Staregi Pustakawan Untuk Mendukung Sustainability Lingkungan Hidup

Sumber Gambar :

Oleh: Irfan M Nasir*

Baru-baru ini para ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC memberikan warning berupa “kode merah bagi umat manusia”. Hal ini diutarakan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres setelah diterbitkannya hasil laporan kelompok kerja ilmuwan IPCC pada tanggal 9 Agustus 2021. Peringatan ini bukan hanya ditujukan untuk beberapa negara saja, melainkan untuk seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dimana menurut prediksi para ilmuwan yang tergabung dalam IPCC tersebut, pemanasan global yang menjadi penyebab bencana cuaca ekstrim di seluruh dunia ini, dalam 20 tahun kedepan berisiko tidak lagi dapat dikendalikan. Namun dengan catatan apabila kita masih melakukan aktifitas seperti biasa atau business as usual dan tidak mengurangi emisi karbon dioksida secara ekstrim. Dari analisis yang sudah dilakukan, ternyata sebanyak empat belas ribu studi yang berkaitan dengan perubahan iklim menunjukkan bahwa penyebab kenaikan suhu bumi sebesar 1.1°C, yakni akibat pembakaran bahan bakar fossil. 1

Efek peningkatan suhu bumi ini berdampak ke seluruh sektor diantaranya sektor pertanian. Sektor ini benar-benar bergantung pada kondisi cuaca tahunan. Perubahan iklim akan merubah ritme musiman yang bisa mengakibatkan penurunan produktifitas hasil pertanian secara signifikan, tak terkecuali resiko gagal panen akan semakin sering terjadi. Penurunan produktifitas ini bisa dilihat kenyataannya pada tahun 2024 kemaren, dimana salah satu komoditas pertanian yaitu kakao (buah coklat) harganya melambung tinggi lebih dari tiga kali lipat, karena negara-negara penghasil kakao yaitu Afrika Barat terkena El Nino yang akhirnya tidak bisa panen. Krisis iklim menjadi penyebab utama naiknya harga kakao global. Hal ini terjadi di Pantai Gading, negara di Afrika Barat yang tercatat sebagai penghasil cokelat terbesar di dunia.2

Permasalahan diatas menarik perhatian penulis untuk membuat ulasan dikarenakan suatu kekhawatiran bagaimana seandainya perubahan iklim ini menjadikan  seluruh komoditas pertanian yang merupakan kebutuhan pokok warga bumi gagal panen lalu harganya naik tiga atau bahkan lima kali lipat dari harga sekarang? Bukankah itu akan menimbulkan banyak masalah.

Dari keadaan ini penulis mencoba merenung  apa yang mesti dilakukan para pustakawan sebagai ujung tombak literasi untuk mengambil bagian secara serius menyadarkan masyarakat tentang literasi lingkungan hidup?

Dari Buku ke Layar: Sejauh Mana Literasi Lingkungan Hidup Masyarakat Berkembang?

Dalam menghadapi berbagai tantangan lingkungan global, literasi lingkungan hidup menjadi kunci untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap keberlanjutan planet ini. Literasi lingkungan hidup tidak hanya tentang memahami konsep dasar ekosistem, perubahan iklim, atau pengelolaan sampah, tetapi juga mencakup kemampuan menghubungkan informasi tersebut dengan tindakan nyata yang berdampak positif bagi lingkungan.

Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, pola penyebaran informasi tentang lingkungan hidup telah berubah secara signifikan. Jika dahulu masyarakat banyak bergantung pada buku, majalah, dan media cetak lainnya, kini informasi tentang isu lingkungan lebih banyak diakses melalui layar --baik itu melalui artikel daring, video edukasi, infografik, hingga kampanye di media sosial--. Fenomena ini menciptakan peluang besar untuk memperluas jangkauan informasi tentang lingkungan hidup kepada berbagai kalangan masyarakat.

Namun, perubahan ini juga menghadirkan tantangan. Tidak semua informasi yang beredar di dunia digital dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Masyarakat sering kali terjebak dalam disinformasi yang menghambat upaya peningkatan kesadaran lingkungan. Di sisi lain, tingkat literasi digital masyarakat yang beragam memengaruhi bagaimana informasi tersebut dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah peran pustakawan dibutuhkan untuk penyadaran.

Sebagai contoh, informasi tentang bahaya penggunaan plastik sekali pakai tidak akan efektif tanpa adanya langkah konkret, seperti mengadopsi gaya hidup zero waste atau memilih produk ramah lingkungan. Pengetahuan tentang emisi karbon hanya menjadi wacana jika tidak diikuti dengan tindakan seperti menggunakan transportasi publik, menanam pohon, atau mendukung energi terbarukan.

Kemampuan ini memerlukan literasi informasi yang kuat, yaitu kemampuan untuk memilah mana informasi yang relevan dan dapat dipercaya, sekaligus memahami dampaknya secara mendalam. Lebih dari itu, keterampilan ini harus didukung oleh kesadaran kritis dan empati terhadap isu-isu lingkungan yang dihadapi.

Namun, menghubungkan informasi dengan tindakan tidak selalu mudah. Tantangan yang sering muncul adalah:

  • - Kurangnya pemahaman mendalam: Banyak masyarakat mengetahui isu lingkungan secara umum, tetapi tidak memahami langkah spesifik yang harus diambil.
  • - Hambatan struktural: Faktor seperti akses terbatas ke fasilitas daur ulang atau biaya tinggi produk ramah lingkungan sering kali menghalangi tindakan.
  • - Kebiasaan lama: Mengubah pola pikir dan kebiasaan membutuhkan waktu serta konsistensi.

