Refleksi 80 Tahun Perjalanan Republik Indonesia: Perpustakaan Sekolah, Masih Mutiara yang Diabaikan

Sumber Gambar :

Oleh : Mahbudin*

Pengembangan perpustakaan merupakah komponen wajib dalam penggunaan dana BOS Reguler dengan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari keseluruhan jumlah alokasi Dana BOS Reguler yang diterima oleh satuan pendidikan untuk penyediaan buku.

(Pasal 38 Ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 08 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan)

Tuan dan Puan yang budiman, sejatinya tulisan tentang refleksi 80 tahun perjalanan RI ini telah penulis siapkan jauh sebelum kejadian yang amat memilukan menimpa bangsa kita. Sampai artikel ini ditulis akhir Agustus 2025, demonstrasi yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, menyulut gelombang kemarahan, dan meningkat menjadi huru-hara dan penjarahan di berbagai daerah masih terjadi. Peristiwa ini  telah mengakibatkan terbakarnya sejumlah gedung DPRD, rumah pejabat negara, pos polisi, puluhan kedaraan, dan fasilitas umum seperti halte bis. Karena menurut hemat penulis artikel tentang refleksi perjalanan RI ini ada relevansinya juga, maka kejadian demonstrasi lalu perlu juga penulis singgung sedikit pada tulisan tentang perpustakaan sekolah ini.

Penulis tidak tahan untuk tidak menuangkan perasaan ketika menyaksikan demonstrasi yang berujung kerusuhan di berbagai daerah yang mulai akhir Agustus 2025 lalu. Detail kejadiannya tentu tidak perlu penulis ceritakan lagi, karena seluruh masyarakat Indonesia sudah mengetahuinya. Yang ingin penulis tuangkan di sini hanyalah sebuah refleksi sederhana dari peristiwa besar itu.

Apa biang keladi huru-hara ini? Sederhana saja: ketidakadilan. Tidak adil itu ketika hak tidak diberikan sebagaimana seharusnya, atau diberikan melebihi dari seharusnya. Tidak adil itu ketika kewajiban tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Tidak adil itu ketika sesuatu tidak ditempatkan sesuai tempatnya.

Sungguh mengusik rasa keadilan, di saat negara tengah gencar menjalankan efisensi anggaran, para anggota dewan perwakilan rakyat justru mendapatkan tambahan penghasilan lagi berupa tunjangan rumah fantastis senilai 50 juta per bulan per orang.

Penulis juga menemukan bahwa institusi layanan publik belum optimal dalam memenuhi hak-hak masyarakat yang dilayaninya. Di sektor pendidikan, misalnya, masih banyak sekolah yang tidak menyediakan buku teks utama bagi seluruh peserta didiknya. Padahal, Pasal 23 Ayat (2) Permendikbudristek Nomor 21 Tahun 2023 tentang Penyusunan, Penyediaan, Pendistribusian, dan Penggunaan Buku Pendidikan dengan tegas mewajibkan setiap satuan pendidikan untuk menyediakan buku teks utama bagi semua peserta didik.

Lebih lanjut, pemerintah melalui Kemendikdasmen juga telah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan setiap satuan pendidikan mengalokasikan paling sedikit 10% dari dana BOS untuk pembelian buku. Sayangnya, regulasi tersebut dan seperti regulasi-regulasi lainnya tidak berjalan karena tidak disertai mekanisme reward and punishment yang mampu mendorong pemangku kepentingan untuk melaksanakannya secara konsisten.

Contoh ketidakadilan juga terlihat ketika anggaran institusi layanan publik lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan internal pegawai dibandingkan untuk masyarakat. Padahal, siapapun yang digaji oleh negara atau mengelola uang negara harus selalu ingat bahwa dana tersebut berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat. Karena itu, masyarakatlah yang sebenarnya menjadi “bos” di negara ini, sehingga kepentingan mereka yang seharusnya didahulukan dan diprioritaskan.  

Ironi Perpusakaan Sekolah

Ingar-bingar peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80 belum lama kita lewati. Dalam pidato kenegaraan pada Jumat,15 Agustus 2025, Presiden Prabowo menyampaikan berbagai capaian program pemerintah selama hampir setahun memimpin. Tak ketinggalan, presiden juga memaparkan proyeksi program dan alokasi anggaran untuk tahun 2026 mendatang.

Sambil menyimak pidato presiden, pikiran penulis terus berkecamuk dengan berbagai persoalan mendasar dalam dunia pendidikan yang sejatinya perlu mendapatkan perhatian serius, dan segera. Salah satunya keberadaan perpustakaan sekolah yang hingga negara ini berusia 80 tahun masih banyak yang diabaikan.

Padahal, berbagai riset menunjukkan bahwa perpustakaan sekolah memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan kompetensi akademik siswa. Anehnya, masih banyak institusi pendidikan yang mengabaikan peran pentingnya. Coba perhatikan perpustakaan-perpustakaan sekolah yang kita kenal atau pernah kita kunjungi, hanya sedikit yang dikelola dengan baik dan optimal. Duh! Sayang sekali.

