Menulis : Menyimpan Memori, Menyambung Imajinasi Masa Depan
Sumber Gambar :Menulis
: Menyimpan Memori, Menyambung Imajinasi Masa Depan
Oleh
Ken Supriyono*
“Orang boleh pandai setinggi-tingginya,
tapi selama tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah dan masyarakatnya.”
Pramoedya Ananta Toer.
Ucapan Pram pada karya Bumi Manusia di
atas, mengingatkan kita semua. Terlebih, bagi seorang terpelajar yang mesti
berlaku adil sejak dalam pikiran dan perbuatan. Setiap perkataannya adalah
senjata. Tugas suci untuk membunyikan setiap teks kepada masyarakatnya.
Apalagi, budaya menulis kita belum
menggembirakan. Senada dengan budaya baca yang menjadi penunjang dari budaya
menulis itu sendiri. Masyarakat kita belum menjadikan baca dan tulis sebagai
kebutuhan. Bahkan, banyak yang tidak memiliki akses sumber pengetahuan.
Di sisi lainnya, pengambil kebijakan
kita masih memunggungi buku atau dokumen bahan bacaan lain sebagai sumber
pengetahuan dan kebijakannya. Lihat saja, disperitas ketersediaan dan kebutuhan
perpustakaan kita. Publikasi riset Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Indeks
Alibaca) 2018 oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan,
Balitbang Kemendikbud masih memperlihatkan disparitas yang cukup menganga.
Ketersediaan perpustakaan umum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, memang
telah mencapai lebih dari 90 persen.
Namun, itu belum menjamin kebutuhan
bacaan masyarakat di pelosok. Lebih-lebih, lokasi perpustakaan umum daerah
terletak di pusat kota. Sedangkan, ketersediaan perpustakaan kecamatan baru
terpenuhi delapan persen, dan perpustakaan desa yang baru terpenuhi 26 persen
dari rasio kebutuhan.
Begitu pula, keberadaan toko buku juga
masih tergolong sedikit dan tidak merata. Jaringan toko buku Gramedia,
misalnya, baru sekitar 113 toko. Jaringan toko buku lainnya, jauh lebih sedikit
lagi jumlahnya. Toko-toko buku tersebut umumnya juga terletak di kota besar
atau setidaknya di ibu kota provinsi atau ibu kota kabupaten. Karenanya, akses
masyarakat di pelosok tidak terwadahi.
Padahal, sebagaimana dikatakan Muhsin
Kalida dan Moh. Mursyid, dalam bukunya “Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri,”
menulis dan membaca menjadi kriteria kemajuan bangsa. Menurutnya, banyak
kemajuan bangsa telah punah, tidak lagi dikenali lantaran tidak ada literatur
(dalam tulisan) yang ditemukan. Sedangkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak lepas dari aktivitas menulis.
Mari kita menginsyafinya. Lewat
aktivitas membaca dan menulislah, kita sedang menginvestasikan pembangunan
sumber daya manusia yang kelak menjadi penopang kemajuan peradaban. Mendidik
diri kita sebagai manusia untuk memiliki tanggung jawab, sekaligus
mengekspresikan kemerdekan dengan daya kreativitas. Lebih jauh, mengukir jejak
kemanusiannya, bahkan menyambungkan jalan pikirannya menuju masa depan.
Melalui aktivitas menulis pula, manusia
sedang menyimpan memori (ide, gagasan, dan peristiwa) sekaligus menyambungkan
imajinasi di masa depan. Sebab, ketika sebuah karya selesai ditulis, maka
pengarang tak pernah mati, ia sedang memperpanjang umurnya. Fisiknya bisa jadi
terkubur ke dalam liat lahat, namun tidak dengan pikirannya.
Layaknya orang-orang besar,
keberhasilannya pun terlihat pada rekam jejak tulisannya. Sebut saja, Soekarno,
Moh. Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, HOS Tjokroaminoto, Tirto Adhi Soerjo,
Soerawardi, Kartini, dan sederet tokoh lainnya, yang menulis tentang depan Indonesia.
Semua telah tiada, namun semua rancang bangun pikiran dan cita-cita masih kokoh
sebagai khasanah pengetahuan semua anak zaman.
Pikiran itu merajut kita untuk memiliki
kesamaan visi tentang Indonesia masa depan. Bahkan, melanjutkan cita-cita mulia
anak zaman itu. Meyakinkan diri, bahwa masa depan adalah sebuah asa yang harus
diwujudkan dengan spirit berkarya. Sebuah cita-cita sebagai anak bangsa yang
bersandar pada pengetahuan, budaya, dan kebijaksanaan untuk diukir menjadi
jejak langkah di bumi manusia.
Menulis pun menjadi penawar manusia
menjaga fitrahnya sebagai makhluk terbaik. Psikolog dari Universitas Texas,
Amerika Serikat, Profesor James W. Pennebaker mengutarakan, beberapa manfaat
dalam studinya. Menurutnya ada beberapa manfaat menulis. Pertama, menulis menjernihkan pikiran. Saat orang mengalami masalah
dan menuliskannya, dapat berdampak positif untuk menjernihkan pikirannya,
sehingga akan lebih mudah menyelesaikan masalah tersebut. Dengan kata lain,
menulis menjadi terapi. Kedua,
menulis dapat mengatasi trauma. Orang yang gemar menulis akan lebih mudah
mengelola traumanya untuk diatasi dengan menuliskannya. Sementara, seorang yang
tidak menuliskan traumanya, lebih rentan dan tidak sembuh dari trauma
tersebut. Ketiga, menulis akan membantu mendapatkan dan mengingat informasi.
Belajar dengan menulis akan membuat ingatan kita jauh lebih tajam. Keempat, menulis dapat membantu
menyelesaikan masalah. Menuliskan masalah yang dihadapi akan membuat fokus
terhadap masalah itu daripada hanya dipikirkan.
Karenanya, kegiatan penghimpunan ide
dengan menulis akan melahirkan karya yang akan terus dihimpun, dibaca,
diaplikasikan serta dikoreksi oleh penerusnya. Dari kesadaran pengetahuan dan
karya (tulis) itulah, masa depan akan hadir dari kita, oleh kita dan untuk
kita. Karena masa depan adalah hasil perwujudan asa kita bersama sebagai anak
bangsa.
Rasanya, terlalu banyak sudah alasan
untuk kita menulis. Selayaknya banyak hal yang kita bisa tulis dari pengetahuan
yang kita dapatkan dari membaca. Keduanya seperti dua sisi mata uang koin yang
tidak bisa dipisahkan. Dengan membaca orang memiliki banyak pengetahuan yang
membuka cakrawala berfikirnya.
Pepatah menyebut, dengan membaca
menjadikan orang bijaksana. Sedangkan menulis seseorang dapat menyalurkan ide
dan kreativitasnya kepada orang lain. Begitu juga dengan perumapaan yang
disampaikan ulama kenamaan, Imam Syafi’i. Ia menyebut, ilmu pengetahuan ibarat
sebuah binatang buruan, dan tulisan adalah pengikatnya. Maka ikatlah ilmu itu
dengan tulisan, karena menulis maka aku ada.
* Koordinator Journalist Lecture