Duta Baca, TBM dan Gerakan Literasi Sekolah : Peran dan Kiprahnya Untuk Banten
Oleh: Rahmat Heldy HS*
Gerakan literasi di Banten usai pandemi Covid 19 nampak terlihat menggeliat. Upaya tersebut bisa memunculkan berbagai macam alasan. Alasan pertama, Banten sebagai daerah santri yang memiliki tradisi membaca kitab yang sudah diwariskan secara turun temurun. Kedua, daerah Banten sebagai daerah penyangga ibu Kota Indonesia, yakni, Jakarta. Apabila gerakaan literasinya kurang baik, maka, akan memberikan citra negatif, yang dekat dengan ibu kota saja buruk, apalagi yang jauh. Begitu kira-kira citra negatif itu. Kemudian ketiga, Duta Baca Indonesia kali ini tongkat estapetnya dipegang oleh Gol A Gong yang tinggal di Kota Serang-Banten. Juga akan sangat berpengaruh bila gerakan literasi di Banten tidak terlihat atau padam obor. Mendasar atau tidak alasan tersebut, tapi itulah fakta yang tidak bisa dibantah. Bahwa Banten harus lebih baik dari provinsi lain.
Pada tulisan ini perlu penulis ingatkan kembali posisi Banten pada Indeks Kegemaran Membaca (IKM), yang berhasil menempati urutan ke-9 (sembilan) se Indonesia dalam Indeks Kegemaran Membacanya data tersebut berdasarkan hasil penelitian Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Tahun 2020, dengan perolehan angka 58,77. Walaupun masuk di atas rata-rata nasional. Di sisi yang lain juga perlu kita ketahui bahwa Indeks Pembangunan Literasi (IPL), Pemerintah Provinsi Banten masih bekerja keras, karena data IPL Banten berada di urutan ke - 5 terbawah nasional dengan angka 8,90. Hal yang mempengaruhi rendahnya IPL tersebut yakni kurangnya tenaga perpustakaan, perpustakaan berstandar nasional dan koleksi buku yang ada di perpustakaan. (https://penghubung.bantenprov. go.id/berita/indeks-kegemaran-membaca-masyarakat-banten-berada-di-atas rata-rata-nasional diakses pada 28 Oktober 2023)
Dari dua data di atas dapat kita simpulkan bahwa gerakan literasi yang sudah nampak dan menggeliat ini harus lebih massif lagi melibatkan semua stakeholder di Banten untuk bersama-sama meningkatkan IKM dan IPM yang semula berada di urutan ke-9 dapat kita naikan ke urutan ketiga, begitu juga dengan IPMnya. Bangga rasanya kita sebagai orang Banten yang terlibat dalam gerakan literasi ini jika bisa menggeser posisi tersebut.
Upaya yang dapat kita lakukan untuk mencapai ketertinggalan tersebut, mari kita mulai dari kiprah Duta Baca. Provinsi Banten sudah memilik Duta Baca sejak tahun 2018. Sejak pengangkatan itu pula sudah banyak hal yang dilakukan diantaranya; kegiatan Gerakan Literasi Masyarakat (GLM), Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Orang Tua Membacakan Buku (Gernasbaku) hingga kemah literasi. Berkolaborasi dengan puluhan organisasi di Banten, mulai dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP Bahasa Indonesia), (MGMP Guru Seni), Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia (AGBSI) yang ruang lingkupnya tidak hanya di Banten. Bahkan, Jakarta juga Sulawesi Tenggara terkait praktik penulisan esai. Kemudian berkolaborasi dengan Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) juga dalam gerakan yang sama. Selanjutnya, kolaborasi ini berjalan dan beriringan dengan dinas dan instansi yang lain seperti Kantor Bahasa Banten yang juga jangkauannya semakin meluas mendekati daerah 3T (Terpencil, Terluar dan Tertinggal). Mulai dari ujung Kabupaten Lebak – Cilograng yang