wadud, perempuan mendapatkan model bahwa menjadi cerdas dan berdaya bukanlah penyimpangan, melainkan bagian dari keutuhan sebagai manusia.
Dalam The Second Sex, Simone de Beauvoir menegaskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan (secara sosial), tetapi dijadikan perempuan oleh struktur dan budaya patriarkal (de Beauvoir, 1949). Melalui membaca, perempuan mulai sadar bahwa banyak hal yang dianggap "alami" sejatinya adalah hasil konstruksi sejarah dan budaya. Maka membaca menjadi alat dekonstruksi terhadap mitos gender yang membelenggu.
Hal ini menunjukkan, bahwa literasi kritis perempuan berkontribusi besar terhadap kesadaran politik, ekonomi, dan sosial, bahkan di tingkat keluarga dan komunitas. Ia bukan hanya memberi pengetahuan, tetapi juga membentuk cara berpikir kritis yang mendorong keberanian mengambil keputusan dan menyuarakan pendapat.
Membaca, pada titik ini, berubah menjadi tindakan politis. Ia mungkin tidak turun ke jalan atau memegang mikrofon, tapi dengan membaca, perempuan menyusun ulang narasi yang menindas dan menyiapkan basis kognitif untuk perlawanan.
Menulis sebagai Perlawanan, dari Pinggir Menuju Panggung
Jika membaca memungkinkan perempuan memahami struktur sosial yang menindas, maka menulis adalah proses menciptakan ulang dunia berdasarkan pengalaman dan tafsir mereka sendiri. Menulis bukan hanya ekspresi personal, tetapi juga tindakan politis sebuah perlawanan senyap terhadap sistem pengetahuan dan narasi dominan yang selama ini menempatkan perempuan sebagai objek pasif.
Dalam masyarakat patriarkal, suara perempuan sering dianggap "tidak layak dengar", "tidak cukup rasional", atau "terlalu emosional". Melalui tulisan, perempuan menolak pembungkaman itu. Mereka menyatakan: aku berpikir, aku merasa, aku punya pengalaman yang sah untuk dibagikan. Di titik inilah, menulis menjadi tindakan mengambil alih otoritas narasi, suatu bentuk dekonstruksi atas kuasa wacana yang membatasi peran perempuan hanya sebagai pelengkap, pengasuh, atau pengikut.
R.A. Kartini, misalnya, menulis bukan dari ruang kekuasaan, tapi dari pinggir kamar pribadinya di Jepara, sebagai perempuan pribumi yang "terkurung" oleh adat dan struktur kolonial. Namun dari keterbatasan itulah lahir surat-surat yang menggugat kolonialisme, pendidikan patriarkal, dan sistem sosial feodal yang menindas perempuan. Dalam suratnya kepada Abendanon, ia menulis:
“Saya ingin perempuan hidup merdeka, berpikir merdeka, merasa merdeka.”
Ini bukan sekadar keluhan pribadi, melainkan ide besar tentang kebebasan perempuan, jauh sebelum narasi feminisme modern masuk ke tanah Jawa. Tulisan Kartini adalah tindakan subversive menggeser batas ruang domestik menuju ranah wacana politik dan sosial.
Dalam konteks internasional, Nawal El Saadawi menulis dengan api kemarahan. Dalam Woman at Point Zero, tokoh Firdaus, seorang narapidana perempuan yang dieksekusi karena membunuh lelaki yang mengeksploitasinya, menjadi simbol penolakan terhadap sistem sosial, ekonomi, dan agama yang melegitimasi kekerasan terhadap perempuan. El Saadawi memanfaatkan fiksi sebagai media revolusi simbolik, tempat perempuan tidak hanya menggambarkan penderitaan, tetapi juga mengambil alih kendali atas narasi tubuh dan nasib mereka.
Sementara itu, Leila S. Chudori dan Asma Nadia, sebagai representasi penulis perempuan Indonesia kontemporer, menunjukkan bahwa menulis tidak harus selalu konfrontatif untuk menjadi politis. Dalam novel 9 dari Nadira, Leila menggambarkan pergulatan psikologis perempuan modern dalam keluarga, relasi cinta, dan dunia kerja yang tetap sarat dengan ketimpangan. Asma Nadia, melalui karya-karyanya seperti Assalamualaikum Beijing! atau Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, memasukkan nilai-nilai kesalehan dan kemandirian dalam diri tokoh perempuan yang religius namun tetap kritis dan berpikir mandiri. Mereka mengisi celah antara spiritualitas, identitas, dan otonomi perempuan dalam dunia Islam yang patriarkal.
Menulis adalah cara perempuan mengarsipkan sejarah yang hilang, sejarah yang tidak ditulis oleh negara, penguasa, atau akademisi laki-laki, tetapi oleh tubuh dan pengalaman yang tak terdengar. Mereka menciptakan arsip emosional dan intelektual perempuan, seperti yang disebut oleh Sara Ahmed sebagai affective history, yang merekam bagaimana rasanya menjadi perempuan dalam dunia yang terus mengontrol, menilai, dan mengabaikan.
