Pustakawan Sekolah sebagai Agen Perubahan: Mengatasi Kecanduan Gawai dan Membangun Budaya Baca
Sumber Gambar :Jamridafrizal*
Abstrak: Zaman sekarang menghadapkan kita pada sebuah dilema besar: di satu sisi, internet di genggaman memberi akses informasi tanpa batas. Di sisi lain, gawai yang sama ternyata bisa menjadi candu yang merusak fokus dan minat baca anak-anak kita. Artikel ini menyoroti peran penting pustakawan sekolah sebagai pahlawan perubahan dalam tantangan ini. Dengan beralih dari sekadar penjaga buku menjadi perancang pengalaman belajar yang seru, pustakawan bisa secara aktif melawan dampak buruk kecanduan gawai dan menghidupkan kembali budaya baca di sekolah. Kita akan mulai dengan mengupas tuntas fenomena candu gawai dan efeknya pada otak serta pergaulan siswa. Lalu, kita akan melihat bagaimana pustakawan bisa mengambil peran baru sebagai motor penggerak, didukung oleh teori-teori pendidikan modern. Inti dari tulisan ini adalah serangkaian strategi jitu yang bisa langsung diterapkan, seperti: (1) menyulap perpustakaan menjadi "markas" yang asyik, (2) membuat program-program membaca yang seru dan melibatkan siswa, serta (3) membangun kerja tim yang solid dengan guru dan orang tua. Terakhir, kita akan membahas tantangan dan skill baru yang dibutuhkan pustakawan hebat di masa depan. Intinya, jika didukung penuh, pustakawan sekolah sanggup mengubah perpustakaan menjadi jantung kegiatan intelektual di sekolah, menumbuhkan lagi cinta pada buku, dan membekali siswa dengan kemampuan berpikir mendalam yang sangat mereka butuhkan untuk sukses.
Kata Kunci: Pustakawan Sekolah, Agen Perubahan, Kecanduan Gawai, Budaya Baca, Literasi, Perpustakaan Sekolah, Promosi Literasi
Pendahuluan: Saat Gawai Lebih Menarik dari Buku
Kita hidup di zaman yang penuh dilema bagi anak-anak dan remaja. Di satu tangan, mereka memegang gawai canggih yang merupakan gerbang menuju lautan pengetahuan, sebuah potensi belajar yang luar biasa (Ito et al., 2013, hlm. 45). Namun, di tangan yang lain, perangkat yang sama menjadi sumber gangguan terbesar, menarik mereka ke dalam pusaran notifikasi, game, dan media sosial yang seakan tak ada habisnya. Fenomena yang kita kenal sebagai kecanduan gawai ini telah menjadi kekhawatiran besar di seluruh dunia. Ketergantungan ini bukan hanya mengganggu kesehatan mental dan sosial siswa, tetapi juga secara langsung menyerang salah satu kemampuan paling dasar untuk belajar: kemampuan untuk fokus dan membaca secara mendalam (deep reading) (Wolf, 2018, hlm. 7).
Ketika perhatian seorang anak pecah oleh rentetan notifikasi, video lucu, dan tantangan game, aktivitas membaca buku yang butuh ketenangan dan imajinasi perlahan tersingkir. Akibatnya, budaya baca di sekolah pun terkikis. Buku dianggap kuno dan membosankan jika dibandingkan dengan layar gawai yang penuh warna dan selalu bergerak (Dehaene, 2009, hlm. 21). Padahal, penurunan minat baca ini sangat berbahaya. Rajin membaca terbukti sangat erat hubungannya dengan kekayaan kosakata, kemampuan berpikir kritis, rasa empati, dan kesuksesan di sekolah (Krashen, 2011, hlm. 17). Oleh karena itu, tantangan terbesar sekolah saat ini bukan lagi sekadar soal memakai teknologi, tetapi bagaimana menciptakan keseimbangan dan menumbuhkan kembali cinta pada buku.