berbatasan dengan Sukabumi hingga Pulau Sangiang yang berbatasan dengan Anyer dan Lampung. Juga menjangkau Pulau Tunda Daerah terluar yang ada di Kabupaten Serang hingga ke Tangerang Selatan. Belum lagi undangan pribadi dan juga sekolah. Kegiatan literasi begitu semarak dari yang diadakan di hotel-hotel mewah, sekolah, hingga di kantor-kantor desa dan rumah adat. Belum lagi kegiatan yang diadakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten sendiri yang juga banyak melibatkan Duta Baca Provinsi Banten dalam agenda Banten Membaca yang mengusung tema “Literasi Kuat Banten Hebat,” yang juga masuk ke sekolah-sekolah pinggiran kota. Hebatnya lagi program ini melibatkan para pemangku kebijakan khususnya pejabat Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Komisi V DPRD Banten hingga Kepala Sekolah. Artinya, perubahan peningkatan untuk kegemaran membaca masyarakat Banten nyata adanya. Belum lagi kerjasama kampus, kontrak-kontrak penulisan dengan sekolah dan juga komunitas sampai akhir Desember tahun 2023 ini masih berlangsung. Pinjam Pakai buku, sampai mobil perpustakaan keliling yang terus menjangkau sekolah-sekolah terpencil. Bahkan kerja literasi ini tidak sebatas menulis dan membaca. Penulis bekerjasama dengan Duta Baca Indonesia juga membuat semacam Memorandum Of Understanding (MOU) dengan kampus-kampus untuk memfasilitasi bagi siswa yang tidak mampu untuk memberikan beasiswa, saat ini sudah tercatat puluhan siswa masuk dengan beasiswa atas MOU ini.
Dalam kegiatan yang berbeda tapi masih kerja literasi, kita juga tidak bisa menafikan peran serta Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) yang mencapai ratusan di berbagai wilayah di Banten. Mulai dari perkotaan hingga di ujung perbatasan Banten. Keberadaannya sangat dibutuhkan ditengah gempuran teknologi digital yang kebanyakan mengakses hiburan (game online) dan juga judi online di tengah masyarakat. Padahal sejatinya kecanggihan teknologi digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Bukan sebaliknya kita jadi budak teknologi yang menjauhkan dari logika dan ilmu pengetahuan. Diperparah lagi banyaknya ancaman penggunanaan teknologi yang membahayakan anak-anak tanpa pengawasan orang tua. Kerusakan mata, kerusakan saraf, intropert, emosi yang tidak stabil alias tempramen sampai pada pikun digital. Tentu masih banyak lagi.
TBM hadir untuk mengurangi bermain yang tidak berguna di tengah-tengah masyarakat. Polanya berbagai macam bentuk, ada yang mendongeng, menggambar, menulis sampai pada kegiatan public speaking. Bahkan ada juga yang menggabungkan dengan seni silat. Walaupan tanpa pendanaan pemerintah TBM ini sangat dibutuhkan di tengah masyarakat kita. Semoga akses kesenjangan dan disparitas buku antara masyarakat kota dan desa dapat terselesaikan. Toh pada kenyataannya, pada posisi ini, siapa yang bersungguh-sungguh dalam berkegiatan akan sampai jua pada penghargaan. Walaupun bukan tujuan semata. Seperti yang telah diraih oleh Taman Bacaan Masyarakat “Garda Cendikia” yang meraih penghargaan Nugra Jasa Dharma Pustaloka Tahun 2023 bidang Pegiat Literasi yang Memotivasi / Menginspirasi pada Bidang Minat Baca dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Atas penghargaan ini tentu kita semua bangga dan kebanggaan itu semoga juga dapat menular pada pegiat TBM yang lain yang outputnya adalah meningkatnya IKM dan IPM Banten di masa yang akan datang.