Selain itu, menulis memfasilitasi penyembuhan kolektif. Dalam setiap tulisan tentang trauma, kekerasan, kehilangan, atau harapan, perempuan berbagi luka dan daya tahannya. Dalam hal ini, menulis adalah proses terapeutik, ruang untuk menyuarakan yang tak terucap, serta cara untuk membangun solidaritas dengan pembaca yang mungkin mengalami hal serupa. Inilah bentuk empati literer, di mana cerita menjadi jembatan antara pribadi dan kolektif, antara pinggir dan panggung.
Menulis bukan hanya menyalin realitas, tapi mencipta kemungkinan baru. Perempuan yang menulis sedang membayangkan dunia di mana mereka tidak hanya bertahan, tetapi hidup sepenuhnya sebagai manusia utuh, berpikir, merasa, mencinta, memimpin, dan bermimpi. Mereka tidak menunggu diundang ke panggung. Dengan tulisan, mereka membangun panggung itu sendiri.
Perempuan dan Produksi Pengetahuan
Perempuan tidak hanya menjadi objek dalam sistem pengetahuan, tetapi juga subjek yang aktif dalam memproduksi dan menyebarkan pengetahuan. Menulis memungkinkan perempuan untuk mentransformasi pengalaman menjadi wacana, dan dari sana mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap perempuan itu sendiri.
Menurut Sandra Harding, epistemologi feminis menempatkan pengalaman perempuan sebagai titik tolak dalam produksi pengetahuan. Ini penting karena selama ini teori-teori sosial dan budaya yang dominan seringkali tidak netral, melainkan dibentuk oleh pengalaman laki-laki kulit putih kelas menengah sebagai standar universal.
Pengetahuan yang dihasilkan dari pengalaman perempuan memiliki potensi untuk mengganggu dominasi epistemik. Ketika perempuan menulis tentang tubuhnya, pengalaman kekerasan, dilema etika, atau pergulatan batin dengan agama, mereka sedang membuka kanal baru dalam diskursus sosial dan intelektual. Seperti dikatakan Chandra Talpade Mohanty, suara perempuan dari Dunia Ketiga yang menulis tentang dirinya sendiri mampu mendekonstruksi citra orientalis dan romantik yang dilekatkan oleh Barat.
Lebih jauh, literasi perempuan adalah bentuk intervensi terhadap struktur sosial-politik. Buku tidak lagi hanya dipahami sebagai media hiburan atau konsumsi akademik, melainkan sebagai sarana perubahan sosial. Dengan menulis, perempuan menyampaikan pengalaman yang selama ini dianggap "tak layak dibicarakan": menstruasi, kehamilan, trauma kekerasan seksual, pernikahan paksa, dan konflik peran ganda. Tema-tema ini mengubah wajah wacana publik yang sebelumnya steril dan maskulin.
Sehingga, menulis bukan hanya tindakan personal, tetapi tindakan kolektif yang membuka kemungkinan untuk hadirnya sejarah baru. Sejarah yang tidak ditulis dari atas, oleh negara atau elite, tetapi ditulis dari bawah, dari tubuh, dari luka, dan dari pengalaman perempuan.
Komunitas Literasi Perempuan: Solidaritas, Pengetahuan, dan Perjuangan Narasi
Komunitas literasi perempuan merupakan ruang kolektif yang memfasilitasi transformasi personal dan sosial melalui kegiatan membaca dan menulis. Di tengah tantangan akses terhadap pendidikan, representasi, dan dominasi narasi patriarkal, komunitas-komunitas ini menjadi bentuk perlawanan sekaligus pemberdayaan. Mereka hadir bukan sekadar untuk berbagi buku, melainkan sebagai ruang kritis tempat perempuan saling mendukung untuk berpikir, mengekspresikan diri, dan mencipta wacana alternatif.
Di Indonesia, tumbuh beragam komunitas yang digerakkan oleh semangat literasi dan keadilan gender. Sebut saja Perempuan Membaca, Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN), hingga forum Muslimah Berkisah. Komunitas ini tidak hanya mendorong minat baca, tapi juga melatih anggotanya menulis esai, cerpen, puisi, bahkan menerbitkan buku secara mandiri. Dalam komunitas semacam ini, perempuan diberdayakan untuk tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan, tetapi juga produsen yang aktif dan kritis.
Menurut Bayu Kristianto dalam jurnal Gender and Society, komunitas literasi perempuan memiliki kontribusi nyata dalam membentuk kesadaran kelas dan gender. Dalam forum semacam ini, perempuan dari berbagai latar belakang (ibu rumah tangga, pekerja informal, aktivis, santri, mahasiswa) bisa bertukar pandangan dan menyadari struktur sosial yang menindas mereka. Diskusi tentang buku berubah menjadi diskusi tentang hidup, ketidakadilan, dan strategi perubahan.
