Menyusun Ulang Konsep Perpustakaan Perguruan Tinggi Sebagai Penjaga Sejarah Tri Dharma: Pembelajaran, Penelitian, Dan Pengabdian
Sumber Gambar :oleh: Irfan M Nasir, S.IP*
Abstrak
Konsep perpustakaan perguruan tinggi selama ini lebih banyak dipahami sebagai tempat penyimpanan koleksi referensi akademik dari luar kampus, tanpa perhatian serius terhadap dokumentasi internal kampus itu sendiri. Artikel ini menawarkan penyusunan ulang peran strategis perpustakaan sebagai penjaga sejarah institusional—terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi: pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Perpustakaan semestinya menjadi ruang arsip yang menyimpan memori kolektif kampus, sejak awal berdirinya, berupa foto gedung, lokasi kampus, profil tokoh-tokoh sivitas akademika, foto-foto mahasiswa, kegiatan mahasiswa hingga karya-karya internal yang otentik. Relevansi urgensi ini makin terasa ketika publik dihadapkan pada polemik ijazah palsu mantan Presiden Republik Indonesia ke-7, yang menunjukkan lemahnya sistem dokumentasi akademik nasional.
Dengan memperkuat fungsi historis dan arsip autentik, perpustakaan tidak hanya menjadi pusat ilmu pengetahuan, melainkan juga benteng integritas dan identitas akademik suatu institusi pendidikan tinggi.
Kata kunci: perpustakaan perguruan tinggi, sejarah institusi, tri dharma, dokumentasi akademik, integritas kampus, arsip otentik
Pendahuluan
Perpustakaan perguruan tinggi telah lama diposisikan sebagai salah satu elemen penting dalam menunjang pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam aspek pembelajaran dan penelitian. Namun, dalam praktiknya, fungsi perpustakaan kerap dibatasi sebagai tempat penyedia dan pengelola koleksi ilmiah yang mayoritas berasal dari luar institusi. Koleksi buku teks, jurnal elektronik, serta akses basis data ilmiah internasional sering kali menjadi prioritas utama, sementara dokumentasi internal kampus --yang mencerminkan dinamika institusi sejak awal berdirinya-- tidak mendapatkan perhatian proporsional. Akibatnya, jejak sejarah kampus, seperti dokumentasi pendirian, profil tokoh sivitas akademika, hasil pengabdian masyarakat, dan karya ilmiah internal, cenderung tidak terarsipkan secara sistematis dan berpotensi hilang.
Ketiadaan repositori sejarah kampus ini menjadi persoalan serius ketika masyarakat dihadapkan pada polemik dugaan ijazah palsu mantan Presiden Republik Indonesia ke-7. Polemik ini bukan hanya mengusik stabilitas politik nasional, tetapi juga menunjukkan bahwa sistem dokumentasi akademik nasional belum mampu menjawab kebutuhan publik akan transparansi, autentisitas, dan verifikasi terbuka1. Dalam konteks ini, peran perpustakaan sebagai repositori sejarah institusi menjadi sangat krusial. Jika perpustakaan dikelola dengan pendekatan dokumentatif yang kuat dan terstruktur, maka fungsi strategisnya tidak hanya terbatas pada layanan informasi, tetapi juga sebagai benteng integritas akademik sebuah lembaga pendidikan tinggi.
Secara teoritik, gagasan ini berakar pada pemikiran Eric Ketelaar tentang archival meaning-making, yakni bahwa arsip bukan sekadar kumpulan dokumen, melainkan representasi kolektif dari relasi, identitas, dan legitimasi institusi2. Dalam ruang pendidikan tinggi, arsip internal mencerminkan keterhubungan antara aktor institusi (dosen, mahasiswa, staf), struktur kelembagaan, serta nilai-nilai akademik yang diusungnya. Ketika perpustakaan mampu menata dan mengelola arsip institusi secara berkelanjutan, maka ia telah turut serta dalam membangun memori kolektif Tri Dharma secara utuh.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun ulang konsep perpustakaan perguruan tinggi sebagai penjaga sejarah institusional yang berfokus pada pelaksanaan Tri Dharma. Penelitian ini ingin menawarkan kerangka konseptual dan praktis bagaimana perpustakaan dapat mengembangkan repositori internal yang autentik sebagai respon atas lemahnya sistem dokumentasi akademik nasional.
Adapun pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana posisi perpustakaan perguruan tinggi saat ini dalam mengelola dokumentasi internal kampus?
