Literasi Kesehatan Berbasis Perpustakaan Dalam Pencegahan Penyakit DBD Di Provinsi Banten

Sumber Gambar :

Nayla Alya Aurora*

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia, termasuk di Provinsi Banten. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Kasus DBD sering mengalami peningkatan terutama pada musim penghujan, di mana tempat berkembang biak nyamuk lebih banyak tersedia.

Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Banten, sepanjang tahun 2023 tercatat 4.277 kasus DBD dengan 18 kematian. Pada Januari 2024, jumlah kasus mencapai 1.619, meningkat menjadi 1.933 kasus pada Februari 2024, dengan total 13 kematian dalam dua bulan tersebut (Banten TV, 2024). Angka ini menunjukkan bahwa DBD masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat.

Salah satu upaya untuk mengurangi angka kasus DBD adalah melalui peningkatan literasi kesehatan masyarakat. Perpustakaan sebagai pusat informasi dan edukasi memiliki peran strategis dalam meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pencegahan DBD (Media Indonesia, 2024). Artikel ini membahas peran perpustakaan dalam meningkatkan literasi kesehatan serta strategi yang dapat diterapkan dalam pencegahan DBD di Provinsi Banten.

Literasi Kesehatan dan Pencegahan DBD

Literasi kesehatan adalah kemampuan individu dalam mencari, memahami, dan menggunakan informasi kesehatan untuk mengambil keputusan yang tepat dalam menjaga kesehatannya. Dalam konteks DBD, literasi kesehatan mencakup pemahaman mengenai: pertama, Gejala dan tanda-tanda awal DBD. Kedua, Cara penularan virus dengue. Ketiga, Langkah-langkah pencegahan seperti 3M Plus (Menguras, Menutup, Mendaur ulang, dan langkah tambahan seperti penggunaan kelambu atau larvasida). Keempat, Tindakan yang harus dilakukan saat terinfeksi DBD

Kurangnya literasi kesehatan dapat menyebabkan keterlambatan dalam pencegahan dan penanganan kasus DBD, sehingga berakibat pada peningkatan angka kesakitan dan kematian.

Peran Perpustakaan dalam Meningkatkan Literasi Kesehatan

Perpustakaan, terutama perpustakaan umum dan perpustakaan sekolah, dapat berperan sebagai pusat penyebaran informasi kesehatan bagi masyarakat. Beberapa peran utama perpustakaan dalam meningkatkan literasi kesehatan adalah:

Pertama, Menyediakan Sumber Bacaan Edukatif. Perpustakaan dapat memperkaya koleksinya dengan berbagai sumber bacaan tentang DBD yang komprehensif dan mudah dipahami. Buku-buku yang disediakan sebaiknya mencakup berbagai tingkat pemahaman, mulai dari buku bergambar untuk anak-anak hingga literatur ilmiah untuk kalangan akademisi. Jurnal-jurnal kesehatan terkini dapat memberikan informasi berbasis penelitian tentang perkembangan penanganan DBD. Brosur informatif dapat dirancang dengan tampilan menarik dan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami oleh semua kalangan. Untuk akses digital, perpustakaan bisa berlangganan database e-book kesehatan dan menyediakan komputer untuk mengakses artikel-artikel daring tentang DBD.

Kedua, Menyelenggarakan Program Edukasi Kesehatan. Program edukasi dapat dirancang secara berkala dan berkelanjutan. Seminar kesehatan bisa diadakan setiap bulan dengan mengundang dokter spesialis penyakit dalam atau epidemiolog untuk memberikan pemahaman mendalam tentang DBD. Diskusi interaktif dapat dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil untuk membahas pengalaman dan tantangan dalam pencegahan DBD di lingkungan masing-masing. Untuk anak-anak, kegiatan membaca bisa dikemas dalam bentuk storytelling dengan menggunakan buku cerita tentang menjaga kebersihan lingkungan. Program ini bisa dilengkapi dengan aktivitas praktik seperti mengidentifikasi tempat-tempat potensial berkembangnya jentik nyamuk.

Ketiga, Kolaborasi dengan Pihak Terkait. Kerjasama dengan Dinas Kesehatan dapat diperluas tidak hanya untuk penyediaan materi edukasi, tetapi juga untuk program pelatihan kader kesehatan perpustakaan. Petugas kesehatan yang diundang untuk penyuluhan sebaiknya memiliki pengalaman dalam penanganan DBD dan mampu berkomunikasi dengan baik. Kolaborasi juga bisa diperluas dengan mengajak LSM kesehatan, universitas, atau lembaga penelitian untuk memberikan perspektif yang lebih luas tentang penanganan DBD. Perpustakaan bisa menjadi hub yang menghubungkan masyarakat dengan berbagai sumber daya kesehatan yang tersedia.

