Ulasan Buku: Pendidikan Dan Pelibatan Politik
Sumber Gambar :Ulasan
Buku: Pendidikan Dan Pelibatan Politik
Oleh: Engkos
Kosasih*
Memasuki tahun politik
ini perhatian publik tertuju pada para kontestan atau kandidat yang akan maju
dalam arena pertarungan politik tahun 2024. Tentunya semua berharap bahwa
kontestasi politik baik dalam arena pilpres, pileg, maupun pilkada akan diwarnai
oleh pertarungan gagasan. Bukan sekadar kontestasi yang bersifat seremonial
acara debat kandidat ataupun keriuhan konten gimik-gimik yang bersifat
artifisial menyorot ranah pribadi para kandidat.
Mengharap adanya
pertarungan gagasan para kontestan, ranah publik sendiri haruslah diisi dengan
wacana-wacana yang mampu mengendorse
munculnya sikap kritis sehingga para kandidat yang ingin memenangkan
pertarungan politik mau tidak mau haruslah mampu menjual gagasan yang mampu
merebut hati publik. Salah satu bidang yang selalu muncul dalam arena
perdebatan gagasan itu adalah bagaimana arah pendidikan akan dibawa oleh aktor-aktor
politik itu nantinya.
Karena itulah penting
kiranya wacana yang membahas pendidikan dan politik. Keterkaitan pendidikan dan
politik yang erat itu digambarkan dengan apik dalam tulisan-tulisan sepanjang
tahun 2004-2020 oleh Agus Suwignyo. Dalam rentang enam belas tahun tersebut
penulis buku menyoroti pelbagai hal tentang pendidikan dengan jumlah tulisan
sebanyak 54 judul. Dan membaca tulisan-tulisan tersebut rasanya tidak akan
pernah basi karena pangkal pokok persoalan pendidikan Indonesia dari tahun ke
tahun relatif sama.
Tampaknya untuk
merapikan tema yang terserak dalam rentang tahun tersebut, buku ini dibagi
kedalam lima bagian pembahasan (hal. XVI). Bagian pertama, tulisan yang menyorot persoalan-persoalan pendidikan secara
umum. Suwignyo menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, seharusnya
semakin besar kesadarannya tentang tanggung jawab sosialnya di tengah
masyarakat dan semakin dalam pula kepeduliannya untuk berkontribusi dalam
perubahan sosial. Itulah makna yang ia maksudkan dalam judul buku ini: pendidikan
dan pelibatan politik.
Bagian kedua, menyajikan artikel-artikel
tentang perguruan tinggi. Dalam bagian ini penulis buku menyoroti hilangnya
visi kerakyatan dalan praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
Orientasi yang menurut Suwignyo tidak lagi pada kesejahteraan rakyat, justeru
menjauhkan perguruan tinggi di Indonesia dari peran pentingnya dalam proses
perubahan sosial.
Bagian ketiga, mengulas aneka permasalahan
tentang guru. Suwignyo menyatakan bahwa persoalan tentang guru selalu mengemuka
di setiap periode pemerintahan di negeri ini. Namun pada dekade 2000-an
persoalan-persoalan itu mencuat dengan sangat kuat karena perubahan institusional
yang sangat besar terkait pendidikan dan profesi guru. Salah satunya adalah
terbitnya Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Bagian keempat, tentang Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan yang telah disahkan menjadi UU No.9 tahun 2009, tetapi
kemudian dibatalkan dan tentang Ujian Nasional. Disini penulis buku menyajikan
potret nyata tentang sikap bingung pemerintah dalam menetapkan kebijakan
pendidikan.
Dan bagian kelima, berisi tulisan dengan aneka
terkait pendidikan dan perubahan sosial, diantaranya tentang masa depan
Republik ini. Dalam seluruh dinamika masyarakat dan kebangsaan, pendidikan tetap memegang
peran kunci meskipun disana-sini sebagian orang meragukan atau meremehkannya
melulu karena mereka menerapkan suatu standar yang sangat pragmatis.