2. Mengapa perpustakaan perlu menyusun ulang perannya sebagai penjaga sejarah Tri Dharma?
3. Apa implikasi dari lemahnya sistem arsip akademik terhadap kredibilitas kelembagaan, khususnya dalam konteks kasus polemik ijazah palsu Presiden ke-7 RI?
4. Bagaimana model repositori sejarah kampus yang ideal dan berkelanjutan dapat dikembangkan melalui perpustakaan?
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wacana tentang reformasi perpustakaan dalam konteks perguruan tinggi Indonesia, sekaligus menjadi rujukan praktis bagi institusi yang ingin memperkuat integritas akademiknya melalui pengelolaan arsip internal yang sistematis.
Pembahasan
- 1. Keterbatasan Konsep Konvensional Perpustakaan Perguruan Tinggi
Dalam ekosistem pendidikan tinggi, perpustakaan idealnya memainkan peran yang integral dan strategis sebagai pusat pembelajaran, penelitian, serta pelestarian pengetahuan. Namun dalam praktiknya, konsep perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia dan di banyak negara berkembang masih didominasi oleh paradigma lama, yakni sebagai ruang penyimpanan referensi ilmiah yang bersumber dari luar kampus. Fokus utama perpustakaan selama ini cenderung diarahkan pada pengadaan buku teks, jurnal ilmiah, dan akses basis data digital dari penerbit global --dengan sedikit perhatian terhadap dokumentasi internal kampus itu sendiri. Akibatnya, perpustakaan hanya berperan sebagai konsumen informasi global, bukan sebagai produsen ataupun penjaga memori institusi akademik.
Padahal, seiring dengan kompleksitas tantangan zaman dan meningkatnya kebutuhan terhadap akuntabilitas institusional, dokumentasi historis dari setiap proses akademik yang berlangsung dalam kampus menjadi semakin penting. Sayangnya, dalam banyak perpustakaan perguruan tinggi, arsip internal seperti laporan kegiatan dosen dan mahasiswa, dokumentasi foto perkembangan kampus, profil tokoh-tokoh akademik, atau bahkan sejarah berdirinya lembaga justru tidak terkelola secara sistematis. Hal ini menunjukkan adanya kekosongan epistemik dalam cara institusi memahami perpustakaan: bukan sebagai tempat rekam jejak dan identitas kelembagaan, melainkan semata sebagai tempat peminjaman buku.
Sebagaimana dinyatakan oleh Wiji Suwarno, paradigma pengelolaan perpustakaan di banyak perguruan tinggi Indonesia masih terjebak pada orientasi layanan konvensional yang tidak mengintegrasikan dimensi sejarah, budaya, dan identitas kampus secara utuh. Ia menegaskan bahwa perpustakaan seharusnya mulai bergerak dari paradigma “mengoleksi pengetahuan orang lain” menuju paradigma “melestarikan jejak intelektual institusi sendiri”3. Jika perpustakaan hanya berfokus pada referensi luar, maka potensi lokal, narasi institusional, dan warisan akademik kampus tidak pernah memiliki ruang untuk terdokumentasi dan diakses secara luas oleh generasi berikutnya.
- 2. Urgensi Repositori Sejarah Institusi: Menangkal Krisis Kredibilitas Akademik
Kredibilitas akademik suatu institusi pendidikan tinggi tidak hanya dibangun melalui kualitas pembelajaran dan penelitian yang dihasilkan, tetapi juga melalui kemampuannya dalam menjaga integritas dokumentasi akademik secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keberadaan repositori sejarah institusi menjadi elemen yang sangat penting, terutama sebagai instrumen verifikasi dan pelestarian memori kolektif lembaga.
Repositori tidak hanya berfungsi menyimpan karya ilmiah dosen dan mahasiswa, tetapi juga mengarsipkan narasi kelembagaan: dari sejarah pendirian kampus, perubahan kampus dari kampus jauh kampus induk, sekolah tinggi ke institut, institut ke universitas, perkembangan organisasi, pelaksanaan program Tri Dharma, dokumentasi mahasiswa dari tahun ke tahun, hingga dokumentasi tokoh-tokoh kunci yang membentuk karakter institusi. Sayangnya, peran ini masih belum menjadi perhatian utama dalam banyak perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia.
Ketiadaan repositori yang kuat berdampak langsung terhadap lemahnya mekanisme verifikasi dokumen dan data akademik, baik untuk kepentingan audit kelembagaan, publikasi, maupun penelusuran jejak akademik tokoh publik. Hal ini tergambar secara nyata dalam kasus kontroversial yang mencuat ke publik beberapa waktu lalu, yaitu polemik dugaan ijazah palsu mantan Presiden Republik Indonesia ke-7, yang menimbulkan kegaduhan sosial dan mempertanyakan keabsahan sistem dokumentasi akademik nasional. Ketika data historis akademik tidak tersedia secara terbuka dan autentik, maka ruang bagi spekulasi, disinformasi, dan delegitimasi akan terbuka lebar. Dalam konteks ini, perpustakaan --sebagai aktor penyimpan dan pengelola pengetahuan-- seharusnya berada di garis depan dalam memastikan keterjagaan dokumen institusi secara berlapis dan terdigitalisasi.
