Tentang Buku, Toko Buku, Dan Perpustakaan
Sumber Gambar :Oleh: Engkos Kosasih
“Sebagian buku harus dicicipi, yang lain ditelan, sebagian dikunyah dan dicerna”
Francis Bacon
Tujuh belas tahun yang lalu, saat saya masih kuliah, teringat sering mampir ke toko buku di sebuah mall yang tak jauh dari kampus. Buat mahasiswa pas-pasan seperti saya, ke toko buku bukan untuk gaya-gayaan menghabiskan uang. Juga bukan untuk gaya-gayaan sok intelektual. Tetapi toko buku tersebut sangat membantu ketika ada tugas-tugas kuliah yang memerlukan referensi.
Bukan hanya buku, kadang juga beli perlengkapan kuliah. Memandang deretan buku-buku baru, mencium harumnya kertas-kertas baru, atau membuka-buka buku sekadar membaca sekilas buku yang telah dibuka segelnya, tak terasa waktu dihabiskan di sana. Nama toko buku itu “Gunung Agung”.
Kini kabarnya toko buku tersebut sudah tutup berganti dengan wahana bermain anak-anak. Menurut berita di laman daring, tutupnya toko buku tersebut hanyalah salah satu dari rencana resmi penutupan seluruh gerai Toko Buku Gunung Agung secara permanen pada akhir tahun 2023 kemarin. Penutupan sebagian gerai sudah dilakukan secara bertahap sejak tahun 2020.
Banyak pegiat literasi yang menyuarakan keprihatinannya atas penutupan gerai toko buku dari perusahaan perintis toko buku di Indonesia ini. Sebagian menyebutnya sebagai alarm darurat bagi pengembangan literasi. Walaupun bukan satu-satunya, kehadiran gerai toko buku fisik bagaimanapun sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekosistem perbukuan.
Saya ingat hal yang sama pun terjadi di Banten. Di Ramayana mall Serang pun pernah ada toko Buku tetapi tidak bertahan lama. Kini berganti dengan wahana bermain anak-anak. Mudah-mudahan toko buku yang ada di beberapa ruas jalan utama kota Serang masih terus bertahan.
Buat saya kehadiran buku secara fisik tetap tak tergantikan dengan buku elektronik (ebook). Memang kita sama-sama membaca, tetapi rasa dan “kenikmatan” membaca lebih terasa dengan buku secara fisik. Situasi ini sama ketika saya membaca koran secara fisik. Karena saya sudah terlanjur biasa membaca koran cetak, saat membaca koran digital (epaper) serasa ada yang kurang. Tetapi apalah daya, koran-koran dan majalah-majalah cetak kini menghadapi tantangan berat.
Harian nasional besar sudah tidak terbit cetak lagi misalnya koran Republika, dan Suara Pembaruan. Koran Republika resmi tidak terbit per 1 Januari 2023 dan sepenuhnya migrasi dalam bentuk berita digital. Suara Pembaruan lebih dulu tidak terbit per 1 Februari 2021. Koran-koran yang masih terbit menyiasati fenomena gugurnya koran cetak dengan menerbitkan versi koran digitalnya.
Di Banten pun sama. Kini agak susah mendapatkan koran-koran cetak. Tempat saya beli koran cetak di plaza Pandeglang kini tak lagi ada. Lapak koran cetak berhenti, penjual korannya beralih profesi menjadi penjaga parkir. Dulu pun saya kadang membeli majalah Bobo untuk anak saya di sana. Nasibnya agak lebih bagus dari majalah Bobo Junior yang resmi menghentikan versi cetaknya per Januari 2023.
Jika dihitung secara keuntungan buat pembaca koran, memang harga beli koran secara fisik jauh lebih mahal dibandingkan dengan koran digital (e-paper). Sebuah koran lokal di Banten misalnya membandrol harga tiga ribu rupiah per satu koran cetak. Hitung-hitungan satu bulan dua puluh hari terbit maka pelanggan perlu merogoh kocek 120 ribu rupiah. Anggap ada tambahan untuk ongkos kirim. Maka sebulan berlangganan 150 ribu rupiah. Harga ini cukup untuk berlangganan koran tersebut dalam format digital selama enam bulan.
Harga tersebut bisa lebih murah lagi untuk berlangganan koran digital salahsatu harian nasional. Banyak even promo yang bisa didapatkan pelanggan sehingga harga langganan satu tahun bisa didapatkan seharga seratus ribu rupiah saja. Bahkan pada harian nasional yang lain, harga tersebut sudah termasuk bundling dengan majalah mingguannya.
