Tantangan Minat Baca Siswa SD di Era Digital : Potret Pendidikan Indonesia
Sumber Gambar :Yati Hartanto, S.Pd*
Pendahuluan
Minat baca merupakan fondasi penting dalam membangun generasi yang literat dan berpengetahuan luas. Di Indonesia, minat baca menjadi salah satu pilar utama dalam pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Kemampuan membaca yang baik akan membuka akses siswa terhadap berbagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan, sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing bangsa (Sulzby, 1985).
Pada jenjang Sekolah Dasar (SD), penumbuhan minat baca menjadi sangat krusial karena pada fase inilah kebiasaan membaca mulai terbentuk dan berkembang. Jika minat baca berhasil ditanamkan sejak dini, maka akan menjadi modal berharga bagi siswa dalam menjalani pendidikan di jenjang berikutnya dan kehidupan mereka secara umum (Gambrell & Marinak, 2009). Namun, realitas menunjukkan bahwa minat baca siswa SD di Indonesia masih tergolong rendah. Data dari Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 menempatkan Indonesia di peringkat 72 dari 77 negara dalam hal kemampuan literasi, termasuk di dalamnya kemampuan membaca (OECD, 2019). Kondisi ini semakin diperumit dengan hadirnya era digital yang membawa perubahan signifikan dalam pola perilaku dan gaya hidup anak-anak, termasuk dalam hal mengakses informasi dan hiburan. Anak-anak Indonesia, seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, kini lebih akrab dengan gawai dan internet dibandingkan dengan buku cetak.
Beragam konten digital yang menarik dan mudah diakses seringkali mengalihkan perhatian mereka dari kegiatan membaca (Pusdatin Kemendikbud, 2020). Kondisi ini tentu menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan Indonesia dalam upaya meningkatkan minat baca siswa SD. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi minat baca siswa SD di era digital, serta strategi yang efektif untuk mengatasinya. Artikel ini akan mengkaji secara komprehensif tantangan minat baca siswa SD di Indonesia dalam konteks era digital, dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang mempengaruhinya.
Metode
Artikel ini menggunakan metode literature review untuk mengkaji secara mendalam tantangan minat baca siswa SD di Indonesia pada era digital. Metode ini dipilih karena memungkinkan penulis untuk mensintesis berbagai temuan dan perspektif dari berbagai sumber literatur yang relevan, sehingga menghasilkan gambaran yang komprehensif mengenai isu yang dibahas (Snyder, 2019). Data dikumpulkan dari berbagai sumber literatur yang kredibel, seperti jurnal ilmiah nasional dan internasional, buku, laporan penelitian, artikel online dari lembaga terpercaya, dan data statistik dari lembaga pemerintah seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Kriteria inklusi literatur yang digunakan adalah: (1) Relevansi dengan topik minat baca siswa SD di Indonesia, (2) Diterbitkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2013-2023) untuk memastikan aktualitas data dan informasi, kecuali untuk teori-teori dasar yang masih relevan, (3) Berasal dari sumber yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kata kunci yang digunakan dalam pencarian literatur meliputi: "minat baca", "siswa SD", "Indonesia", "era digital", "tantangan", "literasi", "teknologi informasi dan komunikasi", "pengaruh gawai", "kebiasaan membaca", "peran orang tua", "peran sekolah", dan "kebijakan pemerintah". Data yang diperoleh dari berbagai sumber literatur tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan tahapan: (1) Reduksi data: memilih dan memilah data yang relevan, (2) Penyajian data: mengorganisasikan data dalam bentuk narasi yang sistematis, (3) Penarikan kesimpulan: merumuskan temuan dan implikasi dari hasil analisis data (Miles & Huberman, 1994).