Keempat, Penyebaran Informasi Melalui Media Sosial dan Digital. Strategi digital perlu dirancang secara sistematis dengan mempertimbangkan karakteristik platform yang berbeda-beda. Website perpustakaan bisa memiliki section khusus tentang kesehatan yang diperbarui secara regular. Media sosial seperti Instagram dan Facebook dapat digunakan untuk membagikan infografis dan video pendek tentang pencegahan DBD. Perpustakaan bisa mengembangkan aplikasi mobile sederhana yang berisi informasi kesehatan, reminder untuk pemeriksaan jentik berkala, dan fitur pelaporan kasus DBD. Konten digital sebaiknya dibuat menarik dan interaktif, misalnya dengan menambahkan kuis, games edukasi, atau fitur tanya jawab dengan ahli kesehatan.

Strategi Implementasi Program Literasi Kesehatan di Perpustakaan

Untuk menjalankan program literasi kesehatan berbasis perpustakaan secara efektif, diperlukan strategi yang terencana. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan, pertama, Membentuk Pojok Literasi Kesehatan. Pojok literasi kesehatan harus dirancang sebagai area yang nyaman dan mengundang minat pengunjung untuk belajar tentang kesehatan. Ruangan ini dapat dilengkapi dengan rak-rak buku yang tertata rapi, komputer atau tablet untuk mengakses materi digital, dan area duduk yang nyaman untuk membaca. Koleksi buku kesehatan sebaiknya mencakup berbagai topik mulai dari pencegahan penyakit, gizi, hingga kesehatan lingkungan. Infografis dan poster interaktif dapat dipasang dengan sistem rotasi berkala agar informasi tetap segar dan menarik. Poster-poster ini bisa dilengkapi dengan kode QR yang mengarah ke sumber informasi digital yang lebih lengkap. Area ini juga bisa dilengkapi dengan layar digital interaktif yang menampilkan visualisasi 3D tentang siklus hidup nyamuk DBD dan cara penyebarannya.

Kedua, Mengadakan Kegiatan Edukasi Rutin. Workshop identifikasi dan pemberantasan sarang nyamuk dapat dirancang sebagai kegiatan hands-on yang melibatkan praktik langsung. Peserta bisa diajak untuk melakukan simulasi pemeriksaan jentik menggunakan sampel air yang aman, belajar menggunakan bubuk abate dengan benar, dan memahami teknik fogging yang efektif. Untuk program pelatihan siswa sebagai agen edukasi, kurikulum khusus perlu disusun dengan mempertimbangkan usia dan kemampuan siswa. Materi pelatihan bisa mencakup teknik komunikasi efektif, cara membuat presentasi sederhana, dan strategi mengajak teman sebaya untuk peduli terhadap kebersihan lingkungan. Setiap siswa yang telah dilatih dapat diberikan 'badge' khusus dan kit edukasi yang berisi alat peraga dan materi presentasi.

Ketiga, Meningkatkan Aksesibilitas Informasi. Pengembangan platform digital perlu mempertimbangkan berbagai aspek seperti kemudahan penggunaan, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, dan kemampuan untuk diakses di daerah dengan koneksi internet terbatas. Aplikasi yang dikembangkan bisa memiliki fitur-fitur seperti: Peta sebaran DBD real-time, Kalkulator risiko DBD berdasarkan kondisi lingkungan, Sistem pelaporan temuan jentik, Forum diskusi dengan ahli kesehatan, Reminder untuk pemeriksaan jentik berkala, Game edukasi untuk anak-anak

Materi edukatif yang didistribusikan harus tersedia dalam berbagai format untuk mengakomodasi preferensi belajar yang berbeda-beda. Video animasi pendek bisa dibuat untuk menjelaskan konsep-konsep penting, infografis untuk data statistik, dan podcast untuk diskusi mendalam dengan para ahli.

Keempat, Monitoring dan Evaluasi Program. Sistem monitoring dan evaluasi perlu dirancang secara komprehensif dengan indikator-indikator yang terukur. Survei pre dan post edukasi sebaiknya mencakup: Tingkat pemahaman tentang DBD; Perubahan perilaku dalam pencegahan DBD; Frekuensi pemeriksaan jentik mandiri; Tingkat partisipasi dalam program 3M Plus; Kepuasan terhadap program edukasi; Forum diskusi dapat diorganisir dalam format yang berbeda-beda, seperti: Diskusi kelompok kecil untuk sharing pengalaman, Konsultasi one-on-one dengan ahli kesehatan, Forum online untuk pertanyaan yang sering diajukan, Sesi evaluasi bersama tokoh masyarakat

Hasil evaluasi ini kemudian dapat digunakan untuk: Menyesuaikan materi edukasi agar lebih efektif; Mengidentifikasi kelompok masyarakat yang membutuhkan pendekatan khusus; Mengembangkan strategi baru dalam penyampaian informasi; Mengukur dampak program terhadap angka kejadian DBD di masyarakat.