Sembari berharap
aktor-aktor politik tidak menjadikan isu-isu pendidikan dipajang sekadar
“jualan” kampanye untuk merebut pemilih, tampaknya kita jadi diingatkan Suwignyo
pada gagasan Paulo Freire dan Henry Giroux yang menekankan peran vital
pendidikan dalam membangkitkan kesadaran individu atas hak dan tanggungjawab publik.
Mengutip Giroux bahwa “salah satu tugas besar pendidikan zaman ini adalah
membangun kesadaran individu untuk menghormati kehidupan dan kepentingan
bersama”.
Melalui kesadaran atas
hak dan tanggung jawab publik, individu melibatkan dirinya dalam pengaturan dan
pelaksanaan tata nilai kehidupan bersama. Ia menjadi insan yang terlibat dalam
politik kehidupan bersama. Oleh karena itu proses pendidikan harus menumbuhkan
kepedulian tulus, membangun penalaran objektif, dan mengembangkan perspektif
universal pada diri individu.
Pendidikan juga harus
mengarah pada penyemaian integritas, yaitu kualitas pribadi individu yang
konsekuen dan kokoh dalam keterlibatan politiknya itu. Integritas mensyaratkan
bukan hanya kedewasaan dan kemauan, melainkan juga keberanian individu
mempertahankan kejujuran dan kesederhanaan sebagai prinsip dasar keterlibatan
politik (hal.7).
Mambaca buku yang
ditulis oleh pedagog cum sejarawan
pendidikan pada departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM ini serasa membuka
album persoalan-persoalan pendidikan di Indonesia sepanjang periode Reformasi
hingga saat ini. Keterulangan persoalan seperti yang diakui sendiri penulis
buku pada kata pengantarnya tidak menjadikan kelemahan buku, tetapi justru
menegaskan posisi Suwignyo yang konsen dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan
pendidikan.
Salah satu kritik
misalnya tentang rencana pembentukan Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada tahun
2006 yang ditenggarai sebagai upaya mengalihkan tanggungjawab pembiayaan
pendidikan. Suwignyo mengkritik keras dalam tulisan “Watak Politik-Pendidikan
Pemerintah” (hal. 49). Dalam tulisan
tersebut terbaca jelas kritik penulis buku terhadap inkonsistensi pemerintah
dimana kebijakan tersebut bertolak belakang dengan keinginan pemerintah itu
sendiri untuk meningkatkan akses pendidikan bagi rakyat miskin.
Tentang kritik dalam
dunia pendidikan itu diyakini penulis sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
sejarah pendidikan sejak zaman kolonial. Dalam tulisan “Kritik Pendidikan”
Suwignyo mengingatkan bahwa para pendiri Sarekat Islam, Taman Siswa,
Muhammadiyah, dan sekolah-sekolah yang dianggap “liar” oleh pemerintah kolonial
menyandarkan keberhasilan perjuangan politik pada ketangguhan kritik yang
dibangun (hal.68).
Kritik menjadi kekuatan
perlawanan atas sistem pendidikan yang hegemonik, diskriminatif, dan hanya
terpaku pada misi reproduksi kelas sosial. Suwignyo menganjurkan agar lembaga
penelitian pendidikan perlu dikembangkan sebagai think thank. Bagian litbang media massa dan media kampus digiatkan
sebagai penyedia data dan kajian agar berita-berita pendidikan lebih kritis.
Berbagai organisasi guru adalah buah reformasi bertumbuhnya kesadaran politik
tentang aneka masalah pendidikan.
Tulisan-tulisan tentang
guru dalam buku ini menarik pula untuk dicermati. Pandangannya sebagai
sejarawan pendidikan penting untuk refleksi para guru terutama dalam
judul-judul “Ilmuwan yang Guru, Masihkan Diperjuangkan?, “Malik Fajar, Guru
yang Ilmuwan”, “Sebagai Guru, Saya Malu…”. Beberapa hal yang bisa
digarisbawahi.