Hasil
Kajian literatur menunjukkan bahwa tantangan minat baca siswa SD di Indonesia pada era digital merupakan isu yang multifaset dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berikut adalah beberapa tantangan utama yang teridentifikasi:
1. Dominasi Gawai dan Konten Digital: Era digital membawa serta kemudahan akses terhadap informasi dan hiburan melalui gawai seperti smartphone, tablet, dan laptop. Anak-anak SD di Indonesia, terutama di perkotaan, sudah sangat familiar dengan perangkat ini. Data BPS tahun 2022 menunjukkan bahwa persentase anak usia 5-14 tahun yang menggunakan smartphone mencapai 62,41% (BPS, 2022). Tingginya penetrasi gawai ini diiringi dengan meningkatnya konsumsi konten digital seperti game online, media sosial, video streaming, dan aplikasi hiburan lainnya. Konten digital ini dirancang dengan visual yang menarik, interaktif, dan memberikan gratifikasi instan, sehingga lebih memikat perhatian anak dibandingkan dengan buku cetak yang dianggap statis dan kurang menarik (Hasanah, 2020).
2. Kurangnya Kebiasaan Membaca di Lingkungan Keluarga: Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam pembentukan karakter dan kebiasaan anak, termasuk kebiasaan membaca. Namun, banyak orang tua di Indonesia yang belum menyadari pentingnya menumbuhkan minat baca anak sejak dini. Kesibukan orang tua, terutama di perkotaan, seringkali menjadi alasan kurangnya waktu untuk membaca bersama anak (Wulandari & Kristiawan, 2017).
3. Terbatasnya Akses terhadap Bahan Bacaan Berkualitas: Meskipun pemerintah telah mencanangkan berbagai program untuk meningkatkan literasi, seperti Gerakan Literasi Nasional (GLN), ketersediaan dan akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas, terutama di daerah pedesaan dan terpencil, masih menjadi persoalan. Banyak perpustakaan sekolah yang belum memiliki koleksi buku yang memadai dan up-to-date (Perpustakaan Nasional RI, 2019). Selain itu, harga buku yang relatif mahal juga menjadi kendala bagi sebagian masyarakat untuk membeli buku bacaan bagi anak-anak mereka.
4. Metode Pengajaran Membaca yang Kurang Menarik dan Konvensional: Proses pembelajaran membaca di sekolah masih seringkali didominasi oleh metode yang konvensional dan kurang menarik bagi siswa. Fokus yang berlebihan pada aspek teknis membaca, seperti mengeja dan melafalkan kata, tanpa diimbangi dengan pemahaman makna dan konteks bacaan, dapat membuat siswa merasa bosan dan menganggap membaca sebagai kegiatan yang monoton dan tidak menyenangkan (Aryanti & Ginting, 2021).
5. Lemahnya Dukungan dan Sinergi Antar Pemangku Kepentingan: Meningkatkan minat baca siswa SD membutuhkan upaya kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat. Namun, koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan ini masih belum optimal. Masih terdapat kesenjangan antara kebijakan yang dicanangkan pemerintah dengan implementasinya di lapangan.
6. Peran Guru yang Belum Optimal dalam Menumbuhkan Minat Baca
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuhkan minat baca siswa. Namun, pada kenyataannya, banyak guru yang belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam mengembangkan strategi pembelajaran membaca yang menarik dan efektif (Sari, 2020).
7. Kurangnya Inovasi dalam Pengembangan Bahan Bacaan
Perkembangan teknologi digital seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menciptakan bahan bacaan yang lebih inovatif dan menarik bagi siswa SD. Namun, inovasi dalam pengembangan bahan bacaan digital masih sangat terbatas. E-book dan aplikasi bacaan interaktif yang tersedia masih belum banyak yang memenuhi kebutuhan dan minat siswa SD (Fitriani, 2021).
8. Ketidakmerataan Infrastruktur dan Akses Internet
Kesenjangan infrastruktur dan akses internet antara wilayah perkotaan dan pedesaan juga menjadi hambatan dalam upaya meningkatkan minat baca siswa SD di era digital. Banyak sekolah di daerah terpencil yang belum memiliki fasilitas internet yang memadai, sehingga siswa tidak dapat mengakses bahan bacaan digital yang tersedia (Kominfo, 2023). Hal ini tentu saja memperlebar kesenjangan literasi antara siswa di perkotaan dan pedesaan.