Di tengah situasi pelik ini, ada satu sosok yang sering terlupakan namun punya posisi super strategis untuk menjadi agen perubahan: pustakawan sekolah. Peran pustakawan modern sudah jauh berbeda dari stereotip penjaga buku yang kaku dan galak. Kini, mereka adalah pemimpin pembelajaran, ahli informasi, dan motor inovasi di jantung sekolah (American Association of School Librarians, 2018, hlm. 12). Artikel ini akan membahas tuntas bagaimana pustakawan sekolah bisa mengambil peran sebagai pahlawan perubahan untuk melawan candu gawai dan membangun kembali budaya baca yang kokoh. Kita akan membedah masalahnya, melihat bagaimana peran pustakawan bisa diubah, menyajikan strategi-strategi praktis, hingga membahas tantangan yang ada. Harapannya, tulisan ini bisa menjadi panduan bagi pustakawan, kepala sekolah, dan kita semua untuk menyulap perpustakaan menjadi pusat kegiatan intelektual yang keren dan transformatif.
Generasi Digital: Antara Gawai dan Buku yang Terlupakan
Untuk benar-benar paham betapa pentingnya peran pustakawan, kita perlu menyelami dulu masalah utamanya: bagaimana candu gawai bekerja dan merusak minat baca. Ini bukan sekadar soal selera, tapi sebuah fenomena rumit yang melibatkan cara kerja otak, psikologi, dan lingkungan sosial (Alter, 2017, hlm. 55).
Mengapa Gawai Begitu Bikin Candu?
Kecanduan gawai ditandai oleh penggunaan yang sulit dikontrol dan mulai menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Pies, 2009, hlm. 91). Ini bukan salah anak sepenuhnya. Aplikasi dan game memang sengaja dirancang agar kita ketagihan. Secara ilmiah, banyak dari aplikasi ini bekerja dengan membajak sistem dopamin (hormon rasa senang) di otak kita, mirip cara kerja mesin judi. Mekanisme "hadiah tak terduga"—seperti jumlah "like" yang tiba-tiba banyak atau mendapat item langka di game—membuat otak kita penasaran dan terus-menerus kembali untuk merasakan sensasi senang sesaat itu (Haynes, 2018, hlm. 5). Menurut Eyal (2014), ada formula "Kail" yang terdiri dari pemicu, aksi, hadiah, dan investasi yang dipakai untuk membuat produk digital yang bikin ketagihan (hlm. 23).
Selain itu, ada faktor psikologis seperti butuh pengakuan dari teman, takut ketinggalan gosip atau tren (Fear of Missing Out atau FoMO), dan keinginan untuk lari dari rasa bosan atau stres (Przybylski et al., 2013, hlm. 1842). Bagi siswa yang sedang dalam masa pencarian jati diri, tekanan untuk selalu eksis dan diterima di pergaulan membuat mereka sangat rentan. Akhirnya, terbentuklah kebiasaan: setiap kali ada waktu luang atau rasa bosan, tangan otomatis meraih gawai. Akibatnya, ruang di kepala untuk berpikir tenang dan fokus menjadi sangat terbatas (Turkle, 2015, hlm. 178).
Dampak Buruk Gawai bagi Siswa
Ketergantungan pada gawai punya banyak dampak buruk. Dari segi kemampuan berpikir (kognitif), paparan terus-menerus pada informasi cepat dan sepotong-sepotong bisa mengganggu kemampuan otak untuk fokus dalam waktu lama, menyaring gangguan, dan berpindah-pindah tugas dengan baik (Firth et al., 2019, hlm. 119). Nicholas Carr (2020) bahkan berpendapat bahwa internet secara fisik mengubah otak kita, membuatnya terbiasa berpikir cepat dan dangkal (hanya skimming), dan mengorbankan kemampuan untuk berpikir runut, mendalam, dan kritis (hlm. 35).
Dari sisi pergaulan dan emosi, terlalu banyak main media sosial sering dikaitkan dengan meningkatnya rasa cemas, depresi, dan minder, terutama karena anak terus-menerus membandingkan hidupnya dengan postingan orang lain yang tampak sempurna (Vogel et al., 2014, hlm. 725). Dari segi kesehatan fisik, kecanduan gawai sering menyebabkan kurang tidur (karena cahaya biru dari layar) dan gaya hidup kurang gerak (Cajochen et al., 2011, hlm. 1135). Semua ini akhirnya berdampak pada prestasi di sekolah. Anak yang kurang fokus, cemas, dan kurang tidur tentu akan sulit menyerap pelajaran (Adelantado-Renau et al., 2019, hlm. 10).
Bagaimana Gawai 'Membunuh' Minat Baca?