Tak kalah serunya gerakan literasi ini bila dikaitkan dengan sekolah. Kita ingat gerakan ini dimulai dengan membaca buku lima belas menit diawal kegiatan belajar mengajar. Kemudian berlanjut dengan pembuatan pojok-pojok baca. Diadakanlah lomba sekolah literat tingkat kota dan kabupaten. Kita semua bergerak. Ujian nasional yang semula menjawab empat pilihan ganda untuk SD dan SMP dan lima pilihan ganda untuk SMA, SMK, MA dan Paket C. Sekarang berubah menjadi asesmen nasional yang pilihan jawabannya lebih beragam, semuanya berbasis literasi. Workshop-workshop guru dan pegiat TBM yang bersifat deseminasi dan praktik baik literasi kini semua mengarah pada praktik penulisan buku, baik antologi maupun solo. Bahkan Kementerian Pendidikan bekerjasama dengan berbagai pihak mengadakan kegiatan GSMB (Gerakan Sekolah Menulis Buku) yang dananya siap digelotorkan pada sekolah yang guru dan muridnya bisa menulis dan dicetak jadi buku. Di lain sisi ada Nyalanesia yang siap membantu karya para siswa dan guru dicetak jadi buku yang telah berjejaring kurang lebih 350.000 ribu siswa dan guru di Indonesia. 300.000 pelatihan telah diberikan dengan bantuan dana 3,2 Milyar untuk pemberdayaan. Tentu guru-guru di Banten mulai dari SD, SMP, SMA, SMK dan MA bisa ambil bagian. Data tersebut saya kutip dari sumber: https://nyalanesia.id/ yang diakses pada tanggal 25 Oktober 2023.
Pada GSMB yang diikuti oleh 35 Provinsi tercatat ada 3.265 sekolah / madrasah yang terlibat. Mendapatkan 56 dukungan dari Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama. Sementara data per 1 Januari 2023 Sekolah menyatakan puas atas layanan program GSMB. Data pada sumber tersebut menuliskan Banten baru 61 sekolah yang bermitra dengan GSMB ini. Masih kalah jauh dengan Jawa Timur yang sudah 837 sekolah. Disusul dengan Jawa Tengah dengan jumlah 364 sekolah. Bali 338 dan Kalimantan Timur sebanyak 312 sekolah. (Sumber: https://gsmb-indonesia.com/ diakses pada 25 Oktober 2023). Semakin marak dan banyaknya program-program literasi ini baik dari pemerintah pusat dan daerah semoga Banten bisa tampil unggul meraih program yang ada untuk secepatnya meningkatkan indeks literasi masyarakat.
Setelah semua terlibat dalam pemajuan literasi di Banten idealnya kita tidak boleh melupakan pernyataan Ignas Kleden (1999), yang telah membagi 3 kelompok masyarakat melk huruf. Kelompok pertama, adalah mereka yang memiliki kemampuan membaca sederhana, dinyatakan telah bebas buta aksara, namun karena akses terhadap bahan bacaan rendah dan minimnya keperluan untuk mempraktikkannya, membuat kemampuan itu berkurang atau bahkan hilang. Pada kelompok ini, menurut Kleden, secara teknis telah melek aksara, namun secara fungsional dan budaya masih tergolong buta aksara. Kelompok kedua, adalah mereka yang secara teknis dan fungsional telah melek aksara. Mereka mampu membaca dan menggunakannya untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan, namun belum menggunakan kecakapan itu sebagai kebiasaan untuk menambah pengetahuan, hiburan, atau berekspresi melalui tulisan. Pada kelompok ini, secara budaya masih dianggap buta aksara. Kelompok ketiga, adalah mereka yang di samping memiliki kemampuan baca tulis secara teknis dan fungsional, juga menjadikan membaca dan menulis sebagai kebutuhan hidup, kebiasaan, dengan cara membaca dan menuliskan hal-hal yang tidak hanya terbatas pada tugas dan pekerjaan. Pada kelompok yang terakhir ini, mereka telah menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki budaya baca (reading habit). Dari ketiga pengelompokan yang ditulis Kleden tadi rasa-rasanya Banten dominan ada pada kelompok 1 dan 2. Serta masih sangat sedikit yang masuk di kelompok ke 3. Seandainya saja kelompok 3 ini dominan sudah pasti akan mengeser urutan IKM dan IPM kearah yang lebih baik.