Diskusi
Tantangan minat baca siswa SD di Indonesia pada era digital merupakan isu krusial yang membutuhkan perhatian serius dan solusi yang komprehensif. Era digital, di satu sisi, menawarkan peluang besar untuk meningkatkan literasi melalui akses informasi yang luas dan beragam media pembelajaran yang inovatif. Namun di sisi lain, era digital juga membawa tantangan tersendiri yang dapat menghambat tumbuhnya minat baca jika tidak dikelola dengan baik. Dominasi gawai dan konten digital yang adiktif merupakan tantangan nyata yang perlu diatasi dengan bijak. Penggunaan gawai pada anak perlu dibatasi dan diarahkan untuk kegiatan yang positif, termasuk untuk mengakses bahan bacaan digital yang berkualitas (Guernsey, 2014). Orang tua perlu dilibatkan secara aktif dalam menumbuhkan kebiasaan membaca anak. Program parenting yang berfokus pada literasi keluarga dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kesadaran dan keterampilan orang tua dalam mendampingi anak membaca (Niklas & Schneider, 2017).
Sekolah, sebagai institusi pendidikan formal, memiliki peran sentral dalam mengembangkan minat baca siswa. Penerapan metode pengajaran membaca yang kreatif, inovatif, dan menyenangkan perlu menjadi prioritas. Pemanfaatan teknologi digital dalam pembelajaran membaca, seperti penggunaan e-book, aplikasi edukasi, dan platform pembelajaran online yang interaktif, dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan keterlibatan dan motivasi siswa dalam membaca (Roskos & Neuman, 2014).
Lebih lanjut, perlu dipahami bahwa menumbuhkan minat baca bukan hanya tentang membuat anak mampu membaca secara teknis, tetapi juga tentang membangun kecintaan dan kebiasaan membaca yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pendekatan yang holistik dan berkelanjutan sangat diperlukan. Tidak cukup hanya dengan menyediakan buku dan bahan bacaan, tetapi juga perlu menciptakan lingkungan yang mendukung dan merangsang minat baca, baik di rumah maupun di sekolah. Aktivitas seperti mendongeng, read aloud (membaca nyaring), diskusi buku, dan klub membaca dapat menjadi sarana yang efektif untuk menumbuhkan kecintaan anak terhadap buku. Di samping itu, penting untuk memberikan kebebasan kepada anak dalam memilih bahan bacaan yang sesuai dengan minat dan ketertarikannya. Dengan demikian, anak akan merasa bahwa membaca adalah kegiatan yang menyenangkan dan bukan merupakan paksaan. Peran guru dalam hal ini sangat krusial, tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator dan motivator yang mampu menginspirasi siswa untuk gemar membaca. Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek, perlu terus memperkuat komitmennya dalam meningkatkan literasi siswa SD, tidak hanya melalui kebijakan dan program yang inovatif, tetapi juga melalui alokasi anggaran yang memadai untuk penyediaan infrastruktur literasi, seperti pengadaan buku, pengembangan perpustakaan sekolah, dan pelatihan guru dalam bidang literasi. Sinergi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah, sekolah, orang tua, komunitas literasi, dan pihak swasta, perlu diperkuat untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuhnya minat baca siswa. Gerakan literasi perlu digalakkan secara masif dan berkelanjutan, tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyaraka
Kesimpulan
Minat baca siswa SD di Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan di era digital. Dominasi gawai, kurangnya kebiasaan membaca di lingkungan keluarga, terbatasnya akses terhadap bahan bacaan berkualitas, metode pengajaran yang kurang menarik, dan lemahnya dukungan antar pemangku kepentingan merupakan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya minat baca siswa. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya komprehensif dan kolaboratif dari berbagai pihak. Orang tua perlu lebih aktif dalam menumbuhkan kebiasaan membaca anak dan membatasi penggunaan gawai untuk hal-hal yang kurang produktif. Sekolah perlu menerapkan metode pengajaran membaca yang inovatif dan menyenangkan, serta mengembangkan perpustakaan sekolah yang ramah anak. Pemerintah perlu memperkuat komitmennya dalam meningkatkan literasi siswa melalui kebijakan, program, dan alokasi anggaran yang memadai. Sinergi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan perlu ditingkatkan untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuhnya minat baca siswa. Dengan demikian, diharapkan minat baca siswa SD di Indonesia dapat meningkat, sehingga mampu melahirkan generasi yang literat, berpengetahuan luas, dan berdaya saing tinggi di masa depan.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil kajian dan diskusi di atas, berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan:
- 1. Penguatan Literasi Digital Keluarga: Mengadakan program edukasi dan parenting bagi orang tua mengenai pentingnya literasi dan pendampingan anak dalam menggunakan gawai secara bijak dan produktif.