Candu gawai dan matinya minat baca adalah dua hal yang saling berhubungan. Bayangkan saja, gawai dan buku sedang berebut "harta karun" paling berharga dari seorang siswa: waktu dan perhatian. Gawai, dengan notifikasi dan kesenangan instannya, hampir selalu menang telak melawan buku yang butuh komitmen dan konsentrasi lebih (Liu, 2005, hlm. 702). Membaca di layar cenderung membuat kita membaca dengan pola "huruf F", yaitu kita hanya memindai beberapa baris awal lalu loncat ke bawah, menangkap kata kunci tanpa benar-benar paham isinya (Nielsen, 2006).
Kebiasaan memindai ini sangat berbeda dengan "membaca mendalam" (deep reading) yang kita lakukan saat membaca buku. Membaca mendalam adalah proses yang lambat, di mana kita benar-benar tenggelam dalam bacaan. Proses ini melatih otak untuk menghubungkan ide, memahami hal tersirat, merasakan apa yang dirasakan tokoh cerita, dan berpikir kompleks (Jablonka, 2021, hlm. 68). Saat siswa kehilangan kemampuan ini, mereka bukan hanya kehilangan akses ke dunia pengetahuan dan imajinasi, tapi juga kehilangan kesempatan melatih "otot" otak yang sangat penting untuk belajar apa pun (Baron, 2015, hlm. 98).
Peran Baru Pustakawan Sekolah: Dari Penjaga Buku Menjadi Penggerak Perubahan
Menghadapi tantangan ini, pustakawan sekolah tidak bisa lagi hanya diam di balik meja sirkulasi. Peran mereka harus berubah total: dari sekadar pengurus buku menjadi motor penggerak perubahan yang proaktif. Pustakawan harus berani mengambil identitas baru sebagai pemimpin pembelajaran di sekolah (Loertscher & Koechlin, 2014, hlm. 30).
Lebih dari Sekadar Urusan Administrasi
Dulu, peran pustakawan mungkin lebih banyak diisi dengan tugas teknis seperti memberi stempel, menata buku, dan mengurus peminjaman. Meskipun pekerjaan ini tetap penting, jika hanya itu yang dilakukan, pustakawan akan terasing dari kegiatan utama sekolah: belajar-mengajar (Valenza, 2010, hlm. 22). Pustakawan modern harus beralih dari model "penjaga gudang" menjadi "mitra guru". Artinya, mereka harus turun tangan, bekerja sama dengan guru merancang proyek-proyek seru yang melatih siswa berpikir kritis dan melek informasi, apa pun mata pelajarannya (Shannon, 2013, hlm. 55). Dengan begitu, perpustakaan bukan lagi sekadar "ruang tunggu", melainkan "laboratorium belajar" yang penting bagi semua orang di sekolah.
Pustakawan sebagai "Arsitek Pengalaman"
Agar bisa menyaingi serunya gawai, pustakawan harus menjadi seorang "arsitek pengalaman" (experience architect). Maksudnya, setiap kunjungan siswa ke perpustakaan harus dirancang sebagai sebuah pengalaman yang asyik, berkesan, dan membuat mereka merasa lebih pintar (Stephens, 2016, hlm. 41). Tugasnya bukan lagi hanya "menyediakan buku", tapi "menciptakan petualangan membaca dan belajar." Ini bisa dilakukan dengan menata ruang yang nyaman, membuat program yang melibatkan siswa, dan bahkan menggunakan teknologi untuk membuat pengalaman membaca jadi lebih seru. Pustakawan harus jago "marketing", meyakinkan para siswa bahwa membaca itu keren, relevan, dan menyenangkan (Church, 2009, hlm. 15).
Landasan Ilmiah di Balik Perubahan
Perubahan peran ini punya landasan teori pendidikan yang kuat. Teori konstruktivisme, misalnya, mengajarkan bahwa siswa belajar paling efektif saat mereka aktif menemukan pengetahuan sendiri, bukan hanya dicekoki (Vygotsky, 1978, hlm. 86). Perpustakaan yang hidup adalah lingkungan belajar seperti ini. Ia menyediakan "bahan baku" informasi yang kaya agar siswa bisa membangun pemahaman mereka sendiri (Woolfolk, 2019, hlm. 48).