Transformasi Digital
Beberapa fenomena pada dunia perbukuan nasional dan juga penerbitan menunjukkan adanya perubahan yang signifikan yang mungkin mengubah cara pandang dan pendekatan para pegiat literasi untuk tetap memajukan dunia literasi khususnya untuk literasi dasar baca dan tulis.
Gempuran digitalisasi pada semua bidang tak terkecuali pada dunia buku dan produk-produk kreatif literasi harusnya dipandang sebagai tantangan baru. Sehingga zaman boleh berubah tetapi inti dan semangat berliterasi kita tak lekang oleh zaman.
Beberapa jalan keluar dari hal itu misalnya upaya lebih kreatif dari toko-toko buku yang hadir secara fisik sehingga tetap diminati oleh para milenial. Diantaranya yaitu memadukan konsep toko buku dengan entertainment. Toko buku ditata sedemikian sehingga pas dengan tempat-tempat nongkrong anak muda. Selain itu toko buku dibuat lebih personal dan mengusung tema rumahan serta dipadukan dengan penampilan kreatif seperti musik atau stand-up komedi.
Dan tentu saja dengan tak mengabaikan penjualan-penjualan buku melalui platform lokapasar daring atau melalui media internet lainnya, buku kini semakin mudah menjangkau pembelinya. Kini membeli buku tak dibatasi tempat dan waktu. Asal ada dana tentunya. Di media sosial pun seperti Facebook penjual buku individu atau disebut bakul buku banyak yang eksis.
Mengapa berbagai pendekatan pemasaran buku penting. Karena tentu saja masing-masing orang mungkin berbeda alasannya untuk membaca buku. Selalu ada alasan personal orang mau membaca buku. Oleh karena itu diperlukan pendekatan multiplatform agar membaca buku semakin digemari dan menyentuh semua kalangan.
Saya masih suka mengutip kata-kata Najwa Shibab: “cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu. Mulailah jatuh cinta”. Dan bagi yang sudah cinta menurut saya tidak lagi diperlukan alasan. Saya akan cinta membaca buku entah apa pun keadaanya dan entah untuk alasan apapun.
Sebelum saya bisa membaca, terlebih dahulu saya berkenalan dengan dunia dongeng. Ibu buat saya adalah seorang pendongeng handal. Jadi sebelum saya bersekolah pun, Ibu sering menceritakan dongeng-dongeng disela-sela saya bermain dan beliau menumbuk kopi, “mesek” melinjo, ataupun menunggu jemuran padi agar tak dilahap ayam.
Awal-awal saya membaca buku adalah ketika ayah saya membawa buku-buku di perpustakaan sekolah tempat beliau mengajar. Maka saat saya bertemu dengan kata-kata dalam berbagai buku cerita yang dibawakan ayah itulah, saya merasa dengan membaca buku sendiri saya akan bertemu dengan lebih banyak dongeng-dongeng yang memukau saya seperti diceritakan ibu.
Salah satu buku cerita yang memukau saya adalah buku Hamka bercerita tentang kisah nabi dan rasul. Dan beranjak remaja saat SMA saya bertemu lagi dengan buku Hamka yang dipinjam kawan yang ngobong di pesantren. Judul bukunya Tasauf Moderen. Di perpustakaan sekolah saya larut ketika membaca majalah-majalah Horison.
Saya termasuk yang tidak membatasi diri untuk jenis buku yang saya baca. Semakin lama saya merasa bahwa semakin membaca berbagai jenis buku semakin menambah cara pandang dari berbagai sisi.
Jadi menurut saya, membaca buku akan membuka alasan-alasan baru untuk terus berkelana membaca. Dan baru-baru ini saya terkesan dengan buku berjudul Seni Berpikir Kreatif yang ditulis John Adair. Dalam salah satu bab buku ini disebutkan bahwa membaca merupakan salah satu cara untuk berfikir dan bertindak kreatif dengan menempatkan tujuan membaca untuk menggali ide-ide.
Bagi banyak orang, tulis Adair, membaca dan riset lebih merupakan alat untuk menghindari berpikir daripada alat untuk berpikir. Akan tetapi, membaca sebagai pengalihan atau hiburan atau membaca untuk informasi, berbeda dari membaca untuk menggali ide.
