REFLEKSI
KEMERDEKAAN :
Literasi
Digital Benteng Ketahanan
Generasi Milenial
Oleh : Asep Najmutsakib*
Era Disrupsi
Disrupsi (disruption) adalah sebuah inovasi
yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi
berpotensi mengantikan pemain-pemain lama dengan
yang baru. Menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologi digital, menghasilkan sesuatu yang
benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih
bermanfaat, (Kasali, 2017). Sebagaimana sebuah teori yang bernama “Disruption Theory” oleh Christensen Clayton,
bahwa perubahan melalui inovasi (melakukan cara yang berbeda untuk menjadi lebih baik) adalah sebuah
keniscayaan yang mutlak harus dilakukan.
Salah satu contohnya dengan adanya internet ditengah-tengah masyarakat, yang tidak bisa dipungkiri
mengubah kehidupan manusia secara drastis.
Kata orang
bijak, belajar itu sejatinya menjelajahi tiga fase: learn, unlearn, relearn.
Sebab dunia terus berubah. Disrupsi mengubah banyak hal sedemikian rupa, sehingga cara-cara
lama (kuno) menjadi
“obsolete”. Reinald Kasali menjelaskan, disrupsi bukan sekedar
fenomena “hari ini”, melainkan
fenomena “hari esok” yang dibawa oleh para pembaharu. Lanjutnya, banyak yang
menganggap disruption hanya berkaitan
dengan Teknologi, Informasi dan Komunikasi (ICT). Ada juga yang menyamakan dengan cara kerja bisnis multilevel marketing (MLM). Bahkan ada yang membatasinya sebagai trading, sehingga melihatnya sebagai
usaha brokerage, bisnis percaloan. Disrupsi tak selalu bicara bisnis aplikasi yang digerakan untuk mempertemukan supply dengan demand. Sejatinya
disrupsi mengubah bukan hanya “berbisnis”, melainkan juga fundamental
bisnisnya. Mulai dari struktur biaya
sampai budaya bahkan ideology
industry.
Peradaban Baru
Dewasa kini,
dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, generasi millenial harus mampu beradaptasi dengan cepat. Merefleksikan serta mereformulasikan
ide dan gagasan dengan cara-cara yang lebih variatif dan inovatif. Penetrasi
kecanggihan teknologi dan informasi telah menusuk vital kehidupan manusia. Lihat saja bagaimana internet
dan/atau kuota telah menjadi bahan pokok (bahan
dasar). Revolusi industri tidak hanya terkait dengan dunia bisnis (ekonomi), namun nyatanya telah menjadi hal-hal
baru dalam sendi kehidupan. Bukan hanyaekonomi, namun juga pada sektor lain, misalnya
pendidikan, sosial dan budaya serta
politik.
Zaman dengan cepat berganti,
akselerasi ilmu pengetahuan dan teknologi meningkat tajam. Sebuah keniscayaan dalam
cara pikir dan perilaku pun turut berubah pesat, misal sederhananya dulu cara berbisnis
sangat menekankan owning (kepemilikan) sekarang berganti
menjadi sharing (saling berbagi
peran, kolaborasi resources). Zaman Now eranya bekerja
bersama-sama, kolaborasi dan bergotong royong. Tentunya, setiap hal perubahan
walaupun sangat memberikan dampak positif yang
signifikan, namun juga akan menimbulkan persoalan sosial baru pula. Sebuah situasi
dan kondisi yang harus dibarengi dengan kecakapan literasi digital.
Dalam
banyak
kasus
terkait
dengan
konsekuensi
inovasi
teknologi
dan
informasi tidak terprediksi, bahwa
innovator, change agents, opinion leaders,
atau
pengadopsi cenderung untuk
menganut apa yang disebut sebagai pro-innovation bias,
terlalu mengedepankan dampak positif pertumbuhan inovasi
teknologis dan kurang
memperhatikan
dampak
negatifnya.