Komunitas-komunitas ini juga menjadi arena pengorganisasian sosial berbasis literasi. Literasi bukan lagi aktivitas individual, melainkan bagian dari kerja kolektif yang membangun solidaritas intelektual. Menurut Nancy Fraser dalam gagasan subaltern counterpublics, kelompok-kelompok yang terpinggirkan menciptakan ruang-ruang diskursif alternatif untuk mengekspresikan kebutuhan dan identitas mereka. Komunitas literasi perempuan bisa dilihat sebagai contoh nyata dari “counterpublic” tersebut tempat perempuan menyuarakan realitasnya dengan bahasa dan kerangka mereka sendiri.
Selain itu, keberadaan komunitas ini menjadi penyeimbang dari arus utama literasi yang masih maskulin dan sentralistik. Mereka mendorong pendekatan literasi yang kontekstual: menyentuh pengalaman perempuan, domestik, spiritualitas, hingga relasi kuasa. Literasi di sini tidak netral, melainkan dipolitisasi dalam konteks emansipasi.
Dalam era digital, ruang-ruang komunitas juga mengalami transformasi. Grup WhatsApp, Instagram, hingga kanal YouTube menjadi medium baru bagi komunitas literasi perempuan untuk berbagi ulasan buku, mengadakan diskusi daring, hingga menerbitkan karya secara kolektif. Ini menandai bahwa perjuangan literasi perempuan tak lagi terbatas secara geografis, dan justru semakin menjangkau audiens luas dengan pendekatan yang inklusif dan mudah diakses.
Kesimpulan
Perempuan pembaca dan penulis memainkan peran penting dalam menggugat dominasi narasi tunggal yang kerap bias gender. Buku bagi mereka bukan sekadar alat hiburan atau pendidikan, tetapi juga senjata sunyi untuk menyusun kekuatan. Membaca menjadi tindakan reflektif, menulis menjadi tindakan politis.
Dari pinggir peradaban teks, perempuan kini bergerak menuju panggung: menyuarakan pengalaman, menantang ketimpangan, dan membangun dunia melalui kata-kata. Perempuan tidak lagi hanya menjadi objek yang diceritakan, tetapi telah menjadi penggagas cerita penentu arah diskursus.
Rekomendasi
- 1. Literasi perempuan perlu terus didukung melalui akses pendidikan, penerbitan, dan distribusi buku yang setara dan adil.
- 2. Komunitas literasi perempuan harus diperkuat sebagai ruang tumbuhnya kesadaran dan perlawanan sosial yang berbasis intelektual.
- 3. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil seharusnya menjadikan literasi perempuan sebagai bagian dari program pemberdayaan strategis dalam pembangunan bangsa.
*Penulis adalah guru honorer sekolah PAUD di Kab. Pandeglang
REFERENSI
- 1. Ahmed, Sara. The Cultural Politics of Emotion. Routledge, 2004.
- 2. Amina Wadud. Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Oxford University Press, 1999.
- 3. Asma Nadia. Assalamualaikum Beijing! Republika, 2014.
- 4. Bayu Kristianto. “Perempuan, Literasi, dan Ruang Sosial: Studi Komunitas Literasi Perempuan di Yogyakarta.” Jurnal Gender and Society, Vol. 6, No. 2, 2021.
- 5. Bell hooks. Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom. Routledge, 1994.
- 6. Chudori, Leila S. 9 dari Nadira. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2009.
- 7. El Saadawi, Nawal. Woman at Point Zero. Zed Books, 1975.
- 8. Fatima Mernissi. The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam. Perseus Books, 1991.
- 9. Fraser, Nancy. “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy.” Social Text, No. 25/26, 1990, pp. 56–80.
- 10. Harding, Sandra. Feminism and Methodology: Social Science Issues. Indiana University Press, 1987.
- 11. hooks, bell. Talking Back: Thinking Feminist, Thinking Black. South End Press, 1989.
- 12. Komunitas IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis) – https://www.iidn.org
- 13. Mahmud, R. (2020). Literacy, Empowerment, and Gender: Women’s Access to Knowledge and Critical Consciousness in Indonesia. Indonesian Journal of Gender and Society.
- 14. Mohanty, Chandra Talpade. Feminism Without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity. Duke University Press, 2003.
- 15. Nawal El Saadawi. The Hidden Face of Eve: Women in the Arab World. Zed Books, 1980.
- 16. Perempuan Membaca – gerakan literasi berbasis komunitas yang dapat ditemukan di media sosial (Instagram @perempuanmembaca)
- 17. R.A. Kartini. Habis Gelap Terbitlah Terang. Balai Pustaka, 1986 (edisi cetak ulang).
- 18. Rohmani, Lailatul. “Kekuatan Literasi Perempuan dalam Komunitas: Studi Kasus di Komunitas Perempuan Membaca Malang.” Jurnal Perempuan dan Anak, Vol. 3, No. 1, 2019.
- 19. Simone de Beauvoir. The Second Sex. 1949.
- 20. Sullivan, Nancy. "Kartini and the Politics of Feminism and Nationalism." In Asian Studies Review, Vol. 18, No. 3, 1994.