Selain itu, ada konsep literasi kritis dari Paulo Freire (1970) yang mengajarkan kita untuk tidak menelan mentah-mentah apa yang kita baca. Pembaca yang kritis akan bertanya, menganalisis, dan mencari tahu pesan tersembunyi di balik sebuah teks (hlm. 35). Di sinilah pustakawan berperan besar. Dengan mengajarkan siswa cara mengecek sumber, melihat dari berbagai sudut pandang, dan sadar akan adanya bias, pustakawan membantu menciptakan generasi yang tidak mudah dibodohi. Membaca bukan lagi sekadar hobi, tapi sebuah cara untuk menjadi lebih berdaya dan memahami dunia (Luke, 2012, hlm. 7).
Strategi Jitu Pustakawan untuk Membangun Budaya Baca
Setelah memahami masalah dan peran barunya, pustakawan bisa mulai melancarkan strategi-strategi praktis. Tujuannya bukan untuk memusuhi teknologi, tapi untuk menawarkan sesuatu yang lebih asyik dan bermakna. Fokusnya ada pada tiga area: menyulap perpustakaan, membuat program seru, dan kerja tim. Pertama, Menyulap Perpustakaan Jadi Tempat Favorit Siswa. Wajah perpustakaan adalah alat promosi terkuat. Perpustakaan harus bisa "berbicara" dan menyampaikan pesan: "Ini tempat yang asyik, modern, dan dibuat khusus untuk kalian!" (Lankes, 2012, hlm. 67).
Kedua, Menciptakan "Markas" yang Nyaman. Sosiolog Ray Oldenburg (1989) punya konsep "ruang ketiga", yaitu tempat nongkrong asyik di luar rumah dan sekolah yang penting untuk komunitas (hlm. 16). Pustakawan bisa menyulap perpustakaan menjadi "ruang ketiga" bagi siswa—sebuah markas yang aman, nyaman, dan bikin betah. Caranya? Sediakan sofa empuk, bean bag, meja untuk kerja kelompok, dan sudut-sudut tenang untuk membaca sendirian. Pajang karya-karya siswa, buat pajangan buku tematik yang diganti secara rutin, dan mungkin longgarkan sedikit aturan soal makanan ringan (Sin, 2021, hlm. 250). Tujuannya jelas: mengubah citra perpustakaan dari tempat kaku menjadi pusat komunitas yang hidup dan berenergi.
Ketiga, Koleksi Buku yang "Gue Banget". Tidak ada yang lebih cepat membunuh minat baca selain rak yang isinya buku-buku kuno dan tidak nyambung dengan dunia siswa. Pustakawan harus proaktif memilih koleksi yang relevan dengan kehidupan mereka. Artinya, selain sastra klasik, harus ada novel grafis, komik manga, novel remaja populer, majalah, dan buku non-fiksi yang topiknya seru (Gaiman, 2013). Ingat prinsip "jendela, cermin, dan pintu": buku harus bisa membuat siswa melihat dunia orang lain (jendela), melihat diri mereka sendiri (cermin), dan masuk ke dunia imajinasi (pintu) (Bishop, 1990, hlm. ix). Libatkan siswa dalam memilih buku baru lewat survei atau tim penasihat siswa. Ini akan membuat mereka merasa memiliki perpustakaan.
Keempat, Memanfaatkan 'Senjata Musuh': Teknologi. Daripada memusuhi teknologi, pustakawan yang cerdas justru memanfaatkannya untuk promosi baca. Sediakan koleksi e-book dan audiobook yang mudah diakses, ini bisa menarik siswa yang kurang suka membaca buku fisik (Zickuhr et al., 2012, hlm. 5). Gunakan Instagram atau TikTok perpustakaan untuk membuat review buku dalam video pendek, promosi buku baru, atau polling seru. Perkenalkan juga aplikasi seperti Goodreads kepada siswa agar mereka bisa terhubung dengan komunitas pembaca global (Kim & Lee, 2020, hlm. 8). Jadikan teknologi sebagai jembatan menuju buku, bukan sebaliknya.
Program Promosi yang Seru dan Melibatkan
Program yang bagus bisa menciptakan "demam membaca" di seluruh sekolah, mengubahnya dari kegiatan menyendiri menjadi pengalaman sosial yang heboh (Gallagher, 2009, hlm. 63). Pertama, Bikin Membaca Jadi Seru Lewat Game. Gamifikasi, atau menggunakan elemen game, sangat ampuh untuk memotivasi siswa. Pustakawan bisa membuat tantangan membaca dengan hadiah lencana digital, poin, dan papan peringkat (Marinak & Gambrell, 2016, hlm. 28). Program seperti "Bingo Membaca" (siswa harus membaca buku dari genre berbeda untuk mengisi kartu bingo) atau lomba membaca antar kelas bisa memicu semangat kompetisi yang positif dan mendorong siswa mencoba bacaan baru.