Mempertimbangkan
sebuah
konsekuensi
atau
akibat
dari sebuah inovasi sangat penting untuk dilakukan karena kurangnya perhatian
dan data mengenai konsekuensi. Sehingga
menyulitkan dalam melakukan langkah-
langkah
antisipatif dengan situasi yang telah memasuki era baru, peradaban baru yang
melibatkan
banyak produk digital
dalam
berkehidupan.
Refleksi Kecanggihan Teknologi
Masuknya era
revolusi industri 4.0 menjadi momen penting bangsa Indonesia
dalam memacu kompetensi sumber daya
manusia, generasi millennial adalah satu
komponen
utamanya. Generasi yang lahir pada medio 1980-1999 ini harus bersiap
dengan kondisi masa depan industri dan
manufaktur. Tak hanya pintar dan menguasai
teori,
mereka
harus
memiliki
kemampuan
belajar
(learning ability)
tinggi
untuk
mengikuti
perubahan
yang
berlangsung
cepat.
Generasi
milenial
sangat
berperan
penting dalam menerapkan industri 4.0,
teknologi fisik dan digital yang digabungkan
melalui
analitik,
kecerdasan
buatan,
teknologi
kognitif,
dan
Internet of Things.
Sederhananya, revolusi ini menanamkan teknologi yang cerdas dan
terhubung tidak
hanya di dalam
perusahaan, tetapi
juga kehidupan
sehari-hari.
Pendidikan
secara
filosofis
adalah
sebagai
alat
atau
wadah
untuk
mencerdaskan
bangsa
dan
membentuk
watak
manusia
yang
lebih
baik
atau
humanisme, memanusiakan manusia. Fenomena era disrupsi sepertinya disepelekan,
digitalisasi
telah
menjadi
penunjang
hidup.
Tidak
dapat
dipungkiri
pengaruh
perkembangan
global
berdampak
terhadap
pada
anak-anak.
Sangat
penting
untuk
menanamkan
kesadaran
dalam
upaya
mempertahankan
identitas
bangsa
serta
meningkatkan
ketahanan
mental
dan
ideologi
bangsa
sedini
mungkin.
Tentu
ini
menjadi
tanggung
jawab
bersama dan
harus
disadari secara
bersama pula.
Konten-konten
informasi sangat mudah disebarluaskan dengan hanya dalam hitungan detik, baik positif maupun negatif, hoax bertebaran dan dengan mudahnya diterima, ujaran kebencian meraja rela,
disrupsi informasi melahirkan era bernama post truth. Sering kita temukan
di berbagai platform berita-berita menyedihkan misalnya
ada seorang anak yang menikam orang tuanya begitupun sebaliknya, ada juga para kaula muda-mudi dengan mudahnya memamerkan perilaku yang tidak sepantasnya. Media sosial mampu
mempengaruhi karakter individu.
Neil Postman (2005) dalam bukunya
“The End Of Education” telah lama mengingatkan bahwa matinya pendidikan karena pengelolaan
pendidikan kehilangan arah, yang
terlihat hanya orang sibuk mengurus pendidikan yang tidak terarah itu. Pendidikan karakter menjadi benteng dan
fondasi ketahanan karakter anak bangsa untuk
menghadapi tantangan era globalisasi (era digital) yang memberikan dampak negatif seperti ketidakjujuran, rendahnya
kepedulian, turunnya tanggungjawab, sikap acuh tak acuh, mengikis
common sense, melemahkan budaya
gotong royong, dll.
Rheinald
Kasali (2017) dalam bukunya “Disruption”
mengingatkan, “Tidak ada yang tidak
bisa diubah sebelum dihadapi, motivasi (harapan dan keinginan) saja tidak cukup”. Ia mengingatkan, “Setiap
orang harus tahu posisi dirinya dan tahu harus kemana ia melangkah (where we are, and where we are going to).