Capaian skor PISA Indonesia yang selama 25 tahun terakhir konsisten berada di peringkat sepuluh terbawah dunia merupakan bukti kasat mata bahwa pemangku kepentingan masih abai terhadap aspek-aspek fundamental, salah satunya keberadaan dan pengelolaan perpustakaan sekolah. Dalam kolom Opini Harian Kompas (15/08/2025), Yudi Latif, seorang cendikiawan bahkan menyoroti rendahnya salah satu indikator keberhasilan pendidikan kita. “Pendidikan yang seharunya jadi tangga mobilitas, justru jadi cermin kegagalan. PISA kita jeblok, enam terbawah dunia, jauh di bawah Vietnam yang bahkan bukan negara kaya,” ujarnya.

Data Riil Perpustakaan Sekolah

Bahkan, laporan Harian Radar Banten mencatat, hingga Agustus 2025 terdapat 260 sekolah di kabupaten Lebak, provinsi Banten yang tidak memiliki perpustakaan. Ironis, ketika kita berharap seluruh perpustakaan sekolah dapat memenuhi standar minimal, justru masih banyak sekolah di daerah yang sama sekali belum memilikinya. Ini jelas ketidakadilan.

Sekarang mari kita lihat data akreditasi perpustakaan sekolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024. Kualitas perpustakaan sekolah kita masih menghadapi tantangan serius. Dari puluhan ribu perpustakaan sekolah yang ada, hanya sebagian kecil saja yang sudah terakreditasi, itupun mayoritasnya masih berada pada kategori paling rendah. Berikut ini detail datanya :

  1. 1. Predikat A (Unggul), jumlah 1.767 (16,8%). Angka ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil perpustakaan sekolah yang benar-benar memiliki standar layanan, koleksi, sarana prasarana, dan pengelolaan yang sangat baik. Perpustakaan dengan predikat A umumnya berada di sekolah-sekolah yang memiliki dukungan anggaran memadai, tenaga pustakawan profesional, serta manajemen yang kuat.
  2. 2. Predikat B (Baik), jumlah 1.842 (17,5%). Jumlah ini sedikit lebih besar dari predikat A, menunjukkan bahwa ada perpustakaan dengan kualitas cukup baik, namun masih ada aspek yang perlu ditingkatkan, misalnya dalam hal pemanfaatan teknologi informasi, ketersediaan koleksi mutakhir, atau program literasi berkelanjutan.
  3. 3. Predikat C (Cukup), jumlah 6.917 (65,7%). Mayoritas perpustakaan sekolah masih berada pada kategori paling rendah. Artinya, sebagian besar perpustakaan belum memenuhi standar ideal, baik dari sisi koleksi, layanan, SDM, maupun sarana. Kondisi ini bisa mencerminkan keterbatasan anggaran pendidikan, kurangnya pustakawan yang kompeten, serta minimnya perhatian sekolah terhadap fungsi perpustakaan sebagai pusat sumber pembelajaran.

Jadi, sangat logis apabila hasil PISA negara kita tidak mengalami peningkatan signifikan selama 25 tahun terakhir dan selalu berada di deretan peringkat terbawah. Kondisi ini, sejalan dengan fakta bahwa sebagian besar perpustakaan sekolah di Indonesia masih jauh di bawah Standar Nasional Perpustakaan (SNP). 

Alokasi Anggaran Proporsional

Melalui artikel ini, penulis mengajak para pemangku kepentingan pendidikan, mulai dari kepala sekolah/madrasah, pendidik dan tenaga kependidikan untuk bersama-sama berkontribusi dalam pengembangan dan penguatan perpustakaan sekolah sesuai peran masing-masing.

Kepada kepala sekolah/madrasah sebagai tokoh kunci suksesnya satuan pendidikan, langkah awal yang dapat dilakukan adalah memastikan alokasi anggaran untuk penyediaan buku teks utama, dengan proporsi minimal 10% dari dana BOS yang diterima sebagaimana yang diamanatkan dalam regulasi yang berlaku.

Hak setiap peserta didik adalah memperoleh buku teks utama untuk setiap mata pelajaran sesuai kurikulum yang berlaku. Kewajiban setiap satuan pendidikan adalah menyediakan buku teks utama tersebut bagi seluruh siswanya.

Namun, faktanya hingga kini masih banyak satuan pendidikan yang tidak menunaikan kewajiban ini. Akibatnya, peserta didik kehilangan hak dasarnya untuk mendapatkan salah satu indikator pendidikan bermutu. Kondisi ini jelas merupakan bentuk ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Lebih ironis lagi, pengabaian hak tersebut dianggap biasa dan tidak diikuti dengan sanksi apapun.

Padahal buku teks utama telah diatur secara jelas dalam regulasi. Buku ini adalah buku pelajaran yang wajib digunakan dalam pembelajaran sesuai kurikulum yang berlaku, dan disediakan oleh pemerintah pusat tanpa dipungut biaya (Pasal 1 Ayat (5) Peraturan Mendikbudristek No. 25 Tahun 2022 tentang Penilaian Buku Pendidikan).

Mengakhiri artikel ini, penulis mengajak para pembaca budiman untuk berefleksi sejenak bahwa dari demonstrasi yang berujung kerusuhan ini tersimpan ibrah berharga: jika suara rakyat diabaikan, hak tidak diberikan, kewajiban tidak ditunaikan, maka petaka akan mengadang kita.

Pun dalam hal mengelola layanan pendidikan. Apabila perpustakaan sekolah diabaikan, hak peserta  didik tidak terpenuhi sebagaimana mestinya, dan kewajiban tidak dijalankan secara optimal, maka akan sulit bagi kita untuk benar-benar mencapai tujuan nasional pendidikan.

*Kepala Perpustakaan MTsN 1 Pandeglang


Share this Post