Kedua, Gerakan Membaca Massal di Sekolah. Agar menjadi budaya, membaca harus jadi urusan semua orang di sekolah. Pustakawan bisa memulai gerakan membaca hening serentak seperti "Wajib Baca 15 Menit", di mana semua warga sekolah—dari siswa, guru, sampai staf—berhenti beraktivitas dan membaca bersama setiap hari (Pilgreen, 2000, hlm. 12). Program "Satu Sekolah, Satu Buku", di mana semua orang membaca buku yang sama dalam periode tertentu, juga sangat efektif untuk menciptakan obrolan dan pengalaman bersama (O'Donnell, 2015, hlm. 44).
Ketiga, Datangkan Penulis dan Bangun Komunitas. Bertemu langsung dengan penulis idola bisa jadi pemicu semangat membaca yang luar biasa. Pustakawan bisa mengundang penulis untuk datang ke sekolah (atau lewat Zoom). Ini membuat proses menulis jadi lebih manusiawi dan bisa menginspirasi siswa untuk mencoba menulis juga (Dresang, 2017, hlm. 110). Selain itu, bentuk klub buku, adakan lomba baca puisi, atau bahkan acara cosplay karakter buku. Ini semua akan membangun komunitas yang solid di sekitar kecintaan pada literasi.
Kerja Tim adalah Kunci
Semua usaha pustakawan akan berlipat ganda dampaknya jika dilakukan dengan kerja tim yang solid bersama guru dan orang tua (Haycock, 2007, hlm. 28). Pertama, Kolaborasi dengan Guru Semua Pelajaran. Pustakawan harus aktif "jemput bola" ke guru-guru, tidak hanya guru Bahasa Indonesia. Tawarkan bantuan kepada guru IPA untuk mencari novel fiksi ilmiah yang berhubungan dengan materi, atau bantu guru Sejarah menyusun paket sumber bacaan untuk tugas penelitian (Harvey & Goudvis, 2017, hlm. 154). Dengan menjadi mitra pengajaran, pustakawan memastikan bahwa kegiatan membaca dan berpikir kritis menyebar ke seluruh kurikulum.
Kedua, Menggandeng Orang Tua. Orang tua adalah sekutu terkuat. Pustakawan bisa menjangkau mereka lewat buletin berisi rekomendasi buku, atau mengadakan acara "Malam Baca Keluarga" di perpustakaan. Beri orang tua bekal tentang cara memilih buku yang pas, cara membaca bersama yang asyik, dan tips menyeimbangkan waktu gawai dan waktu baca. Ini akan memberdayakan mereka untuk melanjutkan perjuangan di rumah (Trelease, 2013, hlm. 85).
Tantangan di Lapangan dan Wajah Pustakawan Masa Depan
Meskipun visinya hebat, menjadi agen perubahan tidaklah mudah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi di lapangan (Mardis, 2016, hlm. 190). Pertama, Kurangnya Dana dan Dukungan. Banyak pustakawan berjuang dengan dana yang minim, jadwal perpustakaan yang kaku, dan dukungan setengah hati dari pimpinan sekolah yang mungkin masih berpikir kuno tentang peran perpustakaan. Seringkali mereka bekerja sendirian tanpa waktu untuk belajar hal baru (Johns, 2021, hlm. 78). Untuk mengatasinya, pustakawan harus pintar advokasi. Mereka harus rajin mengumpulkan data dampak positif program mereka dan "menjualnya" kepada kepala sekolah dan komite sekolah.
Kedua, Mengukur Sukses: Bukan Cuma Angka Peminjaman. Untuk membuktikan kinerjanya, pustakawan harus mengubah cara mengukur sukses. Bukan lagi hanya soal "berapa banyak buku yang dipinjam", tapi lebih ke "apakah sikap siswa terhadap membaca berubah menjadi lebih positif?". Ini bisa diukur lewat survei, observasi, atau melihat hasil karya siswa. Fokusnya adalah bagaimana perpustakaan mengubah proses belajar siswa (Kuhlthau, 2004, hlm. 165). Dengan bukti nyata, akan lebih mudah meminta dukungan.