Clifford Lynch dalam tulisannya menegaskan bahwa repositori institusional adalah infrastruktur penting dalam ekosistem akademik modern. Ia tidak hanya menjadi tempat penyimpanan karya ilmiah, melainkan juga alat strategis untuk membangun institutional visibility, akuntabilitas, dan legitimasi historis4. Dengan kata lain, universitas yang tidak membangun repositori sejarah internal secara serius sesungguhnya sedang mempertaruhkan kredibilitas jangka panjangnya. Apalagi di era digital, di mana transparansi dan akses terbuka menjadi standar baru bagi kepercayaan publik.
Repositori yang kuat dan terbuka memungkinkan masyarakat umum, peneliti, media, bahkan otoritas hukum, untuk memverifikasi riwayat akademik secara cepat dan objektif. Di sisi lain, ia juga menjadi wahana pelestarian narasi akademik yang selama ini tersebar di berbagai unit kerja, arsip pribadi, atau bahkan hilang tanpa dokumentasi. Dalam jangka panjang, repositori institusional yang dibangun dengan pendekatan historis dan otentik akan memperkuat daya tahan institusi terhadap krisis informasi serta meneguhkan kepercayaan publik terhadap nilai akademik yang diusung oleh perguruan tinggi tersebut.
- 3. Perpustakaan sebagai Penjaga Memori Kolektif Tri Dharma
Perpustakaan perguruan tinggi bukan semata ruang administratif yang mengelola koleksi bacaan dan referensi ilmiah, melainkan seharusnya menjadi bagian sentral dari konstruksi memori kelembagaan. Dalam konteks pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi --pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat-- perpustakaan memiliki potensi besar sebagai penjaga memori kolektif institusi, tempat di mana semua kegiatan akademik tidak hanya disimpan, tetapi juga dirawat dan diwariskan.
Memori kelembagaan adalah narasi yang dibentuk oleh aktivitas manusia, ruang, waktu, dan karya-karya yang dilahirkan oleh sivitas akademika dalam berbagai momentum penting perjalanan institusi. Sayangnya, di banyak perguruan tinggi, memori-memori ini hanya hidup dalam ingatan individu atau tersebar tidak sistematis di unit-unit kerja, tanpa adanya upaya integratif dari perpustakaan sebagai pengelola arsip dan pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa peran perpustakaan sebagai aktor dalam pelestarian narasi Tri Dharma masih belum dimaksimalkan secara struktural maupun kultural.
Ketelaar menjelaskan bahwa arsip bukanlah sekadar tumpukan dokumen administratif, melainkan tacit narratives --narasi tak langsung yang merekam relasi sosial, intelektual, dan emosional antara institusi dan nilai-nilai yang diperjuangkannya5. Arsip yang dikurasi secara sadar tidak hanya memiliki nilai informatif, tetapi juga nilai simbolik dan representasional. Dalam konteks kampus, ini berarti bahwa dokumentasi foto-foto gedung, surat keputusan pendirian program studi, profil dosen-dosen awal, profil mahasiswa,, laporan kegiatan pengabdian masyarakat, hingga naskah-naskah orasi ilmiah harus ditempatkan dalam skema pengelolaan informasi yang strategis dan berkelanjutan.
Perpustakaan memiliki posisi ideal untuk menjadi simpul dari seluruh informasi tersebut karena ia bersifat lintas unit, nonsektoral, dan diakui sebagai otoritas pengelola pengetahuan. Apabila perpustakaan difungsikan tidak hanya sebagai tempat akses informasi, tetapi juga sebagai tempat pelestarian sejarah Tri Dharma, maka yang terbangun bukan sekadar koleksi, melainkan juga identitas intelektual yang hidup. Hal ini sejalan dengan pandangan Cook dan Schwartz tentang arsip sebagai ruang rekonstruksi makna kelembagaan, di mana institusi secara sadar menyeleksi dan menata apa yang ingin dikenang dan diwariskan6.