Studi Kasus: Implementasi Literasi Kesehatan di Perpustakaan

Beberapa perpustakaan di Provinsi Banten telah mulai mengimplementasikan program literasi kesehatan. Misalnya, Perpustakaan Daerah Kota Tangerang mengadakan program "Pojok Sehat" yang berisi koleksi buku dan infografis mengenai berbagai penyakit, termasuk DBD. Selain itu, perpustakaan ini juga bekerja sama dengan Puskesmas setempat dalam menyelenggarakan kegiatan edukasi bagi anak-anak sekolah.

Di Kabupaten Serang, perpustakaan keliling juga digunakan untuk menyebarkan informasi mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dalam mencegah DBD. Melalui pendekatan ini, literasi kesehatan dapat menjangkau masyarakat di daerah yang sulit diakses.

Rekomendasi Kebijakan

Agar program literasi kesehatan berbasis perpustakaan dapat berjalan optimal, diperlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, institusi pendidikan, dan masyarakat. Berikut beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan:

1. Peningkatan Keterlibatan Masyarakat. Mengadakan program literasi kesehatan berbasis komunitas di perpustakaan. Dan Memberikan pelatihan kepada kader kesehatan untuk menyebarluaskan informasi yang diperoleh dari perpustakaan.

2. Integrasi Program Literasi Kesehatan ke dalam Kurikulum Sekolah. Menambahkan materi kesehatan dalam kegiatan literasi di sekolah. Dan Menjadikan literasi kesehatan sebagai bagian dari ekstrakurikuler sekolah.

3. Penguatan Kolaborasi antara Perpustakaan dan Dinas Kesehatan. Membangun kemitraan strategis dalam pengadaan materi edukasi dan program penyuluhan. Dan Melibatkan komunitas dalam mendukung kegiatan literasi kesehatan.

4. Peningkatan Aksesibilitas Informasi Kesehatan. Mengembangkan perpustakaan digital yang menyediakan informasi tentang DBD secara daring. Dan Mengadakan sesi edukasi rutin di perpustakaan yang dapat diakses oleh berbagai kalangan masyarakat.

Kesimpulan

Literasi kesehatan berbasis perpustakaan memiliki peran penting dalam upaya pencegahan DBD di Provinsi Banten. Dengan menyediakan informasi yang mudah diakses dan program edukasi yang interaktif, perpustakaan dapat menjadi pusat pembelajaran kesehatan bagi masyarakat. Implementasi strategi yang tepat serta dukungan kebijakan yang memadai akan membantu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pencegahan DBD, sehingga kasus penyakit ini dapat diminimalisir secara signifikan.

Dengan meningkatnya literasi kesehatan, diharapkan masyarakat Banten dapat lebih proaktif dalam menjaga kebersihan lingkungan dan menerapkan langkah-langkah pencegahan DBD secara efektif.

*Mahasiswa Prodi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Ilmu Kesehatan Kedokteran dan Ilmu Alam, Universitas Airlangga. nayla.alya.aurora-2023@fikkia.unair.ac.id

Daftar Pustaka

  1. 1. Cakranegara, Joshua. (2021). Upaya Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Indonesia (2004-2019). Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya. 7. 281-311. 10.36424/jpsb.v7i2.274.
  2. 2. Banten TV. (2024). Awal Tahun 2024, Kasus DBD di Banten Melonjak 5 Kali Lipat. Diakses dari https://bantentv.com/berita/awal-tahun-2024-kasus-dbd-di-banten-melonjak-5-kali-lipat/
  3. 3. Fitria, D. P. A., Aprianti, K., Mubarokah, R. W. (2023). Peningkatan Literasi Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Sendangmulyo. Bersama: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(2), 79-83.
  4. 4. Jamil, R. N., Sulistiani, V., & Sulistiawati. (2024). Kematian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Usia Sekolah. Jurnal Ilmiah Multidisiplin Terpadu, 8(6), 2119-2127.
  5. 5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024). Demam Berdarah Masih Mengintai. Media Komunikasi Kemenkes, 165, 1-29. Diakses dari https://link.kemkes.go.id/mediakom
  6. 6. Rezekieli, Z., Gulo, V. E., Purba, I., & Gulo, M. J. K. (2023). Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia Tahun 2017-2021. SEHATMAS: Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat, 2(1), 129-136.
  7. 7. Media Indonesia. (2024). Perkuat Literasi Kesehatan melalui Perpustakaan. Diakses dari https://mediaindonesia.com/humaniora/511810/perkuat-literasi-kesehatan-melalui-perpustakaan
  8. 8. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2023). Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit DBD di Indonesia. Jurnal Penelitian Kesehatan, 21(3), 55-67.
  9. 9. UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (2024). Kematian Akibat DBD di Usia Sekolah di Provinsi Banten. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10(2), 45-58.

Share this Post