Sembuh Dengan Hanya Didengarkan

Sumber Gambar :

Sembuh Dengan Hanya Didengarkan

Atih Ardiansyah*

 

Sampai tahun 2020,  dunia dihuni oleh 7,753 miliar manusia. Di media sosial, tempat bagi sebagian besar populasi melarikan diri ke sana, riuhnya bukan main. Dilansir dari kompas.com, dalam laporan kuartal IV, Twitter mengumumkan bahwa mereka memiliki 217 juta pengguna aktif, dengan pengguna harian aktif sebesar 6 juta lebih. Sedangkan Facebook melaporkan bahwa pada kuartal IV-2021, pengguna (user) harian mereka sebesar 1,929 miliar orang. Begitu pula dengan pengguna media sosial lainnya seperti Instagram, TikTok maupun Youtube. Bayangkan, betapa riuhnya.

Angka-angka fantastis di atas melahirkan akibat baru, yaitu generasi yang terdistraksi. Berbagai penelitian dan pakar menyebut milenial dan Generasi Z sebagai manusia yang tidak bisa fokus, kurang daya tahan, dan yang paling penting mereka tumbuh sebagai generasi yang haus perhatian. Berbagai konten dan karakter yang mereka ciptakan di media sosial, pun dalam rangka menguber perhatian, bukan?

Ternyata, dari sekian tingkah polah kita dalam realitas maupun hiper-realitas (media sosial), yang kita dambakan adalah perhatian. Kita membutuhkan sesuatu yang lebih berharga dari nasihat, motivasi dan sebagainya, yaitu kebutuhan didengarkan. Keinginan menjadi berharga dengan diperhatikan secara mendalam.

Mendengarkan itu sulit dilakukan, tetapi pada saat yang sama jadi sesuatu yang kerap kita tuntut dari orang lain. Mendengarkan yang berat ini adalah listening dalam Bahasa Inggris. Kalau yang mudah dilakukan siapa saja barangkali padanan Bahasa Inggrisnya yaitu hearing.

Mengapa listening lebih sulit daripada hearing, meski dalam Bahasa Indonesia sama-sama menjadi padanan dari kata “mendengarkan”? Karena dalam listening, sedikitnya ada lima proses yang berlangsung secara bersamaan: menerima (mendengar dan memerhatikan pesan), memahami (mengartikan makna dari pesan yang diterima), mengingat (memeram pesan di dalam memori), evaluasi (berpikir kritis tentang pesan yang telah diterima), merespons (memberi umpan balik/feed back). Sedangkan dalam hearing…pernah kan melihat teman atau bahkan anggota keluarga yang “mendengarkan” ucapan kita sambil mengotak-atik ponsel pintarnya?

Mendengarkan secara aktif (dalam tulisan ini kita sebut saja listening) bukan hanya dibutuhkan oleh siapa saja yang hanyut dalam arus yang makin riuh, tetapi juga membawa dampak positif bagi yang mempraktikkannya. Dalam koteks pribadi, professional hingga gender, Joseph de Vito merangkumnya sebagai berikut:

Pertama, orang yang memiliki keterampilan listening adalah orang yang paling dicari. Saat memutuskan mengambil studi ilmu komunikasi waktu kuliah S1, kemudian berlanjut di jenjang S2, saya berpikir bahwa ini akan membuat saya semakin jago dalam pidato. Orasi saya akan memukau semua orang, sikap tubuh saya akan sangat meyakinkan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan panggung dan sorot lampu. Akan tetapi saya keliru.

Dunia yang riuh ini sedang benar-benar membutuhkan pendengar lebih banyak daripada pembicara. Pendengar yang aktif dan efektif adalah terapis. Pendengar mengobati luka, sedangkan bicara terkadang malah menambahkan garam ke atas luka. Makin banyak bicara, makin banyak dosanya. Demikian sebuah hadis disampaikan.

Ketika kita sedang terpuruk karena berbagai persoalan hidup, pasti yang kita cari bukanlah pengkhotbah atau motivator yang memberikan serangkaian nasihat. Yang kita butuhkan saat sedang sedih adalah seorang pendengar yang baik. Kita butuh seseorang yang, siapapun dia, berani mengambil peran untuk duduk di samping atau di hadapan kita seraya menyimak dengan saksama setiap hal yang dicurahkan, memberikan tatapan simpatik, memberi tepukan hangat di pundak, tersenyum bahkan tertawa ketika yang diceritakan sesuatu yang lucu, iba dan kalau perlu meneteskan air mata ketika yang dikisahkan adalah hal yang menyedihkan. Semuanya dilakukan dengan tak satu kata pun yang keluar. Menemukan seseorang yang sedia mendengarkan tanpa menyela sama dengan menemukan diri kita yang sejati, yang butuh dimanusiakan.