Di era digital, peran ini semakin relevan karena perpustakaan dapat mengembangkan repositori tematik berbasis narasi Tri Dharma. Misalnya, direktori sejarah kegiatan penelitian lintas tahun, database pengabdian masyarakat berbasis lokasi, atau bahkan peta visual perkembangan gedung dan sarana kampus. Semua ini bukan hanya menunjukkan bahwa kampus pernah “mengajar” atau “meneliti”, tetapi membuktikan secara visual dan terstruktur bahwa Tri Dharma benar-benar dijalankan secara berkelanjutan dan dapat diverifikasi.
- 4. Membangun Integritas Akademik melalui Arsip Autentik
Di tengah dinamika disrupsi digital dan berkembangnya fenomena misinformasi di ruang publik, institusi pendidikan tinggi dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap keaslian dan kredibilitas akademiknya. Salah satu fondasi utama dalam menjawab tantangan tersebut adalah keberadaan arsip yang autentik, terverifikasi, dan dapat diakses secara transparan. Dalam konteks ini, perpustakaan tidak cukup hanya menjadi tempat peminjaman buku atau akses jurnal daring, tetapi harus bertransformasi menjadi benteng integritas akademik, yang mengelola dan melindungi dokumen-dokumen historis dan kelembagaan secara sistematis.
Aset akademik seperti naskah orasi ilmiah, laporan pengabdian, hasil penelitian internal, berita acara sidang senat, dokumentasi pelantikan rektor, foto mahasiswa tiap angkatan hingga surat keputusan penting merupakan artefak institusional yang bernilai tinggi. Ketika semua itu dikumpulkan dan dirawat dalam sistem arsip yang jelas dan terdigitalisasi, maka institusi dapat menjawab tantangan integritas bukan dengan klaim naratif semata, tetapi dengan bukti dokumenter yang kuat. Sebaliknya, jika pengelolaan arsip dilakukan secara parsial, manual, atau bersifat reaktif, maka celah untuk terjadinya manipulasi data atau bahkan pemalsuan identitas akademik akan semakin besar.
Robert Crow menyebut bahwa repositori institusi adalah salah satu instrumen kunci untuk menjaga kredibilitas lembaga pendidikan tinggi, karena memungkinkan publik dan komunitas akademik untuk melacak, memverifikasi, dan mengevaluasi hasil intelektual serta rekam jejak kelembagaan secara terbuka7. Ia menegaskan bahwa dalam era keterbukaan dan akuntabilitas, kepercayaan publik tidak dibangun dari narasi-narasi seremonial, tetapi dari sistem dokumentasi yang kuat, terstruktur, dan berkelanjutan. Dalam perspektif ini, arsip autentik berperan tidak hanya sebagai memori institusi, tetapi juga sebagai instrumen etis dan legal.
Lebih jauh, penguatan fungsi dokumentasi internal juga merupakan bentuk kepatuhan terhadap prinsip-prinsip good governance dan transparency in higher education, dua elemen yang semakin menjadi ukuran dalam proses akreditasi nasional maupun internasional. Di banyak negara, lembaga akreditasi dan badan riset menuntut institusi pendidikan tinggi untuk tidak hanya menyajikan laporan naratif, tetapi juga bukti dokumen primer atas klaim-klaim akademik yang diajukan. Dalam hal ini, perpustakaan dapat memainkan fungsi sentral sebagai kurator dokumen kelembagaan yang menjembatani antara kebutuhan administrasi, akreditasi, dan kredibilitas publik.
Dengan menjadikan perpustakaan sebagai pusat arsip autentik, institusi pendidikan tinggi tidak hanya melestarikan sejarahnya, tetapi juga membangun legitimasi akademik yang berdampak jangka panjang. Setiap dokumen yang terdigitalisasi dan terstandarisasi menjadi proof of integrity yang dapat menjawab keraguan publik dan melawan disinformasi. Dalam konteks Indonesia yang sempat diguncang oleh polemik ijazah palsu tokoh nasional, keberadaan sistem arsip yang solid menjadi sangat mendesak sebagai langkah preventif sekaligus restoratif terhadap kepercayaan masyarakat.
Kesimpulan
Kajian ini menunjukkan bahwa perpustakaan perguruan tinggi saat ini masih belum memainkan peran maksimal dalam pengelolaan dokumentasi internal kampus. Fokus yang berlebihan pada pengadaan referensi eksternal menjadikan aspek historis dan kelembagaan kampus terabaikan. Padahal, dokumentasi internal memiliki nilai strategis dalam membangun narasi akademik yang utuh, otentik, dan dapat diverifikasi secara publik.