Sejalan dengan harapan di atas. Jauh sebelum gerakan literasi ini begitu massif digaungkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan perlu kita renungi kembali catatan Ki Hajar Dewantara yang saat ini mulai dilupakan dalam pendidikan kita, tentang pentingnya Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) bagi siswa di sekolah yang isinya tentang harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetis), olah pikir (literasi), dan olah raga (kinestetik) dengan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Yang perlu digaris bawahi adalah ada kata “olah pikir” yang dimaknai sebagai “literasi” berpuluh-puluh tahun kita melupakan pesan Ki Hajar Dewantara tersebut dan dijaman modern ini kita terperanjat kaget. Betapa pesan Ki Hajar Dewantara tentang literasi itu, bangsa kita telah tertinggal jauh dan diambil oleh bangsa lain. Atas dasar inilah sejatinya kita bangkit kembali menyongsong masa depan dengan berbekal buku bacaan untuk meraih sebanyak-banyak ilmu pengetahuan.
Pada akhirnya saya teringat sebuah pesan dari seorang guru bahwa pendidikan terbaik adalah penderitaan. Jika kita berkaca pada Banten, kita masih ingat betul tentang Syaikh Nawawi Al Bantani. Diusianya yang hanya belasan tahun harus berani menghadapi penjajah Belanda dan karena keselamatannya terancam ia harus pergi meninggalkan Banten menuju Mekkah. Dalam perjalananannya di atas kapal laut ia banyak menulis, hingga kegemaran menulis ini berlanjut di kota yang ia tuju, yaitu Mekkah. Jadi Imam Masjidil Haram di sana dan juga mengajar di sana. Hingga akhir hayatanya tercatat 115 buku ia tuliskan dan buku tersebut dikaji di pesantren dan universitas-universitas islam di dunia. Sebagai orang Banten kita patut bangga dan tiru serta mengambil spirit Syaikh Nawawi ini. Ketika situasi sulit dalam kepungan penjajah ia masih mau menulis, baik di Banten maupun di Mekkah.
Kemudian kita juga masih ingat orang Belanda yang menulis tentang penderitaan penduduk pribumi Banten di Lebak. Eduard Douwes Dekker yang dikenal dengan nama Multatuli menulis buku Max Havelaar isi bukunya tentang kegetiran masyarakat pribumi yang dijajah oleh Belanda. Pada kasus ini kita mengambil pelajaran, betapa orang-orang luar termasuk penjajah dalam keadaan apapun tidak melupakan literasi mereka. Menulis dan terus menulis. Sementara kita hari ini masih terus berjuang untuk belajar menulis dan membaca. Tapi itu jauh lebih baik ketimbang tidak sama sekali.
Tentu masih banyak kedigdayaan Banten dimasa dulu yang gemilang tentang kemampuan literasi masyarakat dan para pejabatanya. Kejayaan Banten, Bandar dan pelabuhan yang megah, penyulingan air yang dikirim dari Danau Tasikardi yang masuk ke Kerajaan Banten, perekonomian dan juga pertanian hingga strategi perang tentu banyak membutuhkan literatur bacaan. Pada akhirnya di momen Bulan Bahasa dan Sumpah Pemuda yang ke 95 ini. Mari kita rebut kembali kejayaan Banten dengan terus bergerak meningkatkan kemampuan literasi kita. Sebab tidak akan ada perubahan ilmu pengetahuan dan peradaban zaman tanpa melibatkan perubahan literasi kita.
Melalui tulisan ini, semoga menjadi motivasi kita bersama untuk membangun kesadaran literasi yang bisa kita mulai dari lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga. Dari kebiasaan yang ditanamkan dalam keluarga akan menyebar ke lingkungan sekolah dan lebih luas lagi dalam lingkungan masyarakat. Sebagaimana yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara yang saat ini mulai dilupakan dalam pendidikan kita, tentang pentingnya Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) bagi siswa di sekolah yang isinya tentang harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetis), olah pikir (literasi), dan olah raga (kinestetik) dengan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Salam Literasi!***
*Penulis: Duta Baca Provinsi Banten, Instrktur Literasi Nasional, Guru dan Dosen. Sering tampil menjadi pematei baik lokal maupun nasional. Sesekali internasional. Sudah menulis 50an buku baik antologi maupun pribadi. Buku terbarunya yang sedang proses cetak berjudul Asal – Usul Golok Ciomas diterbitkan Badan Bahasa Kementrian Pendidikan Republik Indonesa.