Kedua, seorang pendengar lebih pantas menjadi pemimpin (leader). Kita sering sekali terpukau dengan panggung depan, bahwa seseorang terlihat hebat saat tampil mengesankan dan membicarakan apa-apa saja yang keren. Akan tetapi kehebatan tidak hanya bisa dikomunikasikan dengan cara berbicara. Kekuatan (baca: kekuasaan) bisa dikomunikasikan dengan cara mendengarkan dan orang yang memiliki kekuatan sesungguhnya adalah seorang pendengar yang efektif. Dalam beberapa literatur, terutama Johnson and Bechler (1998), Kramer (1997), Castleberry and Shepherd (1993), Lauer (2003), Stein and Browen (2003) dan Levine (2004), dijelaskan bahwa pendengar yang efektif lebih besar peluangnya untuk menjadi pemimpin kelompok atau seorang ahli penjualan yang unggul, pelayan kesehatan yang perhatian dan atasan yang difavoritkan. Misalnya kita menjadi bawahan, tentu kita akan lebih menyenangi atasan yang banyak mendengarkan dan memberi perhatian kepada kita daripada yang sering menceramahi. Dalam banyak studi tentang sumber daya manusia, bawahan yang mendapat perhatian dan sering didengarkan akan mampu mengeluarkan seluruh kemampuannya.

Ketiga, seorang pendengar biasanya seorang pecinta yang tangguh. Tanyalah kepada semua perempuan, lelaki seperti apakah yang mereka dambakan? Ketika orang memperdebatkan rupa dan isi rekening, sikap baik menegaskan posisinya. Perempuan maupun lelaki pasti lebih menyukai pasangan yang memiliki keterampilan mendengarkan. Seorang lelaki atau perempuan yang pandai mendengarkan akan mudah memberikan perhatian, tersenyum dan empati. Tidak semua orang butuh dinasihati, tapi siapa saja akan sembuh dengan hanya didengarkan.

Keempat, perempuan jauh lebih unggul dalam mendengarkan daripada lelaki. Ada perbedaan gaya mendengarkan antara lelaki dan perempuan, baik verbal maupun nonverbal. Dan perempuan lebih bagus daripada laki-laki dalam hal ini. Deborah Tannen (1990, dalam Brownell, 2006) melalui survey yang dilakukannya dan dia tulis dalam bukunya You Just Dont Understand: Women and Men in Conversation, mengatakan bahwa dalam menjalin hubungan, lelaki biasanya (berusaha) mendominasi interaksi. Sedangkan perempuan berupaya membangun dan menetapkan relasi dengan lebih dekat melalui keefektifan mendengarkan. Perempuan kerap memberikan umpan balik (feed back) kepada lawan bicara dengan isyarat mendengarkan (listening cues) yang lebih variatif. Perempuan bisa memberi isyarat seperti “oya?”, “hu-uh”, “hmm”, tersenyum, mengangguk-anggukkan kepala, mengerlingkan mata dan lain-lain. Sementara laki-laki lebih banyak diam tanpa memberikan isyarat tambahan sebagai umpan balik dalam berkomunikasi.

Tannen menambahkan bahwa lelaki lebih sedikit mendengarkan perempuan daripada perempuan mendengarkan lelaki. Menurutnya, alasan dari hal ini karena kebanyakan lelaki  berpandangan bahwa mendengarkan adalah posisi yang inferior, sementara berbicara adalah pos yang superior. Dan pandangan seperti ini masih menjadi paradigma kita, karena begitulah sejak kecil kita terkondisikan.

Setelah menyimak beberapa poin di atas, rasa-rasanya kita bisa ngaragap awak. Barangkali, berbagai kegaduhan di negeri ini bisa kita kurangi dengan cara menarik diri dari keriuhan. Lalu segera menjadi pendengar yang baik bagi orang lain.

 

*Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Untirta/Founder Cendekiawan Kampung


Share this Post