Ketiga, Skill Baru untuk Pustakawan Hebat. Pustakawan masa depan harus multi-talenta. Selain ahli buku, mereka juga harus paham cara mengajar, jago marketing digital, bisa mengelola proyek, dan pintar berkomunikasi dengan komunitas. Mereka harus jadi pembelajar seumur hidup yang lincah, selalu update dengan teknologi dan metode mengajar terbaru (Hartzell, 2002, hlm. 10). Pendidikan calon pustakawan pun harus ikut berubah, menyiapkan mereka menjadi pemimpin perubahan di sekolah masing-masing.
Kesimpulan: Pustakawan sebagai Penjaga Masa Depan
Candu gawai memang tantangan nyata bagi budaya baca. Tapi, mengatakan bahwa teknologi telah membunuh minat membaca adalah pandangan yang terlalu pesimis. Justru krisis ini menunjukkan betapa kita butuh sosok dan tempat yang bisa menumbuhkan kembali ruang untuk berpikir, berimajinasi, dan terhubung sebagai manusia. Pustakawan sekolah, jika kita beri kepercayaan dan dukungan, adalah sosok yang paling tepat untuk memimpin perjuangan ini. Mereka bukan lagi sekadar penjaga buku, mereka adalah agen perubahan, penggerak intelektual, dan pembangun komunitas.
Dengan menyulap perpustakaan, merancang program seru, dan membangun kerja tim yang solid, pustakawan dapat menciptakan sebuah ekosistem membaca yang hidup dan mampu menandingi serunya dunia digital. Ini bukan soal perang melawan gawai, tapi soal menciptakan keseimbangan. Ini tentang memberi siswa pilihan lain yang lebih bergizi bagi otak dan jiwa mereka. Investasi pada pustakawan sekolah adalah investasi pada masa depan anak-anak kita. Sudah saatnya kita mengakui dan melepaskan potensi penuh mereka sebagai pahlawan perubahan.
*Akademisi UIN SMH Banten}
Daftar Pustaka
- 1. Adelantado-Renau, M., et al. (2019). Association between screen media use and academic performance among children and adolescents: A systematic review and meta-analysis. JAMA Pediatrics, 173(11), 1058–1067. https://www.google.com/search?q=https://doi.org/10.1001/jamapediatrics.2019.3278
- 2. Alter, A. (2017). Irresistible: The rise of addictive technology and the business of keeping us hooked. Penguin Press.
- 3. American Association of School Librarians. (2018). National school library standards for learners, school librarians, and school libraries. ALA Editions.
- 4. Baron, N. S. (2015). Words onscreen: The fate of reading in a digital world. Oxford University Press.
- 5. Bishop, R. S. (1990). Mirrors, windows, and sliding glass doors. Perspectives: Choosing and Using Books for the Classroom, 6(3), ix–xi.
- 6. Cajochen, C., et al. (2011). Evening exposure to a light-emitting diode (LED)-backlit computer screen affects circadian physiology and cognitive performance. Journal of Applied Physiology, 110(5), 1432–1438. https://doi.org/10.1152/japplphysiol.00165.2011
- 7. Carr, N. (2020). The shallows: What the internet is doing to our brains (2nd ed.). W. W. Norton & Company.
- 8. Church, A. P. (2009). Thrive: A vision for the future of school libraries. Linworth Publishing.
- 9. Dehaene, S. (2009). Reading in the brain: The new science of how we read. Penguin Books.
- 10. Dresang, E. T. (2017). Radical change: Books for youth in a digital age. H. W. Wilson.
- 11. Eyal, N. (2014). Hooked: How to build habit-forming products. Portfolio/Penguin.
- 12. Firth, J., et al. (2019). The "online brain": How the internet may be changing our cognition. World Psychiatry, 18(2), 119–129. https://doi.org/10.1002/wps.20617
- 13. Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Herder and Herder.
- 14. Gaiman, N. (2013, October 14). Why our future depends on libraries, reading and daydreaming. The Guardian. https://www.theguardian.com/books/2013/oct/15/neil-gaiman-future-libraries-reading-daydreaming
- 15. Gallagher, K. (2009). Readicide: How schools are killing reading and what you can do about it. Stenhouse Publishers.
- 16. Harvey, S., & Goudvis, A. (2017). Strategies that work: Teaching comprehension for understanding, engagement, and building knowledge, grades K-8 (3rd ed.). Stenhouse Publishers.
- 17. Haycock, K. (2007). Collaboration: Critical success factors for student learning. School Libraries Worldwide, 13(1), 25–35.