Untuk mengatasi tantangan ini, edukasi berperan penting, baik melalui jalur formal seperti sekolah, maupun nonformal seperti kampanye komunitas atau program literasi perpustakaan. Pendekatan berbasis aksi, seperti lokakarya daur ulang, gerakan menanam pohon, atau program bank sampah, dapat menjadi jembatan antara informasi dan implementasi.

Pada akhirnya, menghubungkan informasi dengan tindakan nyata adalah tentang membangun budaya bertanggung jawab terhadap lingkungan. Ketika masyarakat tidak hanya memahami, tetapi juga bertindak, maka kita tidak hanya menciptakan dampak positif bagi lingkungan, tetapi juga mewariskan planet yang lebih baik untuk generasi mendatang.

Pustakawan di Garis Depan Literasi Lingkungan: Dari Edukasi ke Aksi

Di tengah krisis lingkungan global yang semakin nyata, literasi lingkungan hidup menjadi salah satu kunci dalam membangun kesadaran dan mendorong perubahan perilaku masyarakat. Dalam upaya ini, pustakawan memiliki peran strategis sebagai penghubung antara informasi, edukasi, dan aksi nyata. Perpustakaan, yang selama ini dikenal sebagai pusat pembelajaran, kini berkembang menjadi ruang inspirasi untuk keberlanjutan lingkungan.

Sebagai pendidik informasi, pustakawan berada di garis depan dalam menyediakan akses ke sumber daya literasi lingkungan, seperti buku, artikel, jurnal ilmiah, dan multimedia edukatif. Namun, peran pustakawan tidak berhenti pada penyediaan informasi. Mereka juga bertugas memotivasi masyarakat untuk memahami isu-isu lingkungan dan menerapkan solusi praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu cara pustakawan mengubah edukasi menjadi aksi adalah dengan menyelenggarakan program-program berbasis literasi lingkungan, seperti:

  • - Lokakarya Daur Ulang: Mengajarkan masyarakat cara mendaur ulang limbah rumah tangga menjadi barang bernilai guna.
  • - Klub Buku Hijau: Membangun diskusi tentang buku-buku bertema lingkungan dan menginspirasi peserta untuk melakukan tindakan nyata.
  • - Kampanye Zero Waste: Mengedukasi pengunjung perpustakaan tentang pentingnya mengurangi penggunaan plastik dan mengadopsi gaya hidup berkelanjutan.
  • - Pameran Lingkungan: Menampilkan data, fakta, dan solusi tentang isu-isu lingkungan, seperti perubahan iklim atau pelestarian keanekaragaman hayati.
  • - Membuat Konten-konten Digital yang berkaitan dengan penyadaran Lingkungan hidup secara terus menerus,

Selain itu, pustakawan juga menjadi contoh dalam praktik ramah lingkungan di perpustakaan. Langkah sederhana seperti menggunakan energi terbarukan, menyediakan fasilitas daur ulang, dan mengurangi penggunaan kertas di perpustakaan dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat.

Kolaborasi adalah kunci lain yang dipegang pustakawan dalam menggerakkan literasi lingkungan. Mereka dapat bekerja sama dengan komunitas lokal, sekolah, organisasi lingkungan, dan pemerintah untuk memperluas dampak dari program edukasi lingkungan. Dengan pendekatan ini, pustakawan tidak hanya menjadi fasilitator informasi, tetapi juga agen perubahan sosial yang nyata.

Melalui upaya edukasi yang terintegrasi dengan aksi, pustakawan membuktikan bahwa perpustakaan adalah lebih dari sekadar tempat menyimpan buku. Perpustakaan menjadi ruang yang hidup dan relevan dalam menyelesaikan tantangan lingkungan global. Dengan komitmen yang kuat, pustakawan di garis depan literasi lingkungan dapat menciptakan masyarakat yang tidak hanya sadar, tetapi juga berdaya untuk bertindak demi keberlanjutan bumi.

Upaya pustakawan yang terintegrasi antara edukasi dan aksi nyata ini tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan. Ketika pustakawan menjadi teladan dan fasilitator dalam isu lingkungan, mereka membantu menciptakan masyarakat yang lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap keberlanjutan bumi.

Dengan perpustakaan sebagai pusat perubahan dan pustakawan sebagai penggeraknya, kita dapat membayangkan masa depan di mana bumi menjadi tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali. Udara yang lebih bersih, ekosistem yang sehat, dan gaya hidup masyarakat yang lebih ramah lingkungan adalah wujud nyata dari dampak edukasi lingkungan yang dilakukan dengan konsisten.

Melalui komitmen ini, pustakawan menunjukkan bahwa langkah kecil yang dilakukan bersama-sama dapat menghasilkan perubahan besar demi bumi yang lebih baik untuk generasi mendatang.

*Pustakawan Muda UIN SMH Banten

Catatan kaki:

 https://www.walhi.or.id/kondisi-lingkungan-hidup-di-indonesia-di-tengah-isu-pemanasan-global

2 https://www.kompas.com/food/read/2024/07/29/150300875/harga-kakao-naik-3-kali-lipat-beda-respons-petani-dan-pengusaha


Share this Post