Membaca buku dapat merangsang dan mengembangkan daya pikir kreatif. Jika tidak ada yang lain sebuah buku dapat membawa mood kerja. Adar mengutip kata-kata Charles Darwin: “jika masih ada kehidupan yang bisa saya jalani lagi, saya akan membiasakan diri untuk membaca puisi dan mendengarkan musik. Setidaknya seminggu sekali karena mungkin bagian-bagian dari otak saya yang kini mengalami atrofi akan terus aktif bila digunakan”.
Tidak ada bacaan yang tidak menuntut pikiran yang tajam, terbuka, dan ingin belajar. Sedangkan tujuan riil pendidikan ialah membawa kita ke kondisi terus-menerus bertanya. Sambil membaca, belajar, dan meneliti kita akan menemukan inspirasi, percikan pemikiran, dan penularan. Pepatah Cina mengatakan belajar itu seperti mendayung menantang arus: tidak bergerak maju berarti hanyut terbawa arus.
Tentang Perpustakaan
Baru-baru ini dikutip koran Banten Raya (27/12/2023), duta baca Indonesia Gol A Gong mengkritik perpustakaan kota Cilegon yang dianggapnya masih kuno dibandingkan dengan perpustakaan-perpustakaan di daerah lain. Ditambahkannya bahwa kondisi perpustakaan Cilegon masih jauh dari harapan mengingat Cilegon sebagai kota industri layak memiliki perpustakaan modern bahkan berkelas internasional.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas lebih jauh kritik yang bersifat membangun dari tokoh pegiat literasi tersebut hanya titik masuk percakapan tentang perpustakaan. Bahwa harapan tersebut sangat masuk akal mengingat persentuhan beliau dengan berbagai perpustakaan-perpustakaan di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Apa yang saya terpikirkan oleh saya hanyalah sebagai serpihan pikiran yang terlintas dari salah seorang anggota perpustakaan. Saya ingat setidaknya tujuh perpustakaan yang sering saya kunjungi ketika masih kuliah: perpustakaan ditingkat fakultas, perpustakaan kampus, perpustakaan daerah Jakarta Pusat, perpustakaan Soemantri Bojonegoro, Perpustakaan Kemendikbud, Perpustakaan LIPI (sekarang BRIN), dan Perpustakaan Nasional.
Tentu pengalaman dan kesan-kesan yang berbeda tiapkali masuk ke perpustakaan yang berbeda-beda. Tapi mungkin harapan ke setiap perpustakaan rasanya sama saja. Harapan akan kenyamanan membaca di tempat, kelengkapan koleksi buku, dan keramahan pelayanan kepada pengguna.
Mungkin hampir sama dengan apa yang terjadi pada persentuhan dengan toko buku, ketika kembali ke daerah Pandeglang, mengunjungi perpustakaan-perpustakaan yang saya sebutkan ternyata sebuah privilese.
Saya ingat ketika saya memutuskan kembali ke daerah, meluangkan waktu untuk kujungan ke perpustakaan daerah Pandeglang membutuhkan perjuangan tersendiri. Jarak yang lumayan cukup jauh harus ditempuh, dan kondisi perpustakaan yang rasanya tidak berubah dari tahun ke tahun.
Dengan seabreg permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah, mungkin program revitalisasi perpustakaan daerah bukanlah prioritas. Dan barangkali juga program revitalisasi perpustakaan kurang “seksi” diangkat sebagai program unggulan karena tidak menambah dukungan elektoral. Berbeda halnya dengan program-program popular seperti bantuan-bantuan peningkatan kesejahteraan.
Dengan berbagai hambatan yang dialami, inovasi perpustakaan-perpustakaan untuk membuka layanan digital berupa perpustakaan digital (e-perpustakaan) layak mendapat dukungan memadai. Adanya aplikasi perpustakaan semakin mendekatkan pengguna perpustakaan untuk mengakses buku mengatasi hambatan jarak dan waktu.
Layanan perpustakaan digital seperti iPusnas, EPerpusdikbud, dan iBanten sangat meningkatkan akses masyarakat ke buku-buku koleksi perpustakaan. Barangkali dengan sosialisasi layanan e-perpustakaan yang semakin baik, seorang anak di pelosok Banten nun jauh di sana yang masih terjangkau internet literasi dapat tumbuh, menjadi pemimpin-pemimpin baru berawal dari terinspirasi oleh buku-buku.
*Guru SMK Negeri 11 Pandeglang