Sebagian besar pengguna internet
masih belum bisa mengoptimilkan peran dan kegunaan
secara mendalam bahwa dunia
digital bisa berperan sebagai sharing
knowledge, aktualisasi diri,
efisiensi bisnis dan penunjang ekonomi.
Pandemic
COVID-19 telah meluluhlantakan bukan hanya aktivitas ekonomi,
namun sektor lainnya pun terkena
dampaknya. Lihatlah bagaimana dunia pendidikan
mengalami
perubahan
yang
signifikan
dalam
proses
belajar
dan
mengajar.
Atau
bagaimana
pola
pikir
dan
berprilaku
berubah
drastis,
atau
perubahan
perilaku
konsumen
dan
produsen
dalam
menghindari
penularan
wabah
dan
mengikuti
kebijakan
pemerintah.
Bila
ingin
bertahan,
maka
institusi
atau
organisasi
harus
mempunyai
ketangkasan
dalam
meremajakan
diri
atau
dapat
disebut
juga
proses
disrupsi
diri
(
self-disruption).
Sudah banyak
institusi yang tumbang atau dipaksa mengubah diri. Beberapa waktu lalu kita mendengar kabar salah satu
perusahaan retail raksasa akan menutup seluruh
gerainya di akhir Juli 2021, sangat kontras dengan performa besar perusahaan retail berbasis platform digital.
Salah satu bank di Indonesia
menutup 96 kantor
cabangnya. Situasi ini seperti mengafirmasi ramalan Bill Gates, “Suatu
saat kita akan melihat bahwa
perbankan itu penting, namun bank tidak lagi penting.” Gates tentu merujuk pada praktik bank
konvensional yang saat ini telah tergeser seiring meroketnya teknologi finansial (fintech). Sama halnya dengan dunia pendidikan, hari ini semakin banyak
platform digital yang menawarkan jasa-jasa pendidikan.
Intervensi Regulasi
Dikutip dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024,
Indonesia sudah punya regulasi mengenai Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Secara umum, materi Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai
informasi dan transaksi
elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang
dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa
instrumen internasional. Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan
para pelaku bisnis di internet
dan masyarakat umumnya
guna mendapatkan kepastian
hukum dalam melakukan transaksi elektronik.
Kita juga sudah
punya Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif,
transparan, dan akuntabel serta pelayanan publik yang berkualitas dan terpercaya.
Namun, Perpres ini hanya mengatur tata kelola di lingkup lembaga pemerintah.
Saat ini, yang
dibutuhkan adalah aturan perundangan yang mengatur secara menyeluruh tentang bagaimana Indonesia
siap untuk melakukan transformasi digital seperti
negara-negara lain. Aturan yang akan mengatur transformasi digital secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa.
Peran semua pemangku pembangunan harus dipertimbangkan
dalam transformasi digital bangsa ini. Strategi penyediaan layanan digital, strategi permintaan layanan
digital, dan strategi pengelolaan Big
Data, serta bagaimana interaksi
antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat termasuk juga bagaimana keamanan dan kerahasiaan
data terutama data individu dilindung secara maksimal, diatur dalam satu aturan.
Alangkah
pentingnya ada kebijakan pemerintah agar masyarakat teredukasi dengan baik, kampanye literasi digital
harus mampu terjangkau ke
daerah-daerah pelosok. Mengeluh
dengan keadaan hari ini adalah sebuah sikap yang sangat keliru, sektor pendidikan mempunya peranan yang
paling penting dalam menjaga ketahanan identitas
dan karakter anak bangsa. Begitupun ekonomi dan politik, saling berkaitan. Untuk itu, dalam momentum kemerdekan setiap para stakeholder mampu duduk bersama dengan setiap unsur-unsur
masyarakat lainnya dalam upaya mengelola dan
memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk kesejateraan umum, keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sekali
Merdeka Tetap Merdeka. MERDEKA!!!
*Relawan Rumah Baca Daligo KSB