- 18. Haynes, T. (2018). Dopamine, smartphones & you: A battle for your time. Harvard University Graduate School of Arts and Sciences. https://www.google.com/search?q=http://sitn.hms.harvard.edu/flash/2018/dopamine-smartphones-you-a-battle-for-your-time/
- 19. Hartzell, G. (2002). The principal's perceptions of school librarians. School Libraries Worldwide, 8(1), 92–110.
- 20. Ito, M., et al. (2013). Connected learning: An agenda for research and design. Digital Media and Learning Research Hub.
- 21, Jablonka, E. (2021). The evolution of the sensitive soul: Learning and the origins of consciousness. MIT Press.
- 22. Johns, M. (2021). The resilient school librarian: A guide to thriving in a complex world. Libraries Unlimited.
- 23. Kim, S., & Lee, J. (2020). The impact of social reading platforms on reading motivation. Journal of Librarianship and Information Science, 52(1), 3–15. https://www.google.com/search?q=https://doi.org/10.1177/0961000618778580
- 24. Krashen, S. D. (2011). Free voluntary reading. Libraries Unlimited.
- 25. Kuhlthau, C. C. (2004). Seeking meaning: A process approach to library and information services (2nd ed.). Libraries Unlimited.
- 26. Lankes, R. D. (2012). The atlas of new librarianship. The MIT Press.
- 27. Liu, Z. (2005). Reading behavior in the digital environment: Changes in reading behavior over the past ten years. Journal of Documentation, 61(6), 700–712. https://doi.org/10.1108/00220410510632040
- 28. Loertscher, D. V., & Koechlin, C. (2014). The virtual learning commons and the school librarian. Teacher Librarian, 41(5), 28–32.
- 29. Luke, A. (2012). Critical literacy: Foundational notes. Theory Into Practice, 51(1), 4–11. https://doi.org/10.1080/00405841.2012.636324
- 30. Mardis, M. A. (2016). The collection's context: A practical guide to collection management in school libraries. Libraries Unlimited.
- 31. Marinak, B. A., & Gambrell, L. B. (2016). No more reading for junk: Best practices for motivating readers. Heinemann.
- 32. Nielsen, J. (2006, April 17). F-shaped pattern for reading web content. Nielsen Norman Group. https://www.nngroup.com/articles/f-shaped-pattern-reading-web-content/
- 33. O'Donnell, T. (2015). One book, one school, one community reading experience. Knowledge Quest, 44(2), 42–47.
- 34. Oldenburg, R. (1989). The great good place: Cafes, coffee shops, bookstores, bars, hair salons, and other hangouts at the heart of a community. Marlowe & Company.
- 35. Pies, R. (2009). Should DSM-V designate "internet addiction" a mental disorder? Psychiatry (Edgmont), 6(2), 31–37.
- 36. Pilgreen, J. L. (2000). The SSR handbook: How to organize and manage a sustained silent reading program. Heinemann.
- 37. Przybylski, A. K., et al. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848. https://doi.org/10.1016/j.chb.2013.02.014
- 38. Shannon, D. M. (2013). Partners in teaching and learning. Knowledge Quest, 42(2), 54–57.
- 39. Sin, S. J. (2021). The school library as a third space: A systematic review. Journal of the Australian Library and Information Association, 70(3), 245–258. https://www.google.com/search?q=https://doi.org/10.1080/24750158.2021.1940989
- 40. Stephens, M. (2016). The heart of librarianship: Attentive, positive, and purposeful change. ALA Editions.
- 41. Trelease, J. (2013). The read-aloud handbook (7th ed.). Penguin Books.
- 42. Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The power of talk in a digital age. Penguin Press.
- 43. Valenza, J. K. (2010). Manifesto for 21st-century school librarians. Teacher Librarian, 37(3), 32–33.
- 44. Vogel, E. A., et al. (2014). Social comparison, social media, and self-esteem. Psychology of Popular Media Culture, 3(4), 206–222. https://www.google.com/search?q=https://doi.org/10.1037/ppm0000047
- 45. Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.
- 46. Wolf, M. (2018). Reader, come home: The reading brain in a digital world. Harper.
- 47. Woolfolk, A. (2019). Educational psychology (14th ed.). Pearson.
- 48. Zickuhr, K., et al. (2012). Libraries, patrons, and e-books. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/internet/2012/06/22/libraries-patrons-and-e-books/