Ujaran dalam Bahasa Sunda Banten
Oleh: M. Satibi*
Tempo hari jagad twitter dihebohkan oleh cuitan yang mengatakan kalau penggunaan kata ‘aing’ dalam Bahasa Sunda adalah hal yang tidak sopan dan dianggap kasar. Sudah lama sih, Seperti yang saya kutip dari @bapisxteryo “Buat orang luar Sunda jangan make kata ‘aing’ seenaknya hey apalagi di daerah sundanya. Masa tadi lagi ngantri makan, sepertinya ada orang Jakarta (dari logatnya) ngomong "kang, ini makanan aing sabaraha?" Anying tukang dagangnya langsung kaget dengernya wkwk :(“
Cuitan tersebut kurang lebih disukai oleh 42 ribu orang, jumlah yang tidak sedikit. Menurut saya orang yang menyukai bisa jadi orang yang menyepakati. Mungkin sipenutur tidak menyadari atau barangkali dia orang Banten yang tinggal di Jakarta atau orang yang pernah tinggal di Banten.
“Loh Bantenkan Bahasa daerahnya Sunda”. Memang bahasa daerah Banten salah satunya bahasa Sunda, bukan berarti Sunda Banten sama dengan Sunda Priangan yang berpandangan bahwa penyebutan kata ‘aing’ (dia) dan sebagainya adalah hal yang tidak sopan dan kasar.
Hal tersebut sama halnya dengan kata "Jancuk" atau "Cuk". Untuk sebagian besar masyarakat Jawa Timur, kata "Jancuk" atau Cuk" adalah kata yang dinilai lumrah dan tidak kasar. Karena digunakan sehari-hari dalam berkomunikasi di Jawa Timur.
Di Banten penggunaan kata ‘aing’ (dia) itu tidak kasar, biasa saja, karena bahasa Sunda Banten adalah bahasa Sunda yang murni, bahasa Sunda yang tidak terkontaminasi oleh pengaruh ekspansi Mataram kewilayah Priangan.
Jadi, Sunda pada saat itu terkena pengaruh Jawa yang lebih feodal terkecuali Banten, sehingga berdampak terhadap kebudayaan, kesastraan maupun kesenian. Tentunya termasuk penggunaan Bahasa yang mengenal undak usuk basa sebagai perkara kekuasaan.
Kalau saya kutip perkataan Mikihiro Moriyama dalam semangat baru, “Orang-orang Sunda sangat terpengaruh kebudayaan Jawa setelah pada abad ke-17 mereka ditaklukkan oleh tetangganya, Raja Jawa dari Mataram. Bukan hanya ranah kesenian, tapi juga administrasi pemerintahan, gaya hidup, dan bahasa yang terkena dampaknya: selama hampir dua ratus tahun kesusastraan Sunda berkembang menurut estetika Jawa. ”Hal tersebut menunjukkan bahwa orang Sunda terpengaruh sekali dengan kebudayaan Jawa, mulai dari administrasi pemerintahan, gaya hidup hingga sastra yang berestetika Jawa.
Sebelum Mataram ada, orang Sunda menyebut dirinya dengan menggunakan kata aing entah ke orangtua, entah yang lebih muda atau bahkan pada saat memanjat doa. Ini bisa dibuktikan dengan petikan naskah Para Putera Rama dan Rahwana, yang disusun sebagai lampiran kisah Ramayana.
“Ongkarana sangtabéan/ pukulun sembah rahayu/ aing dék nyaksi ka beurang/ aing dék nyangsi
ka peuting/ candra wulan aditia/ deungeun sanghiang akasa/ kalawan hiang pretiwi/ ka batara
Nagaraja/ ka nusia Awak Larang/ ka luhur ka sang Rumuhun/ nusia Larang di manggung.”
Nah, memanjatkan doa saja orangtua zaman dulu menggunakan kata ‘aing’ lantas kenapa banyak sekali yang berkoar bahwa penggunaan kata ‘aing’ (dia) adalah hal yang tidak sopan? Jangan jauh-jauh ke era Ramayana deh, di Lebak ada suku Baduy yang sampai hari ini dia Nol orang yang positif Covid-19.
Bagi orang yang pernah ke Baduy mungkin pernah mendengarkan pembicaran bagaimana komunikasi dia sehari-hari. Itu adalah potret sunda murni yang tidak terkontaminasi oleh penyebarluasan Mataram ke tataran Sunda, karena saat itu Banten tidak terkuasai. Alhasil setelah Mataram masuk barulah Sunda mengenal Undak Usuk Basa.
Selain itu mungkin faktor politikya, pasca Bung karno memproklamasikan kemerdekaan, Banten masuk ke Jawa Barat, lalu PNS-PNS yang ada di Banten adalah kiriman dari Priangan, terutama pejabat tingginya.
Mata pelajaran bahasa Sunda pun dipaksakan jadi Sunda Priangan, sehingga kesan halus kasar itu muncul gara-gara pejabat yaang secara status lebih tinggi, jadi bahasa yang dipakai otomatis standar mereka. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan, pada saat Pemerintahan Hindia Belanda, banyak sekali pejabat pribumi yang diambil dari Priangan dan Jawa.
Bahasa Sunda dan Jawa saat ini masih menjadi salah satu muatan lokal dalam pendidikan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Jelas yang diajarkan Sunda Priangan, bahkan gurunya juga didatangkan langsung dari Priangan.
Nah karena parameter sopannya kita adalah Sunda Priangan, jadi ketika ada orang yang berbicara menggunakan “aing” langsung dianggap tidak sopan. Karena sudah terinternalisasi, jadi ketika akan berbicara bahasa Sunda khawatir merasa kasar, padahal sebenarnya tidak.
Coba kalau orang Priangan marah dihadapan orang Banten dengan logat Priangan yang lembut“ anying sia, naha kabogoh abdi kalah dibogohan? dasar tega duh degdegan jalmi teh’” apakah kita merasa dimarahi? Tentu saja tidak, sama halnya dengan ‘aing dan ‘dia’ tergantung dari mana kita memandang.
Untungnya di Lebak ada bupati yang menunjukkan ke Lebakan nya dan dia berani berbicara dengan bangga menunjukkan jiwa Sundanya, bahkan pada saat marah “beuheung dia disapatkeun ku aing” “garoblog dararia”, perkataan ibu bupati yang terekam marah-marah saat peduli dengan taman yang dibangun gedung tanpa seizin beliau.
*Penulis adalah Redaktur Banten Raya