Pertama,
transformasi IKIP ke universitas dalam pandangan Suwignyo mempertegas syarat
bahwa guru pertama-tama adalah ilmuwan. Tetapi penulis buku memprihatinkan
belum terlihat hadirnya sosok ilmuwan yang guru. Adanya kebijakan UU tentang
Guru dan Dosen ternyata belum berhasil menampakkan karakteristik keunggulan
profesional guru yang diharapkan. Yang mudah diamati justru hilangnya sosok
guru ilmuwan yang dulu lahir dari proses pendidikan di IKIP dan SPG. Meski ada
anggapan kadar penguasaan ilmu bidangnya rendah, alumninya mampu menunjukkan
kompetensi keguruan secara relatif purna.
Kedua,
isu yang konsisten dari waktu ke waktu yaitu tuntutan guru terkait kepastian
profesi dan kesejahteraan. Tersedianya dana kesejahteraan guru adalah
keharusan. Suwignyo menyatakan dengan jelas bahwa pemerintah harus segera
mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan berbagai masalah kesejahteraan guru.
Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan
pendidikan.
Ketiga,
terkait isu profesionalisme guru. Peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan
dilakukan secara simultan. Tahap-tahap kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan
pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus
bersamaan untuk memenuhi tahapan kualifikasi, (sehingga) guru honorer tidak
perlu menunggu proyek sertifikasi. Perlu juga dibuat kerangka kerjasama pemerintah-swasta
(hal.158).
Keempat,
terkait sertifikasi guru, Suwignyo menegaskan sertifikasi guru sebaiknya
dikembalikan pada esensi utama sebagaimana diamanatkan roh Undang-Undang Guru
dan Dosen (UUGD) yakni pemberdayaan guru. Sertifikasi adalah bagian perwujudan
jaminan UUGD tentang kesejahteraan, profesionalisme, dan kebebasan berserikat
guru.
Dengan jaminan-jaminan
itu hendak dipastikan, kekritisan dan daya gebrak guru sebagai agen perubahan
sosial dan sumber inspirasi murid tidak terhalangi perut lapar, kebekuan
pikiran, dan kebuntuan berekspresi. Jadi sertifikasi guru, tunjangan profesi
dan kebebasan berpendapat bukanlah tujuan di dalam dirinya sendiri. Itu semua
komponen pemberdayaan guru sebagai agen perubahan sosial (hal.176).
Walaupun kritis, tulisan-tulisan
Suwignyo tak semata-mata kritik dan menolak berbagai kebijakan strategis
pendidikan nasional. Justru dalam beberapa tulisannya kita dapat menjumpai
dukungan terhadap kebijakan sentral dalam dunia pendidikan. Secara tersurat
misalnya dalam tulisan “UN Benteng Terakhir Kebijakan Pendidikan”. Suwignyo
mencermati jika kebijakan pendidikan dilepaskan begitu saja urusan
pengelolaannya pada daerah, kita mengalami semacam “disintegrasi” sebagai suatu
bangsa.
Suwignyo menyarankan
tetap adanya standardisasi dalam kebijakan yang berlaku menyeluruh kepada
seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian pendidikan dapat dianggap sebagai
faktor pemersatu bangsa. Hanya saja kritik Suwignyo bahwa berbagai kebijakan
strategis di bidang pendidikan nasional terkadang tidak melibatkan semua pihak
pemangku kepentingan sehingga beberapa kebijakan pendidikan nasional harus
dibatalkan karena gugatan dari kelompok masyarakat.
Barangkali pandangan ini
relevan dengan berbagai kebijakan pendidikan pusat sekarang seperti
pemberlakukan kurikulum merdeka, asesmen nasional (AN), perencanaan berbasis
data (PBD), dan yang lainnya. Apakah kebijakan pusat telah dilaksanakan di
daerah dengan satu pandangan yang sama dalam rangka kebijakan pendidikan
sebagai suatu bangsa. Tak dapat dipungkiri tetap harus ada kebijakan pendidikan
nasional tanpa menapikan kreatifitas dan inovasi pelaksanaan proses pendidikan
di daerah.
Demikian kiranya buku
ini penting untuk pengamat maupun praktisi yang peduli terhadap dunia
pendidikan. Selamat membaca.
* Guru SMKN 11 Pandeglang