Penyusunan ulang peran perpustakaan sebagai penjaga sejarah Tri Dharma menjadi mendesak karena perpustakaan merupakan institusi yang memiliki legitimasi untuk menyimpan, mengelola, dan mendistribusikan pengetahuan institusional secara jangka panjang. Dengan menempatkan perpustakaan sebagai pusat repositori sejarah kampus, perguruan tinggi dapat menjaga kesinambungan memori akademik serta menunjukkan kontinuitas pelaksanaan Tri Dharma dari masa ke masa.
Lemahnya sistem arsip akademik berimplikasi serius terhadap kredibilitas institusi, sebagaimana tampak dalam kasus polemik ijazah palsu Presiden Republik Indonesia ke-7. Ketiadaan dokumentasi autentik yang dapat diakses secara terbuka memperlihatkan celah besar dalam sistem validasi akademik nasional. Hal ini menciptakan ruang bagi kecurigaan publik, keraguan terhadap lembaga pendidikan, dan bahkan degradasi terhadap nilai-nilai akademik itu sendiri.
Repositori sejarah kampus yang ideal dan berkelanjutan perlu dikembangkan melalui integrasi antara sistem digital arsip institusi, kebijakan dokumentasi internal, serta partisipasi aktif sivitas akademika. Perpustakaan harus memiliki mandat dan sistem untuk menghimpun dokumen institusional, mulai dari arsip foto sejarah, laporan Tri Dharma, profil dosen, hingga produk akademik kampus. Dengan pengelolaan yang terstruktur, perpustakaan akan menjadi pusat legitimasi akademik yang mampu menjaga integritas, transparansi, dan identitas sejarah sebuah institusi pendidikan tinggi.
*Pustakawan Muda UIN SMH Banten
Catatan kaki
1. Lihat misalnya polemik publik yang mencuat sejak tahun 2022 mengenai keabsahan ijazah Presiden RI ke-7, yang mencerminkan lemahnya akses publik terhadap sistem dokumentasi akademik nasional.
2. Eric Ketelaar, Tacit Narratives: The Meaning of Archives, Archival Science, Vol. 1, No. 2 (2001): hlm. 131–141.
3. Wiji Suwarno, Peran Strategis Perpustakaan dalam Mendukung Tri Dharma Perguruan Tinggi, Jurnal Kepustakawanan, Vol. 14 No. 1 (2018): hlm. 25–26.
4. Clifford A. Lynch, Institutional Repositories: Essential Infrastructure for Scholarship in the Digital Age, ARL Bimonthly Report, no. 226 (February 2003): hlm. 1–7.
5. Eric Ketelaar, Tacit Narratives: The Meaning of Archives, Archival Science, Vol. 1, No. 2 (2001): hlm. 131–141.
6. Terry Cook dan Joan M. Schwartz, Archives, Records, and Power: The Making of Modern Memory, Archival Science, Vol. 2, No. 1-2 (2002): hlm. 171–185.
7. Robert Crow, The Case for Institutional Repositories: A SPARC Position Paper, (Washington, DC: Scholarly Publishing and Academic Resources Coalition, 2002), hlm. 3–4.
Daftar Pustaka
Cook, T., & Schwartz, J. M. (2002). Archives, records, and power: The making of modern memory. Archival Science, 2(1–2), 171–185. https://doi.org/10.1007/BF02435620
Crow, R. (2002). The case for institutional repositories: A SPARC position paper. Scholarly Publishing and Academic Resources Coalition.
Cullen, R., & Chawner, B. (2011). Institutional repositories, open access, and scholarly communication: A study of conflicting paradigms. Journal of Academic Librarianship, 37(6), 460–470. https://doi.org/10.1016/j.acalib.2011.07.002
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2020). Panduan pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
IFLA. (2015). Guidelines for university libraries. International Federation of Library Associations and Institutions. https://www.ifla.org
Ketelaar, E. (2001). Tacit narratives: The meaning of archives. Archival Science, 1(2), 131–141. https://doi.org/10.1007/BF02435644
Lynch, C. A. (2003). Institutional repositories: Essential infrastructure for scholarship in the digital age. Portal: Libraries and the Academy, 3(2), 327–336. https://doi.org/10.1353/pla.2003.0039
Siregar, B. (2019). Transformasi perpustakaan perguruan tinggi di era digital: Studi tentang pengembangan repositori institusi. Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 5(1), 23–35.
Suwarno, W. (2018). Peran strategis perpustakaan dalam mendukung Tri Dharma Perguruan Tinggi. Jurnal Kepustakawanan, 14(1), 25–26.
Sutoyo, D., & Amalia, R. (2021). Peran perpustakaan dalam mendukung akuntabilitas perguruan tinggi. Jurnal Kajian Perpustakaan dan Informasi, 9(2), 101–115.