- 2. Pengembangan Perpustakaan Sekolah Digital: Membangun platform perpustakaan digital sekolah yang menyediakan akses terhadap e-book, jurnal, dan bahan bacaan digital lainnya yang berkualitas dan sesuai dengan kurikulum.
- 3. Pelatihan Guru dalam Literasi Digital: Meningkatkan kompetensi guru dalam memanfaatkan teknologi digital untuk pembelajaran membaca yang kreatif dan inovatif.
- 4. Pengembangan Konten Literasi Digital yang Menarik: Mendorong kreator lokal untuk menciptakan konten literasi digital yang menarik dan edukatif bagi anak-anak, seperti e-book interaktif, game edukasi berbasis literasi, dan animasi yang mempromosikan budaya membaca.
- 5. Penguatan Sinergi Multipihak: Membentuk forum komunikasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan (pemerintah, sekolah, orang tua, komunitas literasi, dan swasta) untuk menyusun dan mengimplementasikan program-program peningkatan minat baca secara terpadu dan berkelanjutan.
- 6. Riset Lanjutan: Diperlukan riset lanjutan untuk menginvestigasi secara lebih mendalam mengenai faktor-faktor spesifik yang mempengaruhi minat baca anak di berbagai daerah di Indonesia, mengingat keberagaman kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang ada.
Dengan implementasi rekomendasi-rekomendasi tersebut, diharapkan tantangan minat baca siswa SD di Indonesia pada era digital dapat diatasi secara efektif, sehingga cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud.
*Guru SDN No.1.Cilayang -Desa Cilayang-Cikeusal
Referensi
- 1. Aryanti, Y., & Ginting, S. Z. (2021). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi minat baca siswa sekolah dasar. Jurnal Basicedu, 5(4), 1844-1851.
- 2.Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik telekomunikasi Indonesia 2022.
- 3. Gambrell, L. B., & Marinak, B. A. (2009). Reading motivation: What the research says. Reading Rockets. https://www.readingrockets.org/article/reading-motivation-what-research-says
- 4. Guernsey, L. (2014). Screen time: How electronic media—from baby videos to educational software—affects your young child. Basic Books.
- 5. Hasanah, U. (2020). Pengaruh penggunaan gadget terhadap minat baca siswa sekolah dasar. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 2(1), 98-105.
- 6. Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative data analysis: An expanded sourcebook. Sage.
- 7. Niklas, F., & Schneider, W. (2017). Home literacy environment and the development of reading skills: Evidence from a longitudinal study. Learning and Instruction, 49, 203-213.
- 8. OECD. (2019). PISA 2018 results (Volume I): What students know and can do. OECD Publishing.
- 9. Perpustakaan Nasional RI. (2019). Laporan kinerja Perpustakaan Nasional RI tahun 2019.
- 10. Pusdatin Kemendikbud. (2020). Analisis pemanfaatan TIK untuk pembelajaran.
- 11. Roskos, K. A., & Neuman, S. B. (2014). Best practices in reading: A 21st century update. The Reading Teacher, 67(7), 507-511.
- 12. Snyder, H. (2019). Literature review as a research methodology: An overview and guidelines. Journal1 of Business Research, 104, 333-339.
- 13. Sulzby, E. (1985). Children's emergent reading of favorite storybooks: A developmental study. Reading research quarterly, 458-481.
- 14. Wulandari, Y., & Kristiawan, M. (2017). Strategi orang tua dalam menumbuhkan minat baca anak usia dini di era digital. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(2), 129-138.